Mohon tunggu...
Ardiansyah Fauzi
Ardiansyah Fauzi Mohon Tunggu... -

Sedikit tentang saya Anak pedalaman 'PAYAHE' yang coba menulis sejarahnya sendiri. tentang tanah Dusun yang setiap hari di rampas untuk kepentingan investor asing,..\r\nMencoba melawan sebab yG namanya penjajah tak akan pernah mensejaterakan bangsa ini..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

REPORTASE KEBEJATAN TAMBANG "Seri anak Pedalaman Halmahera"

27 Maret 2012   16:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:23 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Hhmmhm,..kita kembali saja besok, tadi mungkin kita semua berangkat agak telat jadinya sepeti ini." Pak Albert ketua regu menyimpulkan kegamangan kami.

Semua mata tertuju pada beliau, sambil mencerna solusi untuk kebaikan semua anggota. "Iya kita cari rumah warga untuk istirahat dulu, besok labih pagi kita coba lagi,!" Hatifa perempuan dan anggota termuda dalam tim ekspedisi ini akhirnya angkat bicara juga. Selama perjalanan tadi aku menggodanya tapi tak sedikitpun ia mau menanggapi, penolakan ketus juga tak aku dengar. Ia hanya berusaha menghindar dan tetap diam.

"Saran Hatifa sepertinya logis,.!" aku cepat menimpali, maksudnya bersayap. Agar dia mau bicara padaku.

"Iya pak ketua, kita kembali saja,!" Anton memberi suara.

Sial bukan Hatifa yang menimpali, tapi Anton. Wajah perempuan itu masih saja ketus seperti awal perjalanan tadi kepada ku. Tanpa harus merumuskan kesepakatan lebih lama lagi, para anggota tim mulai bergerak melawan arah pertama perjalanan kami, setelah mendapat isyarat cepat dari pak Albert. Langkah pulang ku percepat agar bisa sejajar dengan Hatifa, perempuan yang sempat ku buat menangis di atas penisi tadi. Dia berbeda dengan wanita kebanyakan, dia berani meninggalkan adatnya yang latah demi sesuatu yang ia perjuangkan. Dia berani terasing dari gaya hiduo hedon perempuan metropolitan, tempatnya bukan di Mall, di pub, atau di anjungan kapal pesiar. Bukan juga di taman bunga romantis, roterdam. Ia malah betah disini, di belantara,! Hidup bersama warga lingkar tambang yang tak pernah manja. Menikam hari sungguh berat, karena tuan-tuan mencuri emas, nikel, dan batubara mereka untuk kesenangan keluarga. Juga gundik-gundik kalian. Sementara racun kekayaan itu pun kalian sebar dimana-mana, pada semua sungai mereka, pesisir laut mereka, juga pada ikan-ikan yang mereka santap setiap hari. Bisakah tuan-tuan dan bandit-bandit biadab negeri ini bayangkan,? kerasnya pergulatan hidup mereka melawan kepunahan generasi, yang telah kalian hadiahkan pada setiap pagi mereka, siang mereka, dan malam-malam mereka,.?! penuh kesakitan begitu menyiksa.

Wanita yang sebenarnya telah menjadi kebanggaan rembulan, "Dik Hatifa", Berkelana dari satu desa ke desa lain. Mencari makna hidup hakiki, mungkin hanya dia yang tahu dimana tempartnya kebahagian. Percayalah Aku tak bermaksud mengusik hidupmu, hanya saja perjuangan yang kau dengungkan telah mencemari ruas hidupku juga. Lalu haruskah meminta kau menghapusnya serbuk noda tersebut,? sangat tidak mungkin. Sebab yang datang padaku sejak perkenalan kita, adalah sesuatu sangat indah dan mendamaika. Bagaimana mungkin aku lepaskan! sementara hal itulah yang telah kucari sepanjang hidup ini.

Tak bisakah kau diam sejenak untuk menghitung getar-getarnya,? Getar yang merangkaikan asmara begitu tentramnya dalam jiwa ini dengan namamu. Sungguh luar biasa keindahan itu, hanya saja kau menganggap lelaki ini sedang bergurau, hanya mencari sensasi karena telah terlalu lama sendiri. Duhai dewa amor,.bisikan padanya tentang cinta yang tumbuh dari bejana kebencian dan kenistaan, tentang kasih yang lahir dari kemiskinan dan kemelaratan. agar aku bisa memanggilnya Dia "sayang", atau menyebutnya kekasih ketika ingin menemui Tuhan setiap akhir perjalanan yang panjang. Beritahukan padanya, agar wajah ayu itu tak lagi menyimpan amarah, tak lagi ketus pada lelaki malang ini. Lekas Dewa amor, jika tak mau aku meminta padamu serupa kata-kata makian seorang nestapa, pengelana yang sedang nelangsa menyemai bunga kambojanya seorang diri.

Biarlah Hatifa tetap ketus, biar lebih panjang dan berliku cerita kami. Perjalanan pulang yang sangat sepi, aneh saja rasanya. nafas anggota tim tak lagi berkejaran seperti awal pertama tadi. mungkin karena kami tak lagi sedang berlomba dengan matahari, atau karena kami semakin menjauh dari sarang penyamun (Perusahan Tambang asing), ataukah karena imaji nakal ku tak sedang bersama dengan derap teman-teman lain, tapi hanya menghitung langkah-langkah kecil Dik Hatifa yang tenang.?? Rumah pemandu yang kami tuju, habis jalan kecil di antara pohon-pohon kelapa, kami belok kiri. Tepat di sebuah rumah, beratap rumbia, dindingnya dari bambu-bambu kecil dianyam, kami masuk. lantainya masih asli, tanah hitam berundak-undak keras. Orang pedalaman memang hidup tak manja, mereka selalu pandai berterimakasih pada apa yang telah mereka miliki. Jangan lagi kalian curi apa yang menjadi hak mereka, sungguh penderitaan ini begitu berat mereka telan. sampai ke generasi keberapa lagikah hidup mereka akan kalian jajah seperti ini,? Dimanakah negara,? dimana kami disini seperti tak memiliki satria. sang pejuang mulia yang berani mengusir para imperalis biadab ini. Damai kami tak tentu hari, sementara damai kalian (Penguasa) berhari-hari. Tuhan kami tidak buta, dan kita memiliki Tuhan yang sama...Salam Revolusi.

Bersambung : reportase besok H-2.

Art : PjG alone66

Tanah Para Sultan..24/03/12..."07.00' Wit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun