Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Setumpuk Uang dalam Kubur

30 Oktober 2018   16:31 Diperbarui: 30 Oktober 2018   16:47 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : www.nu.or.id

Tentu saja, Udin merasa dirinya tak berarti. Dia merasa dirinya kecil. Mertua seorang konglomerat, dengan tanah, rumah kontrakan, yang bertebaran dimana-mana, sedangkan dia cuma seorang tukang ojek sederhana, dengan andalan tenaga badan dan sepeda motor yang sudah terbilang lama, Semakin banyak dia membawa penumpang atau mendapat orderan makanan, maka uang yang dihasilkan pun akan semakin banyak. Jika dia malas-malasan, maka hasilnya pun jadi tak seberapa.

Mempunyai tiga anak bukan perkara mudah. Bukan perkara mudah untuk membesarkan mereka semua. Mereka semua butuh kasih sayang, perhatian dan juga dipenuhi kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan, tentu saja harus punya uang yang memadai. Nah, uang inilah yang menjadi masalah. Dia tidak bisa memenuhi semua kebutuhan ataupun keinginan anak dan istrinya.

Dan sekarang dia diperhadapkan dengan situasi sulit. Anak pertamanya, Januar, ingin menikah. Tentu saja, menikah butuh biaya. Orang bodoh sekalipun tahu, kalau menikah itu butuh biaya yang tidak sedikit. Pertanyaannya sangat sederhana. Darimana uang untuk resepsi pernikahan? Ini menjadi persoalan.

"Bagaimana kalau pinjam dengan Bapak saja?" usul sang istri.

Udin tahu persis bagaimana perangai sang mertua, kalau menyangkut soal uang. Termasuk waktu dia melamar Lina, yang sekarang menjadi istrinya. "Kamu kerja apa?" itu pertanyaan Pak Wagimin. Sewaktu mendengar Udin bekerja di perusahaan batu bara terkemuka di Samarinda, dia pun hanya diam mengangguk. Tapi sebelum pulang, dia berujar, "Mungkin lebih baik kamu minta pinjaman dari kantormu. Uang hasil pinjamanmu untuk buka usaha sendiri. Jangan jadi anak buah terus." Begitu pesannya.

Sayangnya, nasihat itu tidak diindahkan Udin, dan setelah dia di-phk, Udin baru menyadari, kalau mertuanya ada benarnya juga. Rasa nyaman bekerja di perusahaan hanya semu belaka. Dia bekerja di perusahaan orang lain, bukan perusahaannya. Yang kaya orang lain, bukan dirinya. Yang punya aset orang lain, bukan dirinya. Dia cuma anak buah, bukan bos.

Setelah di-phk, Udin sempat pusing tujuh keliling. Apa yang harus dia lakukan?

Modalnya hanya sepeda motor, maka ojeklah yang menjadi mata pencahariannya.

Waktu Udin 'jatuh', barulah Udin melihat kalau mertuanya tidak seperti yang mula-mula.

"Uang Pendaftaran Rosa untuk masuk SMP? Boleh saja, tapi kapan dikembalikan uangnya?" ketus Pak Wagimin, sang mertua yang sudah tak seramah dulu.

"Nanti awal bulan saya kembalikan, Pak," Hampir saja Udin mengomel.

Setelah pulang, Udin mencak-mencak, "Pokoknya, aku nggak mau lagi pinjam sama Bapakmu, meskipun dalam situasi kepepet sekalipun."

Bulan berikutnya, tanggal lima, baru dikembalikan, setelah menjual kalung dan gelang emas sang istri.

"Kenapa baru sekarang dibayar. Kenapa nggak tanggal satu?" ketus Pak Wagimin.

"Maaf, Pak, tanggal satu, uangnya masih belum ada," Udin menahan-nahankan diri. Untung aku belum gelap mata. Kalau nggak, sudah kutikam kau.

Itu enam tahun yang lalu. Sekarang Januar, anak sulungnya mau menikah. "Lebih baik lebih daripada kurang," itulah yang menjadi patokan Udin. Mana tahu keluarga dari pihak mertua, teman-temannya ataupun teman-teman Januar dan Sinta (calon istri Januar) atau dari teman-teman istrinya datang memberikan ucapan selamat. Tentu saja ini sekali seumur hidup. Harus dipersiapkan dengan matang dan melebihkan dana, supaya yang punya acara tidak mendapat malu.

