Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Susahnya Punya Wajah Pasaran

25 Mei 2019   19:05 Diperbarui: 25 Mei 2019   20:07 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang pria dengan kualitas prima (ehem, ehem ^_^), terkadang saya menempati posisi yang sangat sulit.

Kenapa?

Karena bisa dibilang, kemana pun pergi (dibaca : bekerja), setiap bos selalu melarang saya untuk resign.

"Tolonglah, bapak tetap bertahan di sini. Tenaga bapak dibutuhkan di sini."

"Gaji bapak kurang? Saya naikkan ...."

"Ada masalah dengan rekan kerja? Kita bicarakan baik-baik."

"Pengin tantangan baru? Emang berani?" (eit, kalau yang ini, nggak ada ding ^_^)

Tapi yang sebenarnya paling memusingkan saya adalah wajah "pasaran".

Kemana-mana kok ya saya disangka orang lain.

3 contoh nyata dari sekian banyak, ini salah tiganya (belibet banget ya ^_^)

Pertama, waktu disangka pegawai dinas pajak.

Sebetulnya, tidak masalah. Namun karena pada waktu itu, terkuak kasus penggelapan pajak oleh salah seorang pegawai dinas pajak yang bernama Gayus Tambunan, menyebabkan saya pun kelimpungan waktu disangka pegawai dirjen pajak. 

Kebetulan waktu itu saya menepikan sepeda motor, karena saya mendengar, dari dalam tas kecil saya, hp saya berbunyi. 

Ternyata ada panggilan telepon. 

Saya pun menerima telepon dan berbicara selama beberapa saat. 

Saat selesai menelepon, tiba-tiba dari arah berlawanan, seorang pria mengendarai sepeda motor menghampiri saya. 

"Ah, mungkin cuma mau nanya alamat atau tersesat," pikir saya. 

Ternyata tidak seperti yang saya sangka. 

"Halo, bos, gimana kabar?" tanya pria misterius itu sambil mengangsurkan tangan, mengajak berjabatan tangan. 

"Baik," Saya menjawab, menjabat tangannya, masih terbengong-bengong, berusaha untuk mengingat nama sang penyapa. Mungkin orangtua murid atau kenalan di masa lampau, pikir saya. 

"Gimana kabar kerjaan, bos? Lancar?"

"Lancar," jawab saya datar, singkat, padat. 

Rupanya sang pria misterius merasa ada kejanggalan dengan jawaban saya yang singkat-singkat saja. 

"Anda Pak Budi kan, pegawai dinas pajak," katanya, untuk meyakinkan dirinya sendiri, setelah saya cuma membisu sekian lama. Mungkin tidak seperti Pak Budi kenalannya.

"Oh, bukan, Pak. Nama saya Anton, bukan Budi. Saya juga tidak kerja di dinas pajak," saya tersenyum, lega rasanya.

"Oh, maaf, Pak, maaf. Soalnya mukanya mirip teman saya itu."

"Ada masalah dengan teman bapak yang namanya Pak Budi ini?" tanya saya balik, waswas.

"Oh, tidak ada masalah apa-apa, Pak. Cuma sudah lama tidak bertemu."

Fiuuuu, lega kalau tidak ada masalah apa-apa, pikir saya. Takutnya orang yang namanya Budi ini menggelapkan pajak seperti Gayus tadi.

Kami pun berlalu. 

Kedua, Mirip teman sekolah.

Mungkin untuk pengalaman seperti ini, banyak yang mengalaminya ^_^.

Waktu itu, saya sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan di saat bulan puasa seperti sekarang ini.

Apa yang saya lakukan di sana?

Mencari tas dengan harga diskon, karena tas saya sudah rusak, jebol, sehingga tidak bisa diperbaiki lagi.

Kebetulan di salah satu toko di pusat perbelanjaan tersebut, ada diskon lumayan gede untuk tas punggung yang memang menjadi incaran saya.

Sewaktu lagi asyik melihat-lihat, seorang laki-laki yang ada di sebelah saya menegur saya, "Hei, kamu Henri ya?"

Saya pun menengok ke laki-laki itu, lalu berkata, "Bukan."

"Oh, maaf. Soalnya Mas ini mirip teman saya waktu sekolah dulu," laki-laki itu pun melanjutkan melihat-lihat tas-tas dengan diskon gede tadi.

"Tidak apa, Mas. Memang, saya ini punya wajah pasaran. Sering kali banyak orang menganggap saya mirip teman mereka."

Saya pun kembali sibuk dengan melihat tas-tas, begitu pula dengan laki-laki itu.

Sambil melihat tas, saya bertanya pada laki-laki itu lagi, "Kalau teman Mas yang namanya Henri itu teman sekolah Mas dimana?"

"SMA 1."

"SMA 1 Balikpapan?" tanya saya lagi.

"SMA 1 Samarinda," jawab laki-laki itu.

"Wah, berarti saya punya kembaran di SMA 1 Samarinda. Lulusnya tahun berapa?"

"19xx." (sengaja disamarkan. Nanti ketauan tuanya ^_^).

"Wah, kok sama juga tahun lulusannya. Salam buat temannya ya, Mas, kalau ketemu nanti. Salam dari saudara kembarnya dari SMA 1 Balikpapan."

"Hahaha, iya, Mas."

Ketiga, Mirip teman kuliah.

Saya suka jogging. Bisa pagi atau sore hari, tergantung waktu kosong di saat mana.

Kebanyakan di sore hari, karena sulitnya bangun pagi. Begadang di malam hari, jadi paginya susah bangun ^_^.

Sebenarnya saya tidak suka jogging di sore hari. Kenapa? Selain udara sudah tidak bersih, juga terkadang saya bertemu dengan mantan murid di jalan. Dan sebagai anak-anak yang sopan, mereka salim pada mantan gurunya (saya dulunya pernah mengajar di esde di dekat rumah saya).

Otomatis, terpaksa saya harus berhenti jogging, meskipun sebenarnya program lari saya tidak memperbolehkan berhenti mendadak, karena bisa berbahaya bagi jantung. Tapi saya pikir, toh tidak setiap hari bertemu dengan mantan murid, dan cuma beberapa detik saja salimnya.

Namun tidak semua mantan murid berlaku sopan begitu pada mantan guru. Kalau mantan murid yang tidak mempunyai respek pada mantan guru, meskipun bertemu di jalan, kebanyakan dari mereka pura-pura tidak melihat; atau melihat, tapi pura-pura tidak kenal. 

Saya sih tidak masalah dengan itu. Wajar saja. Karena saya tidak bisa menyenangkan semua orang. Saya sudah berbuat baik pun, masih ada yang membenci. Untuk apa pusing dengan mantan murid yang tidak sopan dan hormat pada saya ^_^.

Waktu saya masih dalam kondisi berlari, dari atas tanjakan ke bawah, ada seorang ibu beserta perempuan muda, yang saya perkirakan anaknya, mengendarai sepeda motor ke arah saya.

"Ah, mungkin nanya alamat," pikir saya.

Memang di perumahan yang barusan saya lalui sangat berliku-liku, berkelok-kelok, sehingga kalau tidak tahu alamatnya dengan lengkap, dan tidak tahu seluk-beluk perumahan, bisa pusing mencari rumah tujuan.

"Halo, Pak. Apa kabar?" sapa si ibu.

Aduh, pasti ini salah orang lagi, keluh saya.

"Maaf, Bu. Ibu siapa ya?"

"Kita kan sama-sama kuliah di Universitas @nomention dulu," si ibu berusaha menyegarkan ingatan saya ^_^.

"Maaf, Bu, saya tidak pernah kuliah di Universitas @nomention," saya tersenyum.

"Oh, maaf, Pak. Soalnya mirip teman kuliah saya," ibu itu pun berlalu.

Wah, sayang. Coba seandainya si ibu nanya, "Mau nggak ngelamar anak perempuan saya?" Pasti saya jawab, "Ya, mau lah, Bu. Masa anak perempuan secantik anak ibu saya tolak ^_^."

Sayang, itu cuma skenario di angan saja ^_^.

* * *

Yah, sejauh ini, wajah pasaran saya tidak terlalu menyusahkan. Hanya mengganggu "sedikit" di saat tidak ingin diganggu

Untungnya "kembaran-kembaran" saya tak ada yang punya utang berjibun atau selingkuh dengan wanita lain.

Bagaimana dengan Anda? Apakah wajah Anda juga pasaran ^_^? Kalau iya, apa ada pengalaman-pengalaman menarik seperti yang saya alami atau lebih heboh lagi ^_^?

Ayo, bagikan di mari. Biar bulan puasa tak terasa garing ^_^.

Salam kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun