"Ya, memang ada," jawab saya sabar, "Tapi kan bisa dihitung dengan jari, dalam satu kelas, berapa yang ucapkan kata "tolong" untuk meminta bantuan atau pertolongan," jawab saya dengan tenang.
"Satu atau dua orang saja, Pak," jawab Tina setelah hening berpikir selama beberapa saat.
"Nah, kan terbukti apa kata saya," kata saya sambil tersenyum. Menutup percakapan kalau generasi sekarang, sudah langka mengucapkan "tolong" waktu meminta bantuan.
Yang lebih parah, ada teman saya, sebut saja Reni, yang dengan entengnya berkata, "Enak nih, keponakanku, Arnold. Sudah besar sekarang. Sudah bisa disuruh-suruh."
"Nold, ambilkan dompet tante di kamar."
"Nold, bukakan pintu. Cepat."
"Nold, belikan gula pasir satu kilo di warung sebelah."
Saya pun tergelitik untuk bertanya, "Ren, kamu kok nyuruh-nyuruh kayak bos gitu ke Arnold. Kasihan keponakanmu."
"Kan gak papa," jawab Reni enteng. "Aku kan tantenya. Aku disuruh jagain dia. Ibunya lagi ke luar kota. Jadi, ibaratnya, dia bantu-bantu aku di sini. Wajarlah aku nyuruh-nyuruh. "
"Iya. Memang wajar. Tapi kan bisa kamu tambahkan kata 'tolong' sebelumnya. 'Tolong ambilkan dompet tante di kamar ya, Arnold'. Seperti itu kan enak didengarnya. Arnold tidak merasa jadi jongosmu. Coba posisikan dirimu di pihak Arnold, lalu kamu disuruh-suruh sama tantemu tanpa kata 'tolong'. Gimana perasaanmu?"
Saya sih tidak mengharapkan jawaban Reni. Reni memang terdiam setelah mendengar apa yang saya katakan. Entah dia sadar atau menyadari kebenaran ucapan saya, karena setelah itu, di hari yang sama, beberapa menit kemudian, dan saya masih di situ, masih mengetik laporan kami berdua di rumahnya, Reni berkata, "Lagi sibuk, Arnold?"