Saya menulis artikel ini untuk mengingatkan diri saya sendiri dan mudah-mudahan juga bisa menginspirasi orang lain kalau seandainya Anda mengasihani diri sendiri, berkacalah, karena pasti ada yang kondisinya lebih malang dari Anda.
Saya malam itu merasa galau dengan masa depan saya. Di hari sebelumnya, saya menulis puisi tentang kebebasan burung-burung yang bisa terbang kemana pun mereka ingin pergi.
Saya merasa sudah menyia-nyiakan masa muda dengan melakukan hal-hal yang tidak saya sukai dan memasuki usia parobaya, saya baru menyesal.
Saya waktu itu bingung. Di satu sisi, saya ingin resign dari pekerjaan saya waktu itu dan menekuni bisnis online, serta hobi menulis, disambi les privat bahasa Inggris. Namun di sisi lain, saya teringat dengan kegagalan saya dalam berbisnis online sebelumnyaa, yang mengakibatkan cadangan devisa saya terkuras di masa lalu.
Saya juga gagal di bidang mlm dan asuransi.
"Saya tidak berbakat," kata saya pada diri sendiri di waktu lampau.
Apakah benar begitu?
Setelah saya telaah dan pikirkan, saya mengambil kesimpulan kalau bukan karena saya tidak berbakat, tapi karena saya tidak menikmati proses bekerjanya.
Thomas Alva Edison, Henry Ford, Tohpati, Addie MS, Jubing Kristianto, Jack Ma, dan berbagai orang sukses lainnya memperlihatkan hal yang sama. Ada satu hal yang sama setelah saya membaca artikel-artikel tentang mereka.
Satu hal yang sama yaitu mereka menyenangi apa yang mereka kerjakan.
"Hidup cuma sekali. Kenapa malah mengerjakan sesuatu yang tidak disuka. Kerjakan hal yang Anda cintai."
Entah siapa yang mengatakan ini, tapi menurut saya, kalimat-kalimat itu mengandung unsur kebenaran.
Banyak orang yang jadi manusia rata-rata karena mengerjakan sesuatu yang tidak mereka sukai.
"Saya terpaksa mengerjakannya. Mau bagaimana lagi? Cuma ini yang saya bisa," alasan beberapa dari teman saya.
Apakah benar seperti itu?
Saya rasa, sama seperti saya, mereka takut untuk menjalani secara total hal-hal yang mereka suka, dan bagi mereka, hobi itu tidak memberikan pendapatan bagi mereka.
Padahal, seandainya sambil bekerja, mengerjakan hobi di waktu luang, atau menyediakan waktu khusus di malam hari (seandainya bekerja di pagi hari), bisa saja mewujudkan impian mengerjakan yang mereka suka dan mereka mendapat bayaran dari kegemaran mereka, nantinya bisa secara total menjalani profesi idaman.
Apa hubungannya dengan bapak tua ini?
Bapak ini menggambarkan hal yang selalu saya idam-idamkan.
Apa itu?
Yaitu mengerjakan apa yang disuka dan dibayar untuk itu.
Sejak saya ada di kota Samarinda (Kalimantan Timur) sekitar dua puluh tahun yang lalu, bapak tua ini selalu eksis dengan pakaian jawa dan siter (bagi yang tidak tahu apa itu siter, googling aja :))
Dia dengan setia menyanyi sambil memetik siter.
Saya salut dengan bapak tua ini (saya tidak sempat memfoto beliau. Untung saya dapat foto beliau dari internet :)).
Pagi, siang dan malam, beliau mencari nafkah dari mengamen.
"Saya lebih menghargai pengamen seperti bapak ini, daripada pengemis, yang punya tangan, kaki, mata dan organ tubuh lain yang masih lengkap, tapi minta-minta uang, minta belas kasihan, tanpa ada usaha sedikit pun," celetuk bapak penjual buah di sebelah saya.
Saya setuju dengan bapak penjual buah.
Banyak orang yang lebih muda daripada bapak tua ini yang meminta-minta sedekah.
Sungguh menyedihkan.
Pesan Moral dari Bapak Tua ini
Bapak tua ini tidak menyampaikan pesan lisan secara langsung, namun saya menarik pesan moral dari perilaku bapak pengamen ini.
Pertama - Dia tidak mau mengemis
Dia bisa saja mengemis, apalagi di usia senja, dimana orang-orang seusianya biasanya leha-leha, menikmati masa tua sambil momong cucu atau melakukan kegiatan-kegiatan ringan lainnya.
Tapi alih-alih mengemis, bapak tua ini mengamen, dan uniknya menggunakan alat musik siter, sehingga menjadikan dia sebagai pengamen yang lain daripada yang lain.
Kedua - Jangan jadikan faktor usia sebagai hambatan untuk tetap berkarya
Tak sedikit yang berkata, "Saya sudah terlalu tua untuk itu."
Yang saya pikirkan waktu ada orang-orang yang berkata seperti itu adalah 'Apakah memang orang-orang itu lemah secara fisik atau malas?'.
Selama masih bisa, saya rasa, jangan membatasi diri.
Bapak tua ini memberikan contoh yang luar biasa. Mengamen dari pagi sampai malam. Saya tidak bisa membayangkan betapa capeknya dia, karena kelihatannya dia menikmati pekerjaannya, yang menjadi poin ketiga.
Ketiga - Mengerjakan sesuatu yang disuka
Entah apa pekerjaan waktu muda dulu, tapi bapak ini sudah menjalani profesi pengamen selama kurang lebih 20 tahun atau mungkin lebih dari itu.
Menurut saya, tidak mungkin orang menjalani profesi sampai selama itu kalau dia tidak menyukainya.
Memang ada orang-orang yang berprofesi sebagai pegawai selama puluhan tahun sampai pensiun, karena mereka beralasan 'terpaksa' atau 'sudah ada tanggungan, sehingga tidak mau ambil resiko untuk usaha'.
Saya melihat bapak tua ini menikmati profesi mengamen. Malahan dia menyanyikan lagu-lagu teranyar saat ini.
Luar biasa.
Meskipun menggunakan alat musik dari Jawa, namun tidak membatasi diri untuk memainkan lagu-lagu masa kini.
Aku Malu pada Bapak Tua ini
Saya malu pada Bapak tua ini.
Saya takut mengambil tindakan nyata untuk mengerjakan hal-hal yang saya sukai.
Saya sering mengeluh tentang pekerjaan saya, alih-alih bersyukur.
Saya sangat malu pada diri sendiri.
Tidak ada kata terlambat.
Saya akan mengambil langkah maju untuk melakukan hal-hal yang saya suka.
Bapak tua ini menginspirasi saya untuk sadar bahwa hidup ini singkat, namun tidak ada kata terlambat.
Mulai saja.
'Lebih baik terlambat daripada tidak melakukan sama sekali'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H