"Pinjam lagi sama Bapak?" suara Udin meninggi setelah mendengar usul Lina, istrinya. "Kamu aja, kalau aku emoh. Itu sama aja dengan merendahkan martabat kita di matanya."

Lina pun mengalah. Dia pergi menghadap Bapaknya.

"Ada keperluan apa, Lin?" Pak Wagimin langsung to the point waktu melihat anak ketiganya datang.

Tujuh anak yang ditinggalkan almarhum istrinya. Enam yang lain mempunyai keluarga yang berkecukupan secara finansial. Hanya anaknya yang ketiga ini bernasib malang. Suami cuma tukang ojek biasa. Masa keemasan perusahaan batu bara sudah lenyap. Sewaktu-waktu bisa kolaps. Salah sendiri, kenapa dulu tak mendengarkan nasihatku untuk punya usaha sendiri, pikir Wagimin.

Tapi meskipun begitu, ketujuh anaknya mempunyai keinginan yang sama: Mewarisi hartanya setelah ia mati!

"Maaf, Pak, kalau sudah merepotkan bapak selama ini, namun saya punya satu permintaan. Mohon kiranya bapak mengabulkan." Kalau saja suaminya mendengar perkataan seperti ini, tentu saja langsung Lina ditarik pulang!

"Mau pinjam uang lagi?" tanya Pak Wagimin langsung, tanpa tedeng aling-aling lagi.

"Iya, Pak," Lina menghembuskan nafasnya, dia tahu sekali bagaimana bapaknya ini. Kalau bicara masalah uang, pasti penuh perhitungan, tapi Lina tetap melanjutkan, "Cucu Bapak, Januar, ingin menikah, sedangkan dana yang kami punyai tidak memadai."

"Ya, kalau begitu, jangan menikah dulu. Tunggu sampai uangnya cukup. Jangan memaksakan diri," jawab Pak Wagimin ketus.

"Kapan lagi harus menunggu, Pak?"

"Ternyata kamu sama seperti saudara-saudaramu yang lain. Hanya memikirkan soal harta Bapak. Uang Bapak yang ada di pikiran kalian untuk kalian gunakan seenaknya. Kamu tahu sendiri kan, Lin. Saudaramu ada berapa. Kalau semuanya meminta uang untuk biaya pernikahan anak-anak kalian, bapak bisa bankrut!"

"Nanti akan kami ganti, Pak. Bapak tidak usah khawatir."

"Mudah bicara seperti itu disaat perlu uang. Nanti disaat mengembalikan, banyak yang mangkir tidak membayar!"

"Pak, ...."

"Sudahlah. Bapak tidak mau memberikan. Kalian terlalu manja! Nanti kalau bapak mati, semua uang bapak ikut dikubur bersama-sama dengan bapak!"

Lina pun pulang dengan tangan hampa.

Akhirnya resepsi pernikahan berjalan apa adanya, dengan meminjam ke teman-teman dan juga ada tambahan dana dari menggadaikan BPKB sepeda motor Udin. "Demi anak," begitu ujar Udin.

* * *

Pak Wagimin sakit keras. Entah apa sakitnya. Betisnya bengkak, kakinya bengkak, nafsu makan hilang, sehingga dia harus dibawa ke rumah sakit. Dia diinfus. Keluarganya semua mendampingi di rumah sakit. Bergantian menjaga. Karena tidak bisa tidur dalam posisi rebah, terpaksa dia tidur dalam posisi duduk, karena dalam posisi seperti itu, dadanya tidak terasa sesak.

Tak lama, Pak Wagimin meninggal tanpa ada sebab yang jelas. Semua anaknya cuma bisa termangu. Menunggu bagaimana nasib semua tanah, rumah kontrakan, perkebunan kelapa sawit yang dipunyai almarhum sang ayah. Akan kemanakah diwariskan?

"Hari ini, bapak-bapak dan ibu-ibu sudah hadir disini untuk mendengarkan wasiat dari almarhum ayah anda," Pak Budi Santoso, notaris Pak Wagimin memulai, "Intinya, segala kekayaan Pak Wagimin, baik berupa simpanan di Bank, deposito, tanah, rumah kontrakan, semua akan dihibahkan kepada Yayasan ...."

Begitulah akhir dari segalanya, dan tak lupa, Pak Wagimin meminta setumpuk uang dalam kuburannya, sebagai pertanda, semasa hidupnya dulu, dia memulai dari setumpuk uang receh yang tak berarti apa-apa!    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun