Setelah pulang, Udin mencak-mencak, "Pokoknya, aku nggak mau lagi pinjam sama Bapakmu, meskipun dalam situasi kepepet sekalipun."
Bulan berikutnya, tanggal lima, baru dikembalikan, setelah menjual kalung dan gelang emas sang istri.
"Kenapa baru sekarang dibayar. Kenapa nggak tanggal satu?" ketus Pak Wagimin.
"Maaf, Pak, tanggal satu, uangnya masih belum ada," Udin menahan-nahankan diri. Untung aku belum gelap mata. Kalau nggak, sudah kutikam kau.
Itu enam tahun yang lalu. Sekarang Januar, anak sulungnya mau menikah. "Lebih baik lebih daripada kurang," itulah yang menjadi patokan Udin. Mana tahu keluarga dari pihak mertua, teman-temannya ataupun teman-teman Januar dan Sinta (calon istri Januar) atau dari teman-teman istrinya datang memberikan ucapan selamat. Tentu saja ini sekali seumur hidup. Harus dipersiapkan dengan matang dan melebihkan dana, supaya yang punya acara tidak mendapat malu.
"Pinjam lagi sama Bapak?" suara Udin meninggi setelah mendengar usul Lina, istrinya. "Kamu aja, kalau aku emoh. Itu sama aja dengan merendahkan martabat kita di matanya."
Lina pun mengalah. Dia pergi menghadap Bapaknya.
"Ada keperluan apa, Lin?" Pak Wagimin langsung to the point waktu melihat anak ketiganya datang.
Tujuh anak yang ditinggalkan almarhum istrinya. Enam yang lain mempunyai keluarga yang berkecukupan secara finansial. Hanya anaknya yang ketiga ini bernasib malang. Suami cuma tukang ojek biasa. Masa keemasan perusahaan batu bara sudah lenyap. Sewaktu-waktu bisa kolaps. Salah sendiri, kenapa dulu tak mendengarkan nasihatku untuk punya usaha sendiri, pikir Wagimin.
Tapi meskipun begitu, ketujuh anaknya mempunyai keinginan yang sama: Mewarisi hartanya setelah ia mati!
"Maaf, Pak, kalau sudah merepotkan bapak selama ini, namun saya punya satu permintaan. Mohon kiranya bapak mengabulkan." Kalau saja suaminya mendengar perkataan seperti ini, tentu saja langsung Lina ditarik pulang!