Mohon tunggu...
Halima Maysaroh
Halima Maysaroh Mohon Tunggu... Guru - PNS at SMP PGRI Mako

Halima Maysaroh, S. Pd., Gr. IG/Threads: @hamays_official. Pseudonym: Ha Mays. The writer of Ekamatra Sajak, Asmaraloka Biru, Sang Kala, Priangga, Prima, Suaka Margacinta, Bhinneka Asa, Suryakanta Pulau Buru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memories of PR: Zaman Tanpa Berbantu Internet

27 Oktober 2022   09:41 Diperbarui: 27 Oktober 2022   14:49 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekerjaan rumah atau PR adalah seni dari pembelajaran itu sendiri. Dapat diketahui fungsi PR adalah untuk penguatan dari materi di sekolah dan melatih kemandirian belajar. 

Dilemanya adalah terdapat beberapa PR yang guru berikan diluar kemampuan siswa, sehingga orang tua atau bahkan orang lain yang mengerjakannya. 

Misalnya guru memberi RP proyek membuat bingkai foto untuk anak SD kelas II (dua), anak-anak inin harus membawa bingkai foto ke sekolah sebagai hasil kerajinan tangan. 

Sudah dapat dipastikan PR semacam ini yang mengerjakan justru orang tua atau bahkan orang lain. 

Ini bukan lagi melatih kemandirian tetapi justru menjadikan anak tergantung pada orang lain, tidak melatih kekritisan anak untuk berpikir mencari solusi dan permasalahannya. Maka PR haruslah relevan dengan materi dan kemampuan siswa.

Dewasa ini PR dapat dikerjakan dengan sangat mudah, siswa-siswa sudah banyak yang mendapat fasititas dari orang tua mereka untuk mempermudah mengakses internet. 

Perangkat komputer, smart phone, tablet, sudah menjadi pegangan siswa sehari-hari. Siswa zaman now dapat dengan mudah mendapatkan jawaban dari PR mereka dengan sekali klik di perangkat.

Membahas soal PR, sebagian besar orang yang pernah mengenyam bangku pendidikan pasti pernah merasakan mendapat beban PR dengan berbagai dramanya. 

Beberapa kenangan tentang PR yang saya alami sebelum internet berperan penting dalam menyelesaiannya. 

Mengerjakan PR Berbantu Pelita

Masih ingat sangat lekat dalam ingatan saat PR harus dikerjakan dengan penerangan pelita. Bukan karena listrik belum masuk desa, tetapi masa itu listrik beroprasi mengikuti jadwal yang ditentukan. 

Jadi, ada jadwal malam tertentu, di desa tertentu akan terjadi pemadaman listrik bergilir. 

Siangnya saya harus membantu gembala sapi, jadi terpaksa mengerjakan PR pada malam hari yang sangat kurang penerangannya. Menggunakan lampu minyak/pelita, saya mengerjakan PR. 

Masih bisa saya ingat, waktu itu PR Ekomoni kelas dua SMP. Karena terlalu tertunduk saat menulis jawaban di buku PR, anak rambut depan kening saya tersulut api lampu minyak. 

Beruntung hanya sedikit dan saya keburu sadar bahawa rambut saya tersulut. Lekas saya padamkan rambut yang tersulut dengan handuk yang digantung di kamar. Ah, ingatan soal PR yang tak terlupakan. 

Tetangga Guru Sangat Membantu

Sumber untuk memperoleh materi tak semudah sekarang. Jangankan internet, buku-buku di perpustakaan sekolah saja masih sangat terbatas. 

Belum lagi orang tua saja yang hanya lulusan SD, tak banyak peangetahuan yang mereka miliki mengenai dunia pendidikan.  

Ketika PR tak dapat dipecahkan dan tak tau harus mencari jawaban di mana, saya memanfaatkan lingkungan. Kebetulan lingkungan saya tinggal adalah komplek perumahan (rumah dinas) guru-guru SMA. 

Jadi PR-PR saya dari SD yang tak mendapatkan pemecahan/jawaban, saya tanyakan kepada tetangga-tetangga guru. Sangat beruntung para guru bersedia meluangkan waktu untuk memberi pengarahan dan pencerahan soal PR saya. 

Jika dibandingkan dengan zaman sekarang, mungkin para guru itu bisa disamakan dengan internet masa kini. Banyak hal yang saya tanyakan, soal apapun yang ingin saya ketahui. Beberapa dari para guru tersebut memberi saya buku-buku sebagai sumber belajar.

Bapak Mengantarkan Buku PR Ke Sekolah dengan Mengendarai Sepeda 

Suatu pagi dengan kecerobohan yang saya sesali. Buku PR Agama saya terselip entah di mana. Malamnya sudah dikerjakan PR agama tersebut, tetapi pagi harinya ketika akan saya bawa ke sekolah, buku PR Agama tak ada di meja belajar. 

Saat itu saya terburu-buru karena sekolahan jauh. 5 KM dan ditempuh menggunakan sepeda. Jadi, saya harus berangkat sangat pagi agar tidak terlambat. 

Tidak sempat lagi untuk taerus mencari buku PR tersebut, saya berangkat tanpa buku PR yang sudah saya kerjakan itu.

Saat jam agama di kelas, seseorang minta izin masuk kelas dan mengatakan bahwa Bapak saya ada di luar kelas ingin menemui saya. 

Setelah mendapat izin keluar kelas, saya mendapati Bapak saya bersama sepedanya sedang membawa buku PR agama yang saya cari-cari paginya. 

Ternyata buku tersebut terjatuh di kolong meja belajar dan terselip. Bapak menemukannya setelah saya sudah di sekolah.

Bapak mengayuh sepedanya dan menunda peakerjaannya untuk berternak hanya untuk mengantar buku PR agama. Sepenting itu PR untuk saya dan Bapak.

PR mengajarkan kita untuk mandiri dan tanggung jawab. Jika siswa dibebaskan dari PR, bukan berarti tak lagi memiliki tanggung jawab dan belajar mandiri. 

Tetapi beban di sekolah akan lebih banyak dan berat lagi karena seluruh pembelajaran akan di lakukan dan diselesaikan di sekolah. 

Seperti ini pendapat dan cerita saya mengenai drama-drama PR. Semoga dapat menginspirasi dan terketuk dengan segala kemudahan mengakses internet dan buku-buku untuk menyelesaikan PR.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun