Sebagai guru, banyak segi-segi kehidupan yang menjadi pembelajaran. Mulai dari menghadapi anak murid yang nakal; orangtua atau wali siswa yang terkadang bawel dan sok tahu atau malah tak pedulian; kesalahpahaman dengan rekan guru; atau hal-hal yang terjadi di sekitar kehidupan ini.
Nah, kadang saya mendapati uneg-uneg atau keluhan, entah dari murid, orangtua murid, atau rekan guru, atau teman, tentang masalah dalam kehidupan mereka. Saya pun terkadang mendapat pengalaman dari relasi dengan orang-orang yang pernah bersinggungan dengan saya, misalnya saat sedang menunggu sepeda motor saya yang lagi di-service di bengkel, sehingga saya bisa ngobrol dengan sesama yang juga sedang menunggu sepeda motor mereka selesai di-service.
Satu pengalaman unik, yaitu waktu saya berbincang-bincang dengan sesama rekan guru, membicarakan tiga hal yang akan punah di dunia jika tidak dilestarikan.
Akan punah? Apakah ini binatang?
Mungkin ini pemikiran Anda, kalau mendengar kata punah.
Oh, ini bukan tentang binatang, atau tumbuhan. Ini bicara tentang karakter, sikap, kebiasaan yang akan punah, akan hilang dari dunia, jika tidak dilestarikan.Â
Semakin canggih teknologi sekarang, justru saya melihat semakin langka tiga hal ini. Apakah menyalahkan teknologi? Bukan teknologi yang salah, tapi manusianya. Ibarat pisau bermata dua. Bisa digunakan untuk memotong daging sapi. Daging diiris-iris, lalu dipanggang, dan akhirnya dinikmati; di sisi lain, bisa berbahaya. Bisa melukai bahkan membunuh kita, kalau tidak hati-hati menggunakannya.Â
Pisau di tangan orang yang bijak akan digunakan secara bijak; tapi di tangan orang yang kurang bijak, akan digunakan dengan tidak benar.
Nah, mungkin Anda sudah penasaran. Apa sih tiga hal yang akan punah ini?
Ayo kita bahas satu per satu.
1. Kata "Tolong"
"Ah, ada aja tuh yang ucapkan "tolong", bantah Tina (bukan nama sebenarnya), salah seorang rekan guru.
"Ya, memang ada," jawab saya sabar, "Tapi kan bisa dihitung dengan jari, dalam satu kelas, berapa yang ucapkan kata "tolong" untuk meminta bantuan atau pertolongan," jawab saya dengan tenang.
"Satu atau dua orang saja, Pak," jawab Tina setelah hening berpikir selama beberapa saat.
"Nah, kan terbukti apa kata saya," kata saya sambil tersenyum. Menutup percakapan kalau generasi sekarang, sudah langka mengucapkan "tolong" waktu meminta bantuan.
Yang lebih parah, ada teman saya, sebut saja Reni, yang dengan entengnya berkata, "Enak nih, keponakanku, Arnold. Sudah besar sekarang. Sudah bisa disuruh-suruh."
"Nold, ambilkan dompet tante di kamar."
"Nold, bukakan pintu. Cepat."
"Nold, belikan gula pasir satu kilo di warung sebelah."
Saya pun tergelitik untuk bertanya, "Ren, kamu kok nyuruh-nyuruh kayak bos gitu ke Arnold. Kasihan keponakanmu."
"Kan gak papa," jawab Reni enteng. "Aku kan tantenya. Aku disuruh jagain dia. Ibunya lagi ke luar kota. Jadi, ibaratnya, dia bantu-bantu aku di sini. Wajarlah aku nyuruh-nyuruh. "
"Iya. Memang wajar. Tapi kan bisa kamu tambahkan kata 'tolong' sebelumnya. 'Tolong ambilkan dompet tante di kamar ya, Arnold'. Seperti itu kan enak didengarnya. Arnold tidak merasa jadi jongosmu. Coba posisikan dirimu di pihak Arnold, lalu kamu disuruh-suruh sama tantemu tanpa kata 'tolong'. Gimana perasaanmu?"
Saya sih tidak mengharapkan jawaban Reni. Reni memang terdiam setelah mendengar apa yang saya katakan. Entah dia sadar atau menyadari kebenaran ucapan saya, karena setelah itu, di hari yang sama, beberapa menit kemudian, dan saya masih di situ, masih mengetik laporan kami berdua di rumahnya, Reni berkata, "Lagi sibuk, Arnold?"
"Gak juga , Tante. Lagi kerjakan pe-er," jawab Arnold.Â
"Tante bisa minta tolong?"
"Minta tolong apa, Tante?"
"Tolong ambilkan kunci motor Tante di kamar ya. Di meja. Tolong ya, Nold."
"Iya, Tante."
Anda lihat perbedaannya? Anda rasakan efeknya? Lebih enak kedengarannya, bukan? Kalau bukan kita sebagai orang dewasa yang mengucapkannya, membiasakan mengucapkan dalam keseharian, lalu siapa lagi? Kita harus memberikan contoh pada anak-anak kita. Dimulai dari diri kita sendiri dulu.Â
2. Kata 'Maaf'
Kata ini mungkin agak lebih mudah dijumpai. Namun bukan berarti umum diucapkan. Apalagi kalau menyangkut harga diri. Terkadang, yang lebih tua gengsi untuk mengucapkan maaf kepada yang lebih muda jika berbuat salah.
Saya punya pengalaman yang unik waktu masih mengajar di SD dulu.Â
Saya memarahi salah satu murid laki-laki pada suatu kali karena sang anak berbuat kenakalan. Saya memarahi, karena dia sudah membuat keonaran di dalam kelas.Â
Namun setelah itu, saya merasa tidak enak. "Tak seharusnya aku marah seperti tadi," Saya menyesal.
Saya pun meminta maaf pada Edo (bukan nama sebenarnya), murid yang saya marahi sehari sebelumnya, "Maaf, ya, Do. Kemarin bapak marahi kamu. Bapak marah karena ...," Saya utarakan kenapa saya memarahi dia sehari sebelumnya dengan perkataan yang lembut dan sabar. Setelah itu, saya mengucapkan kata "maaf" sekali lagi.
Edo tidak berkata apa-apa. Dia cuma tersenyum. Namun saya yakin dia sudah memaafkan saya.Â
Kadang-kadang lewat tingkah laku saja kita sudah tahu apakah orang tersebut sudah memaafkan kita atau belum. Senyuman tak mungkin tampil jika orang tersebut tak memaafkan.
Sampai sekarang, hubungan saya dengan Edo baik-baik saja. Meskipun dia sudah tak bersekolah di esde lagi, namun waktu bertemu di jalan, atau waktu saya memposting artikel di kompasiana, lalu tautannya saya posting di facebook, Edo selalu memberikan komentar yang positif.
"Bagus sekali artikelnya, Pak."
Atau kalau waktu saya memposting video saya ketika bermain gitar ke facebook, maka Edo akan berkomentar, "Keren, pak, permainannya."
Mungkin selama hidupnya, dia tak pernah mendapati ada guru yang minta maaf padanya, apalagi setelah memarahi dia.
Jadi, kalau seandainya Anda berbuat salah pada siapa pun, termasuk kepada anak Anda, janganlah gengsi untuk minta maaf.Â
Saya sudah membuktikan, kalau kata "Maaf" itu tidak mengurangi wibawa saya, malah semakin memperkuatnya di mata para siswa, bahwa guru pun bisa salah, dan tidak sungkan untuk minta maaf kalau keliru bertindak. Guru juga manusia. Minta maaf tidak menurunkan wibawa, malah tambah mempererat hubungan guru dengan murid, bahwa guru adalah pengganti orangtua di sekolah. Tidak ada bedanya dengan orangtua mereka di rumah.
3. Ucapan "Terima kasih"
"Bilang apa sama Om Anton?"
"Makacih, Om."
Saya tersenyum kalau melihat situasi seperti ini. Kondisi seperti ini biasanya terjadi sampai anak masuk sekolah dasar di kelas satu sampai dua. Itu biasanya, menurut pengamatan saya.
Setelahnya?
Budaya mengucapkan "terima kasih' itu seakan sirna. Entah apa yang salah. Mungkin karena kesibukan orangtua; atau orangtua menganggap pendidikan moral itu tanggung jawab sekolah; atau karena banyaknya paparan sinetron dan tayangan di televisi yang tidak baik; atau beberapa konten di media sosial dan media daring lainnya yang tidak mendidik atau tidak bermuatan edukasi dan anak-anak melihat tanpa bimbingan orangtua; sehingga anak-anak pun seperti terhipnotis dan apa-apa selalu mengandalkan 'google' sebagai referensi, baik dalam bertutur kata, berperilaku, bahkan sampai mencari jawaban dari soal pekerjaan rumah di internet.
"Ayo, cari jawabannya di buku."
"Aku cari di google aja, Pak."
Murid saya, Nino (bukan nama sebenarnya), yang baru kelas empat esde saja sudah bilang begitu. Dia malas baca buku. Padahal jawaban dari pekerjaan rumahnya ada di buku pelajarannya.
Saya juga melihat seiring penggunaan gadget yang semakin masif, sehingga banyak orang menjadi individualistik, egois, mementingkan diri sendiri, sampai-sampai terlalu sibuk dengan gadget-nya waktu membeli makanan di restoran cepat saji, sehingga mengucapkan "terima kasih" pada pramusaji pun tak dilakukan.
Begitu juga waktu di restoran biasa. Setelah pelayan mengantarkan makanan ke meja konsumen, jarang ada yang mengucapkan terima kasih. Apa susahnya mengucapkan terima kasih, plus diiringi dengan senyuman? Hal kecil, tapi bernilai tinggi, kalau dilakukan.
Bagaimana dengan Anda?
Kita mengevaluasi diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk kategori yang masih memegang teguh budaya mengucapkan tiga hal di atas atau tidak?
Saya harapkan Anda dan keluarga termasuk orang-orang yang memegang teguh dalam mengucapkan tiga hal di atas.
Ketiga hal di atas menunjukkan kualitas diri kita, karena dengan mengucapkan kata "tolong", berarti Anda menghargai lawan bicara, meskipun usianya lebih muda dibanding Anda; mengucapkan kata "maaf" berarti Anda adalah orang yang selalu mau merendahkan hati, orang yang selalu mengevaluasi diri, orang yang selalu mau mengakui kalau sudah berbuat salah pada orang lain, meskipun dari segi usia dan jabatan, lebih muda dan lebih rendah dari Anda; Â kalau Anda mengucapkan "terima kasih", berarti Anda menghargai apa yang orang lain sudah kerjakan untuk Anda, bahkan orang-orang yang mungkin menurut dunia, seperti pemulung, atau pramusaji, tidak masuk hitungan, namun jika Anda mengucapkan "terima kasih" kepada mereka dengan tulus, mereka pun merasa dihargai.Â
Memberikan penghargaan pada orang-orang yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat sangatlah berarti bagi mereka. Itu menjadi kenangan manis sewaktu mereka pulang ke rumah, dan mereka bisa bergiat lebih lagi dalam bekerja.
Jadi, jangan biarkan tiga hal ini punah di dunia. Kita harus terus memupuknya. Melestarikannya. Demi Indonesia yang lebih baik ke depan.
"Lestarikan tiga hal ini. Dengan begitu, niscaya, generasi mendatang adalah generasi emas yang tiada duanya untuk Indonesia Jaya."
*
Samarinda, 11 Maret 2019
Anton
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI