Mohon tunggu...
Ardiansyah Fauzi
Ardiansyah Fauzi Mohon Tunggu... -

Sedikit tentang saya Anak pedalaman 'PAYAHE' yang coba menulis sejarahnya sendiri. tentang tanah Dusun yang setiap hari di rampas untuk kepentingan investor asing,..\r\nMencoba melawan sebab yG namanya penjajah tak akan pernah mensejaterakan bangsa ini..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

REPORTASE KEBEJATAN TAMBANG "Seri anak Pedalaman Halmahera"

27 Maret 2012   16:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:23 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada tanah kita, kekayaan alam yang ada.

***********************************

Setelah menuntaskan malam, bersama sebuah penisi tua sampailah kami di tanah pedalaman, tanjung Barnabas yang terkenal. Sejujurnya sudah sekian lama, aku dan teman-teman memimpikan sebuah perjalanan khusus kesini. Banyak hal yang akan kau temui, menikmati pegunungan hijau atau sejuta cerita hebat, tentang tanjung eksotik nan melegenda ini.

Masih terasa subuh tadi, sejuk mendamaikan. Ketika kaki-kaki kecil kami menyentuh daun diatas tanah hitam. tampak masih basah, mungkin embun baru saja turun mengadakan pesta selamatan, menyambut kedatangan tim ekspedisi Barnabas 66. Di timur matahari belum juga pecah, itu berarti kita akan menikmati jingga paling awal, semoga fajar pagi tak telat hadir,! Tapi mustahil berharap seperti itu, bukankah saat fajar adalah moment paling setia tanpa akhir,? tak peduli musim, di gurun terganas atau taman bunga. ia tak lekang oleh masa ribuan abad sekalipun. Para pecinta yang bercinta di medan cinta, mungkin harus banyak belajar dari cara matahari mengusik pekat. Tak sedikitpun ia lupa, akan titah Tuhannya yang telah ia emban ketika proses penciptaan bumi mulai bergulir.

Penisi kami tenang di dermaga kecil, berbahan dasar bambu dan batang-batang kelapa. walau sederhana kontruksinya tetap terlihat kuat, bagian yang satu dengan lainya saling mencengkram mesrah. dan harus di jaga seperti itu, sebab jika salah satu bagianya bermusuhan (rusak) maka akan binasalah siapapun yang hendak mengawali hidup dari atas badan dermaga tersebut. Dermaga ini sudah ada sejak 1 abad lalu, lokasinya tak pernah berpinda, mungkin karena kedalaman lautnya paling cocok untuk disinggahi kapal, sampan, atau rakit. Dibandingkan dengan kontur sekitar pesisir lainya. Selama itu Dermaga ini telah mengalami beberapa kali perubahan bentuk, hanya bahan dasar Dermaganya memang tak pernah berubah mengikuti perubahan bentuk berulang-ulang tersebut, maka bisa di tebak mana yang paling setia menyanggah dermaga tua ini, sebanding dengan cahaya pagi mungkin. terserah, kalian semua yang akan menyimpulkan itu semua nanti.

Aroma tanah sunyi langsung menyeruak, menohok batok kepala kami yang masih kacau oleh permainan genit sang ombak. Lumayan besar hasratnya, 2,5 m, sebelum menyentuh bibir pantai. Pasir hitam berminyak, bekas jajahan limbah tambang-tambang emas dan nikel milik orang bule. Dasyatnya kerusakan yang di timbulkan jika proses eksploitasi hasil perut bumi itu tak segera dihentikan. Bencanalah dimana-mana,! sementara yang merasakan penderitaan panjang ini adalah mereka, warga lingkar tambang. Bukan bapak-bapak yang ongkah-ongkah kaki di serambi belakang istanah, di temani brangkas baja milik orang-orang dusun. Siapa peduli pada rintihan dan kesakitan yang telah ditimpahkan oleh penyamun asing itu,? arsen dan mercury asik bermain di sungai-sungai, sama gembiranya dengan anak-anak gembala yang memandikan kerbau mereka di sungai tersebut. Petaka telah di depan mata, hampir setiap 3 bulan sekali, pipah tailing bocor, atau sengaja sampai terjadi kebocoran. Berton-ton limbah mengalir mendangkalkan sungai warga dengan lumpur hitam penuh racun,! Miris kami melihatnya, kenyataan kalau korporat asing itu tak peduli dengan lingkungan, kelestarian hutan disini.

Tim ekspedisi bergerak cepat berkejaran dengan matahari, dalam samar, gelap belum mengabu-abu, papan nama penanda lokasi pertambangan kami terobos. Pikirku di tanah ini banyak uang, dan pastinya banyak juga nyawa yang telah melayang. Langkah dipercepat, ketua regu kami sesekali memberi isyarat, mungkin ada tentara atau aparat lain melintas, ronda di tengah belantara seperti petugas pos ronda di kompleks kami. saat itu aku berada di belakang ketua regu, di sebelahku ada seorang kawan yang memikul kamera besar, bunyi nafasnya menderu, berkejaran dengan rasa takut dan rasa ingin mengungkap misteri kebejatan yang disembunyikan sejak puluhan tahun. Jumlah kami semuanya 7 orang, dan 2 orang perempuan, sepertinya mereka gerah hanya tinggal di dapur, sementara saudara yang tinggal di Dusun di bodohi dan direcoki dengan kehiduan tak sehat tiap detik. satu tangan ku saat itu memegang sangkur pemberian seorang kawanku aktivis lingkungan, dan sebelahnya lagi menenteng kamera lensa panjang milik sendiri, baru aku beli dari hasil royalti Novelku beberapa hari lalu, sebelum ekspedisi ini dimulai.

Tiba-tiba langkah kami tercekat, sebuah isyarat yang sangat mengagetkan. tak biasanya ketua regu mengangkat tangan dengan suara yang menurut kami semua begitu keras. "Berhenti,.!!"

Seluruh anggota bertanya-tanya, masing-masing dengan kebingungan sendiri.

Saat itu di depan kami ada sebuah bukit, jalannya lumayan menanjak, 9 menit berselang satu kompi pasukan berseragam hitam-hitam melintas beberapa meter dari tempat kami bersembunyi. Benar adanya apa yang sempat dikatakan oleh pemandu kami sebelum berangkat, jam 05.30. akan ada sekelompok orang berseragam lengkap sambil berlari mengitari bukit kecil ini, hampir saja kami semua lupa! Sepertinya kami tak salah memilih ketua regu, karena selain genius beliau cukup berhati-hati menjaga keselamatn anggotanya. kesalahan kecil sekalipun mampu merusak misi ekspedisi ini, beliau sangat paham. sehingga apapun yang diucapkan sang pemamdu, seperti menjadi kompas kedua bagi beliau untuk menuntaskan perjalan yang sangat mendebarkan ini. 15 menit berlalu, 17 menit berlalu, sang ketua regu belum juga memberikan tanda untuk bergerak. berkecamuk tanya dalam batok kepala kami, ku lemparkan pandangan pada Anton yang berdiri agak ke depan disebelahku, ia hanya mengeleng sambil membuka telapak tanganya. kepada Dik Narti apalagi, Dia malah hanya tertawa bisu melihat tingkah ku yang kacau dalam perhentian kali ini. "Sial,.!!" gerutu hatiku yang sebenarnya sudah tak tahan untuk melanjutkan perjalanan.

"Pram,.!" Aku dengar ketua regu memanggil namaku, serunya setengah berbisik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun