Sahabat yang sesungguhnya bukan seperti itu. Bukan hanya sahabat ketika berada di circle tertentu saja. Dari sekian banyak sahabat yang berganti-ganti, pengalaman saya pribadi memiliki dua sahabat yang bahkan tak lekang oleh jarak dan terpisahnya lingkungan. Bahkan kedua sahabat saya itu tidak saling kenal satu sama lain. Misal sahabat saya itu si A dan si B, maka saya adalah si C.Â
Si A menjalin persahabatan dengan si C, dan di B juga begitu. Tetapi si A dan si B tidak saling mengenal. Dua-duanya dalam jiwa terasa sebagai saudara perempuan bagi saya walau tak sedarah sekali pun.
Jika benar-benar sahabat, sejauh apapun, rasa ikatan sahabat itu akan tetap terasa dan sesekali tali sahabat yang jauh oleh jarak itu akan terhubung kembali melalui komunikasi berbantu alat dan teknologi.
Pengalaman bersahabat dengan seseorang yang kini tinggal di Kota Sukoharjo, Jawa Tengah, berawal dari sebagai tetangga di Kota Ambon.Â
Saat itu saya sudah kuliah dan dia masih menggunakan seragam merah putih. Kemudian saat saya bekerja, dia menjadi salah satu siswa di sekolah tempat saya bekerja. Begitu pun saat saya membangun bisnis kosmetik, dia menjadi pelanggan saya. Pembicaraan kami dari perkara paling penting, sampai hal yang unfaedah.
Setelah menikah, dia berdomisili di Kota Sukoharjo, jawa Tengah. Apakah persahabatan terhenti karena jarak? Tentu tidak. Hingga detik ini kami masih berkomunikasi hampir setiap hari.Â
Sudah 16 tahun sudah saya mengenal dia. Ketika saya berkunjung ke Kota Sukoharjo Juni lalu, temu kangen pun terlaksana hingga jalan-jalan ke luar kota bersama.
Teman kedua saya kenal baru 2019 lalu di Nusa Dua, Bali, dalam suatu pelatihan guru. Kami ditempatkan dalam satu kamar hotel oleh panitia.Â
Sejak itu persahabatan dan pelajaran saya peroleh darinya. Tidak memiliki saudara kandung perempuan menjadikan saya merasa memiliki kakak perempuan yang penyayang. Jangan ditanya soal jarak, dia tinggal di Jogjakarta. Saat mengunjungi Jogja bulan lalu, memeluknya adalah misi saya.
Sahabat menerima kekurangan
Orang lain yang mampu menerima kekurangan kita itu tidak banyak. Bahkan keluarga sendiri belum tentu mampu melakukannya. Tetapi sahabat yang sesungguhnya, akan merasa kekurangan sahabatnya itu adalah aib yang harus dijaga. Bukan sesuatu yang harus dihina atau dijauhi. Itu sebabnya sahabat perlu seserver pemikirannya.
Sahabat tidak perlu senasib yang sama. Berbeda nasib pun dapat mengikat tali persahabatan dengan erat. Selama pola pikirnya sefrekuensi dan dapat diterima oleh nalar.