Kedudukan seorang sahabat itu mirip dengan kedudukan jodoh. Tidak semua orang atau teman mampu menjadi seorang sahabat. Hanya orang-orang tertentu yang cocok, saling mengasihi, saling mengerti dan saling menerima kekurangan masing-masing yang dapat disebut sahabat sesungguhnya.
Kebanyakan sahabat datang dari circle pertemanan yang memiliki hobi dan visi yang sama. Entah datang dari pertemanan sekolah, lingkup kerja, tetangga sepermainan atau dari perkumpulan komunitas.
Belakangan kata circle sudah tidak asing lagi di kalangan anak milenial. Anak-anak zaman now sering menggunakan kata circle yang berasal dari Bahasa Inggris ini untuk istilah dalam lingkup lingkaran pertemanan.
Persahabatan sendiri sebenarnya lebih jauh dari sekadar circle. Di dalam circle yang sama belum tentu memiliki karakteristik saling mengerti dan dapat menerima kekurangan.
Contohnya dalam circle lingkup kerja di kantor, belum tentu di sekeliling memiliki kenyamanan sebagai sahabat. Walau dalam suatu circle biasanya memiliki visi dan misi yang sama, tetapi belum tentu dapat saling memahami dan menerima kekurangan satu sama lain.
Sahabat tak lekang oleh jarak
Pengalaman pribadi yang saya alami sendiri soal sahabat cukup random. Selalu memiliki circle yang diyakini sebagai sahabat ketika berada di suatu lingkungan misalnya di lingkungan sekolah.Â
Saat duduk di bangku SMP, memiliki beberapa teman dekat yang dipercaya sebagai sahabat kala itu, tetapi lepas dari bangku SMP dan masuk ke lingkungan baru yaitu SMA maka gantilah sahabat baru lagi.Â
Saat SMA juga sama seperti sewaktu SMP, dipercaya teman-teman satu circle itu adalah sahabat. Tak ubahnya juga ketika kuliah. Bertemu dengan teman-teman baru dari berbagai penjuru provinsi, dekat, akrab, berbagi, lagi-lagi diyakini sebagai sahabat.
Sahabat yang berasal dari lingkup lingkungan tertentu akan reda ketika lingkungan tersebut ditinggalkan. Masih bagus jika masih keep contact, biasanya setelah sibuk dengan urusan baru di lingkungan baru maka akan terbentuk persahabatan baru.
Sahabat yang sesungguhnya bukan seperti itu. Bukan hanya sahabat ketika berada di circle tertentu saja. Dari sekian banyak sahabat yang berganti-ganti, pengalaman saya pribadi memiliki dua sahabat yang bahkan tak lekang oleh jarak dan terpisahnya lingkungan. Bahkan kedua sahabat saya itu tidak saling kenal satu sama lain. Misal sahabat saya itu si A dan si B, maka saya adalah si C.Â
Si A menjalin persahabatan dengan si C, dan di B juga begitu. Tetapi si A dan si B tidak saling mengenal. Dua-duanya dalam jiwa terasa sebagai saudara perempuan bagi saya walau tak sedarah sekali pun.
Jika benar-benar sahabat, sejauh apapun, rasa ikatan sahabat itu akan tetap terasa dan sesekali tali sahabat yang jauh oleh jarak itu akan terhubung kembali melalui komunikasi berbantu alat dan teknologi.
Pengalaman bersahabat dengan seseorang yang kini tinggal di Kota Sukoharjo, Jawa Tengah, berawal dari sebagai tetangga di Kota Ambon.Â
Saat itu saya sudah kuliah dan dia masih menggunakan seragam merah putih. Kemudian saat saya bekerja, dia menjadi salah satu siswa di sekolah tempat saya bekerja. Begitu pun saat saya membangun bisnis kosmetik, dia menjadi pelanggan saya. Pembicaraan kami dari perkara paling penting, sampai hal yang unfaedah.
Setelah menikah, dia berdomisili di Kota Sukoharjo, jawa Tengah. Apakah persahabatan terhenti karena jarak? Tentu tidak. Hingga detik ini kami masih berkomunikasi hampir setiap hari.Â
Sudah 16 tahun sudah saya mengenal dia. Ketika saya berkunjung ke Kota Sukoharjo Juni lalu, temu kangen pun terlaksana hingga jalan-jalan ke luar kota bersama.
Teman kedua saya kenal baru 2019 lalu di Nusa Dua, Bali, dalam suatu pelatihan guru. Kami ditempatkan dalam satu kamar hotel oleh panitia.Â
Sejak itu persahabatan dan pelajaran saya peroleh darinya. Tidak memiliki saudara kandung perempuan menjadikan saya merasa memiliki kakak perempuan yang penyayang. Jangan ditanya soal jarak, dia tinggal di Jogjakarta. Saat mengunjungi Jogja bulan lalu, memeluknya adalah misi saya.
Sahabat menerima kekurangan
Orang lain yang mampu menerima kekurangan kita itu tidak banyak. Bahkan keluarga sendiri belum tentu mampu melakukannya. Tetapi sahabat yang sesungguhnya, akan merasa kekurangan sahabatnya itu adalah aib yang harus dijaga. Bukan sesuatu yang harus dihina atau dijauhi. Itu sebabnya sahabat perlu seserver pemikirannya.
Sahabat tidak perlu senasib yang sama. Berbeda nasib pun dapat mengikat tali persahabatan dengan erat. Selama pola pikirnya sefrekuensi dan dapat diterima oleh nalar.
Menerima kekurangan orang lain atau sahabat adalah bentuk mengasihi yang luar biasa. Orang lain yang tak sedarah, namun dapat saling mengasihi tanpa pamrih, saling mengisi, saling menguatkan, itulah sahabat, Kawan!
Pengalaman bersahabat yang dapat menerima kekurangan saya yaitu dua orang yang diceritakan sebelumnya. Menerima kelemahan saya, kemudian memberi masukan yang membangun. Menerima ketakutan saya, kemudian meningkatkan keberanian saya. Menerima remehnya saya, kemudian memberi penguatan. Begitu pun sebaliknya. Mereka tidak malu memiliki saya.
Sahabat adalah support system dalam menjalani kehidupan. Seberapa banyak pun teman dalam circle kehidupan yang berganti-ganti, sahabat akan tetap stand by untuk ada dipeluk dan menguatkan walau hanya melalui kontak telepon.
Sahabat bukan orang yang ketika sudah jauh jaraknya akan menceritakan segala aib kepada teman baru di circle lainnya.
Ingat, sahabat bukanlah sekadar kawan gosip! Sahabat adalah teman baik yang berfokus kepada pengembangan diri agar lebih baik. Sahabat atau bestie tak ubahnya teman hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H