Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kesehatan Mata Anak Indonesia dalam Status Gawat Darurat!

8 April 2019   10:08 Diperbarui: 8 April 2019   10:27 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : www.ibudanbalita.com

Melihat era saat ini, memang kehidupan sehari-hari sepertinya tak bisa lepas dari yang namanya smartphone atau ponsel pintar.

Mulai dari mengirim perpesanan singkat lewat whatsapp atau aplikasi perpesanan sejenis; bersilahturahmi antar teman dan handai tolan nun jauh disana lewat media sosial; main game atau menonton film; sampai berbisnis online dengan modal minim pun bisa dilakukan.

All in one. One for All.

Terlepas dari kebiasaan penggunaan bagi orang dewasa, saat ini kecenderungan bagi anak-anak dalam menggunakan smartphone sangatlah masif.

Sebagai guru, saya sering melihat beberapa (dibaca : banyak) orangtua yang membiarkan anak-anak mereka bermain game di hape.

"Ya, biar aja, Pak. Kalau nggak dikasih, ribut, jalan kemana-mana, ganggu orang lain. Gak bisa diam."

Kebanyakan orangtua akan berkata seperti itu.

Hape dijadikan "babysitter" buat anak-anak mereka, supaya anak-anak mereka diam dan tidak mengganggu mereka atau orang-orang di sekitar.

Inilah yang menjadi awal dari munculnya masalah.

Pengalaman tak terlupakan

Ada beberapa pengalaman yang saya alami, sehingga saya mengatakan kesehatan mata anak Indonesia dalam status gawat darurat.

Namun yang satu ini sangat spesial, sulit saya lupakan.

Sekitar lima tahun yang lalu, saya 'terpaksa' pergi ke dokter mata karena mendapat frame baru, bingkai kacamata yang baru, dari kakak saya.

"Ini, ambil aja. Jatah dari kantor. Aku masih ada yang lain," kata Helda (bukan nama sebenarnya).

Karena saya tidak terlalu percaya dengan pemeriksaan mata di optik, karena memeriksa dengan alat elekronik, dan operator yang menjalankan biasanya bukan berprofesi sebagai dokter mata. Bukan meremehkan, tapi memangnya akurat mengukur minusnya mata dengan alat? 

Bagaimana kalau ada plus-nya seiring menuanya usia? Atau apakah alat itu begitu canggihnya, sehingga bisa mendeteksi indikasi silinder, katarak, atau glaukoma? Saya pikir tidak. Alat tetaplah alat. Hanya bisa membantu, tapi tak bisa mendiagnosa atau melihat kelainan lain. Manusialah yang memutuskan. Dan dalam hal ini, dokter mata yang lebih tahu.

Saya pun mendaftar. Nomor antrean masih satuan. Langkanya masyarakat untuk memeriksakan mata ke dokter mata, karena memeriksa di optik kebanyakan gratis (biasanya kalau kita mau memesan lensa kacamata atau membeli bingkai beserta lensanya) atau berbayar, dengan nominal minim, sekitar puluhan ribu saja. 

Selain itu masyarakat enggan memeriksakan mata ke dokter mata, disebabkan 'lumayan' mahal membayar jasa dokter mata. Sekali konsultasi, minimal 100 ribu harus dikeluarkan, dengan waktu tak lebih dari setengah jam (Kategori mahal bagi setiap orang bervariasi. 

Bagi orang yang satu, 100 ribu tergolong mahal. Bagi orang yang lain, mungkin tidak. Bagi saya sih 100 ribu masih termasuk kategori normal, wajar, terjangkau. Mahal tidak, murah pun tidak ^_^.).

Itu tarif sekitar lima tahun yang lalu. Entah sekarang. Yang jelas, kemungkinan naik.

Karena waktu itu dokter mata belum datang, saya pun duduk menanti, sambil membaca buku pinjaman dari perpustakaan Provinsi Kalimantan Timur.

Sambil membaca, sesekali mata memandang ke sekeliling. Hanya ada sepasang suami istri dengan seorang gadis cilik dengan usia yang saya perkirakan sekitar lima tahun, dan seorang wanita parobaya yang duduknya agak jauh.

"Umur berapa anaknya, Pak?" tanya saya pada laki-laki di sebelah gadis cilik itu. Saya yakin, bapak ini pasti ayah gadis cilik ini. Saya mengajak mengobrol. Sekedar memecah kesunyian.

"Empat tahun, Pak," jawab bapak itu sambil tersenyum.

"Siapa yang mau berobat, Pak?" tanya saya lagi, sambil melihat ke sekeliling. Di lantai dua ini, hanya ada dokter mata. Jadi pasti bapak ini atau istrinya yang ingin memeriksakan mata.

Tapi ternyata dugaan saya keliru!

"Anak saya ini, Pak," jawab bapak itu lagi.

Saya kaget. Saya lihat, secara fisik, anak itu tidak apa-apa. "Normal saja kelihatannya," batin saya.

"Ya, memang kelihatan dari luar, tidak ada masalah. Sampai ketahuan ada masalah waktu menonton teve," kata sang bapak itu, seperti bisa menebak isi pikiran saya.

"Nonton teve harus dekat di layar ya, Pak?"

"Iya."

"Kok bisa?"

"Efek dari main game di hape. Jarak mata dengan hape terlalu dekat."

"Jadi sepertinya harus pakai kacamata ya, Pak?" Saya memandang gadis cilik itu dengan iba. Masih belia, tapi sudah berkacamata. Ruang gerak pasti tak sebebas sebelumnya.

"Ya, mau bagaimana lagi, Pak. Kami dari desa, khusus datang ke kota, dirujuk ke dokter ini, untuk memeriksakan mata anak kami. Supaya lebih akurat."

"Memangnya pernah diperiksa di tempat lain?" tanya saya, karena sang bapak berkata 'supaya lebih akurat'.

"Iya. Kebetulan teman satu kampung, penjual kacamata. Periksa sama alatnya dia, pakai kacamatanya, tapi tetap saja, anak saya pusing, tidak bisa melihat dengan jelas. Jadi mau tidak mau, dibawa ke dokter."

"Lusi Wijaya," tiba-tiba sang asisten dokter memanggil.

"Kami masuk dulu ya, Pak," Sang bapak beserta istri dan anak yang ternyata bernama Lusi Wijaya beranjak berdiri.

"Oya, silakan, Pak," Saya berkata sambil tersenyum.

Setelah mereka bertiga berada di dalam kamar praktek dokter selama kurang lebih setengah jam, mereka pun keluar. Sang bapak menyerahkan secarik kertas kepada asisten dokter, sang asisten melihat sejenak, lalu mempersilahkan bapak tersebut untuk menunggu sebentar.

"Tuti Herawati," asisten dokter memanggil pasien berikut.

"Bagaimana hasilnya, Pak?" tanya saya pada sang bapak, yang kembali duduk di sebelah saya.

"Dokternya sangat menyayangkan kondisi mata anak saya. Minusnya besar, dan juga ada silindernya."

Selebihnya, saya tak ingat apa yang kami perbincangkan. Saya lupa berapa minus dan silindernya. Lima tahun yang lalu. Sayangnya, pengalaman itu tidak saya catat di jurnal saya waktu itu.

Yang jelas, miris melihat anak usia dini, pra-sekolah, sudah berkacamata. Dunianya, dunia penglihatan, dibatasi oleh bingkai kacamata dengan ukuran sekitar lima kali tiga senti. Padahal seharusnya, dunia luas bisa anak itu nikmati tanpa dibatasi lingkup batas bingkai kacamata.

Itu lima tahun yang lalu. Seiring perkembangan teknologi yang semakin maju, banyak bermunculan hape-hape canggih dengan fitur-fitur mumpuni, dan melihat kecenderungan sekarang, layak disebut kesehatan mata anak Indonesia sedang dalam kondisi terancam, jika tidak ditangani dengan segera. 

Lebih baik mencegah daripada mengobati

Kalimat pencegahan seperti di atas sudah awam diketahui. Sakit, siapa sih yang ingin? Mencegah memang lebih baik. Sakit? Berat di ongkos.

Yang membedakan sakit ini dengan sakit-sakit yang lain adalah kalau sakit-sakit yang lain, seperti diare, tifus, DBD, dan sebagainya, kewajiban minum obat hanya satu hingga mungkin tujuh hari atau lebih. Setelah itu, sembuh total. Tak perlu minum obat lagi.

Sakit "Minus" atau "Silinder" ini tidak sama dengan sakit-sakit yang lain. Kalau yang lain, obatnya hanya hitungan hari dikonsumsi, obat untuk mata "minus" dan "silinder" ini tidak ada batas waktu penggunaan. Selamanya. Selama hayat masih dikandung badan.

"Minum jus wortel banyak-banyak dan teratur. Pasti sembuh," kata salah satu teman saya, Dodi (bukan nama sebenarnya), yang mengemukakan opini, yang sebenarnya sudah basi, kadaluarsa. Opini yang keliru.

"Kalau memang ampuh, pasti tidak ada lagi yang matanya minus. Termasuk aku, karena aku juga dulu konsumsi jus wortel waktu kecil, tapi gak sembuh juga."

"Lalu gimana ya ngobatinnya?"

"Ya, kalau sudah terlanjur, ya tidak bisa, tapi kalau mencegah terjadinya, itu bisa, meskipun tidak menjamin bebas kacamata. Misalnya, selain minum jus wortel tadi untuk mencegah, bisa juga dengan membatasi penggunaan gawai. Di hari Senin sampai Jumat tidak boleh menggunakan. Hanya boleh di akhir pekan. Sabtu dan Minggu baru boleh digunakan anak. Itu pun jangan sampai berjam-jam, apalagi sampai larut malam".

 Beberapa muridku ada yang mendapat aturan seperti itu dari orangtua mereka. Mata mereka sehat, juga pribadi mereka baik, sopan. Kalau masalah sopan sih, tergantung didikan orangtua, tak ada hubungannya dengan penggunaan gawai, hehehe. 

"Kedua, sebagai substitusi, tumbuhkan kegemaran membaca buku. Buku jelas bebas radiasi, tapi ya, harus diatur dimana membacanya. Harus membaca di tempat yang cahayanya memadai untuk membaca, serta jarak mata dan buku tidak terlalu dekat.

"Ketiga, ajak putra-putri berolahraga bersama, atau piknik bersama di luar ruangan sesekali. Dengan begitu, ada keakraban dan tidak timbul kebosanan hanya  di rumah saja. Sekarang ini, karena kesibukan, makanya timbul kecenderungan main gawai terlalu banyak, karena tak perlu keluar rumah. Itu salah. Olahraga, dan refreshing perlu, supaya badan pun bisa segar. Kita bisa mencontoh orang-orang zaman dahulu, tanpa gawai dan segala keriuhan teknologi, namun mereka bahagia dan hidup sehat sampai usia senja, dan juga kebanyakan baru berkacamata waktu mereka sudah tua. Kita? Baru usia tiga puluh saja sudah sakit-sakitan. Asam uratlah, penyakit jantung lah, rematik lah."

"Iya juga ya," Doni manggut-manggut.

Kesehatan mata anak Indonesia dalam status gawat darurat?

Entah lima atau sepuluh tahun ke depan, berapa banyak mata anak yang jadi korban gawai. Bukan gawainya yang salah, namun pola pemakaiannya yang tidak benar. Seperti ada perkataan yang menyatakan :

Sukses itu ada polanya; Gagal pun ada polanya juga.

Dengan mengetahui pola penggunaan gawai secara tepat, mata anak pun niscaya akan terbebas dari penggunaan kacamata.

Memang capek membatasi anak dalam menggunakan gawai, namun lebih baik seperti itu daripada anak berkacamata di usia dini.

"Jagalah mata anak Anda sebelum terlambat."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun