21 Tahun Perenungan, Mengabdi sebagai Guru di Tengah Keterbatasan, saya terpaksa blusukan untuk bertemu orangtua murid, menanyakan kenapa putra-putri mereka tidak masuk sekolah alias bolos, kenapa tidak membuat PR, dan kenapa orangtua tidak datang ke sekolah, padahal ada surat panggilan dari saya.
Seperti yang saya sudah ulas di artikel dengan judulDari sekian banyak blusukan yang saya lakukan, 3 pengalaman ini tak terlupakan di benak saya.
Selain saya merasa, bahwa ini menyentuh sisi kemanusiaan, juga karena sebagai guru, tidak bisa menghakimi anak itu malas semata karena dari sisi sang anak. Mungkin ada faktor yang melatarbelakangi, seperti faktor ekonomi keluarga, latar belakang anak tinggal dengan kakek atau nenek, atau masalah lainnya.
1. Vanessa, bukan nama sebenarnya
Saya lupa tanggal, bulan, dan tahun terjadinya.
Yang saya ingat adalah murid saya ini berada di kelas lima saat itu.Â
Yang menjadi masalah waktu itu adalah anak ini sering tidak membuat PR, padahal saya hanya memberi lima nomor soal, untuk waktu seminggu.Â
Pertimbangan, karena pasti mereka, para murid sudah mendapat banyak PR dari guru kelas mereka, baik itu PR Matematika, IPS, IPA, dan lain sebagainya (momen ini terjadi di saat masih menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)).Â
Itu pun, biasanya saya memberi 5 nomor soal Pilihan Ganda (PG) atau Isian, sehingga tidak membebani peserta didik.Â
Dengan waktu seminggu, tingkat kesukaran soal yang standar, serta teman sekolah yang bisa membantu, sebenarnya tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mengerjakan PR.Â
Saya juga tidak menghukum peserta didik kalau tidak membuat PR, karena menurut saya, buang-buang waktu memarahi murid. Yang rajin jadi tersisihkan.Â
Saya menggunakan Buku Bimbingan dan Konseling seperti saran pengawas, menulis nama sang anak, dan pelanggaran apa yang dilakukan, lalu meminta sang anak membubuhkan tanda tangan atau menuliskan nama di buku itu.