Hidup bagai suatu panggung sandiwara. Entah sejak kapan istilah ini muncul. Yang jelas, tidak jauh dari realitas hidup sehari-hari.
Bagai seorang aktor di suatu film atau sinetron. Bisa baik perannya atau antagonis, semua itu berpulang pada sang sutradara. Namun begitu tidaklah sama apabila hidup mempunyai dua sisi yang bertolak belakang. Biasanya orang punya satu sisi. Tapi orang yang satu ini berbeda.
Sandi merasa ada yang lain pada dirinya sejak dia mengalami kecelakaan. Kecelakaan lalulintas. Jatuh dari sepeda motor, sesudah menubruk mobil yang berada didepan, karena tidak fokus.
Sandi pingsan, lalu dibawa ke rumah sakit. Semuanya bagai sebuah mimpi. Tak merasakan apa-apa, bahkan waktu terjadi kecelakaan pun tak disadari. Waktu sadar, sudah ada di rumah sakit, seperti baru bangun tidur, namun terasa aneh. Bau obat, nyeri di wajah sebelah kiri, dan waktu menyentuh alis kiri, ada darah!
Sandi tak ingin mengingat hal itu lagi. Baginya, itu trauma yang aneh. Siapa yang ingin mengalaminya? Tak ada! Tak seorang pun!
Hari pertama, memiliki wajah yang 'baal', terasa tebal di sebelah kiri merupakan hal yang aneh. Sandi mudah merasa pusing dan tak berdaya. Hari kedua, masih terasa aneh. "Siapa tahu dengan fisioterapi, kamu bisa sembuh, Di," saran Doni.
Namun sang fisioterapis pun tak bisa memberikan jaminan. "Kasus Mas ini langka. Biasanya orang tua yang terkena stroke yang kena hal seperti ini. Saraf motorik dan sensoriknya diserang, makanya muka mereka mencong dan tak dapat berbicara dengan lancar. Tapi Mas berbeda. Cuma saraf sensoriknya yang diserang. Terbukti Mas merasa tebal di wajah sebelah kiri. Saraf motoriknya tidak apa-apa. Mas bisa menggerakkan bagian wajah sebelah kiri. Sayangnya kami cuma bisa memberikan terapi, tapi tidak bisa menjamin kesembuhan Mas ...."
Sandi pun cuma bisa pasrah. Dari segi medis tidak bisa. Titik. Yah, mau ngomong apalagi? Hanya Tuhan yang bisa menyembuhkan!
Sandi pun, dengan kekurangan yang ada, mengarungi hidupnya kembali. Banyak orang tidak melihat apa yang menjadi 'cacat' dari Sandi. Jadi percuma Sandi bicara tentang rasa pusingnya pada orang lain.
Mereka tidak bisa merasakan apa yang dia rasakan. Pusing, kepala serasa berputar, dan lain sebagainya. Tapi ada hal lain yang aneh. Hal yang menjadi pemikiran Sandi siang dan malam setelah seminggu berlalu.
Ada dua pemandangan di dua mata, bukan satu pemandangan saja. Mata kanan melihat hal yang normal; manusia, lingkungan sekitar, dan seabrek-abrek lainnya. Tapi mata kiri melihat fenomena yang lain; manusia berbaju putih. Mungkin tidak bisa dikatakan manusia, karena ini tidak berkaki, dan wajahnya pun putih pucat seperti mayat!
Apakah aku sudah jadi gila, melihat hal-hal yang tidak nyata seperti ini?
Namun sayangnya ini nyata!
Sementara mata kanannya melihat kertas di meja, mata kirinya melihat tangan putih di sebelah tangan kirinya!
Sandi sudah tak tahan lagi, namun apa yang bisa dia perbuat? Bercerita pada orang lain bahwa dia bisa melihat roh-roh halus yang bergentayangan? Pasti mereka akan menganggap dia gila!
Roh-roh itu seperti ingin mengatakan sesuatu pada Sandi, tapi tak ada suara pun yang terdengar. Sandi berusaha untuk mendengar suara mereka, bahkan berusaha untuk membaca gerak bibir mereka, namun tak bisa. Bibir mereka terlihat terbuka tertutup tak jelas apa yang mereka cakapkan.
Kadang-kadang, dalam hati, Sandi ingin mencongkel mata kirinya, dan menjadi orang biasa saja. Dengan mata kanan yang normal. Tapi membayangkan hanya punya satu mata adalah suatu kerepotan baginya. Dua mata saja kurang bisa melihat dengan jelas, apalagi cuma punya satu mata!
Tapi ada hal lain yang membuat Sandi jadi berpikir setelah itu. Dia jadi tidak merasa sendirian lagi. Selama ini dia merasa hidupnya seorang diri. Tinggal di kos sendiri. Makan sendiri. Apapun yang dikerjakan selalu dikerjakannya sendiri. Namun sekarang ada 'oknum-oknum' yang selalu berkeliaran di sekitarnya.
Meskipun begitu, kadang-kadang Sandi perlu kesendirian. Dia butuh privacy. Tapi bagaimana dia bisa mengusir mereka? Jangankan berbicara, menyentuh mereka pun, dia tak bisa.
Ah, seandainya kecelakaan itu tak terjadi, mungkin hal-hal melihat dunia gaib ini pun juga tak akan terwujud. Namun apa mau dikata. Semuanya sudah terjadi, dan Sandi berada dalam posisi tidak bisa menawar.
Tapi pada suatu pagi keanehan terjadi. Dia tidak bisa melihat hal-hal yang nyata, tapi cuma bisa melihat hal-hal yang gaib saja. Ini tentu saja menimbulkan kesulitan baginya. Seperti seorang yang buta.
"San, ini aku disini. Masak kamu nggak lihat aku?"
"San, kamu jangan bercanda dong. Pura-pura nggak lihat ya?"
"Sombong kamu ya, San. Kayak nggak kenal aja."
Sandi tidak bisa melihat mereka yang nyata ada. Hanya yang gaib sekarang yang bisa dia lihat. Apa yang terjadi padaku, Tuhan? Mengapa Kau menimpakan hal seperti ini padaku? Bagaimana aku bisa mencari uang kalau kondisi seperti ini yang terjadi padaku sekarang?
Sandi pun hanya bisa meratap. Meratapi kesialannya. Menyesali apa yang sudah terjadi dahulu. Seandainya .... Tapi semua sudah lewat. Sekarang dia diperhadapkan dengan dunia ini.
Roh-roh bergentayangan, dan dia terpekur menekuri lantai. Seorang diri ....
*
Samarinda, 14 September 2010
Anton
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H