Saya sudah kenyang dengan teman-teman yang cuma sebatas teman. Tidak bisa naik pangkat jadi sahabat, karena mereka cuma ada di saat kita makmur atau kalau mereka lagi ada perlu atau mau pinjam uang.Â
Saya menemukan teman-teman yang sejati atau sahabat sejati yang memang bukan kalau ada perlunya saja menghubungi, namun sahabat sejati selalu bersilaturahmi, meskipun sekedar bertanya remeh temeh lewat perpesanan singkat, seperti whatsapp atau line, atau menelepon secara singkat.
Dan sahabat sejati itu adalah mereka yang tetap menerima kita, seperti yang saya bilang di awal, apa adanya, meskipun kita dalam posisi yang terendah sekalipun.Â
Teman saya, sebut saja Gunawan, dulu seorang pengusaha. Dia mempunyai toko sembako yang ramai pembeli. Teman-temannya banyak.Â
Namun, sayangnya, Gunawan tidak mengelola usaha dengan baik. Tidak ada pencatatan yang rapi tentang pemasukan dan pengeluaran. Dia menggunakan uang untuk hal-hal yang konsumtif. Gonta ganti hape terkini, makan di restoran mewah setiap malam, pesiar tak kenal waktu, dan lain sebagainya.
Akibatnya, besar pasak daripada tiang. Besar pengeluaran daripada pendapatan. Utang bank tidak bisa dibayar. Belum lagi utang dengan supplier. Aset disita. Rumah, tanah disita. Perhiasan istri dijual untuk membayar utang bank dan supplier yang masih tersisa.
Meminjam uang dari teman? Sudah dilakukan oleh Gunawan, meskipun tidak semua memperoleh tanggapan yang ramah. Kebanyakan menghindar.Â
"Satu demi satu hilang, Ton. Mereka seakan tak mengenalku lagi. Bahkan, waktu ketemu di jalan, mereka seakan tidak melihat. Padahal sudah berhadapan," Gunawan menghela napas, "Itulah, Ton. Kalau kita banyak duit, banyak orang mengakui kita sebagai teman,sahabat, atau saudara. Kalau kita susah, miskin, mana ada yang mengakui kita sebagai teman atau kerabat. Bahkan di depan banyak orang, mereka akan bilang, "Gak kenal tuh. Siapa dia?" Bayangkan, Ton. Sampai sebegitunya. Padahal dulu mereka bilang aku itu sahabat mereka. Nyatanya, setelah aku kere, mereka lenyap."
3. Turut berduka, baik di saat orang yang kita kasihi meninggal maupun saat kita yang meninggalÂ
Ini bagian yang tersulit, apalagi kalau kita menghadapi kenyataan yang menyakitkan seperti pengalaman saya di awal tulisan ini.
Saya tidak sakit hati dengan Rendi, namun itu menjadi pembelajaran buat saya seandainya ada teman saya yang meminta tolong pada saya jikalau orangtua mereka meninggal, saya akan menolong semaksimal mungkin.
Baru-baru ini, ada ayah teman saya yang meninggal di kota lain, Tenggarong, yang kalau dari Samarinda, butuh waktu perjalanan sekitar setengah jam atau lebih, kalau menggunakan mobil atau sepeda motor.