Mungkin Anda berpikir, cerita di atas pasti cuma rekaan.
Memang, itu cuma rekaan, namun dosen yang mengucapkan "stupid" itu bukan rekaan, tapi kenyataan.
Saya menulis artikel ini bukan bermaksud mencemarkan nama baik siapa pun, meskipun dosen ini benar-benar ada, dan saya pun tidak ada kepentingan dan rasa sakit hati pada beliau.
Saya menulis artikel ini dengan maksud supaya ada pembelajaran yang baik, terutama dari pihak para dosen, agar bertingkah laku dan bertutur kata yang baik dan sopan pada siapa pun, meskipun orang-orang tersebut (dibaca : mahasiswa) sekarang dalam kondisi "bukan siapa-siapa" alias nobody; namun mungkin suatu hari kelak menjadi "seseorang" atau somebody yang sukses dan tajir.
Tentu saja, perkecualian saya tujukan pada Ibu Lusy Mariana Pasaribu dan Bapak Johanis Malingkas, rekan kompasianer yang berprofesi sebagai dosen.
Saya percaya, yakin 1000 persen, kalau Bu Lusy dan Pak Johanis adalah dosen-dosen yang berperilaku baik dan sopan. Kenapa saya berpendapat begitu? Karena beliau-beliau ini tidak sombong, suka memberi vote pada artikel-artikel receh dan puisi-puisi picisan saya, dan juga terkadang memberi komentar yang menyejukkan di bawah artikel-artikel saya ^_^.
Beliau-beliau ini juga suka berbagi ilmu lewat tulisan.
Bagaimana sih ceritanya?
Jadi begini ceritanya.
Sebut saja nama dosen itu Gunawan. Kalau melihat nama, seharusnya memberikan "kegunaan", manfaat untuk orang lain. Namun sayangnya, bukan "guna" yang didapat, malah "bencana".
Kata-kata "stupid", bungul, bodoh, dan kata-kata merendahkan lainnya keluar dari mulut sang dosen, yang seharusnya dipanggil "mahaguru". Mahaguru? Kalau dari SD sampai SMA, berpredikat siswa atau siswi. Waktu di Perguruan Tinggi, disebut mahasiswa dan mahasiswi. Siswa yang maha. Siswi yang maha.
Nah, sama dengan sebutan guru dari SD sampai SMA; seharusnya waktu di Perguruan Tinggi, disebut mahaguru, bukan dosen.