Dasar Hukum Ijarah
1. Ayat Al-Qur'an tentang Ijarah
Ijarah sangat dianjurkan dalam Islam karena mengandung aspek saling membantu dalam kebaikan antar sesama manusia. Ijarah memiliki landasan syariat berdasarkan al-Qur'an, sunnah, dan ijma' (kesepakatan umat Islam). Dalam al-Qur'an, ketentuan mengenai upah jasa tidak secara rinci disebutkan. Namun, pemahaman tentang upah jasa dapat ditemukan dalam bentuk makna tersirat, seperti dalam Surat al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi yang ingin melaksanakan penyusuan secara sempurna. Ayah-ayahlah yang bertanggung jawab memberikan makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf (patut). Seseorang tidak dibebani melampaui batas kemampuannya. Tidak ada dosa bagi seorang ibu atau ayah karena anak mereka, dan juga tidak ada dosa bagi pewaris yang melakukan kewajibannya. Jika kedua orang tua sepakat untuk menyapih sebelum dua tahun dan setelah bermusyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya. Jika kamu ingin anakmu disusui oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran yang wajar. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah melihat apa yang kamu perbuat."
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setelah seseorang mempekerjakan orang lain, ia diharapkan memberikan upah. Dalam konteks ini, menyusui anak adalah bentuk pemanfaatan dari pekerjaan yang dilakukan oleh seorang ibu yang menghasilkan air susu. Ayah bertanggung jawab memberikan makanan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang sesuai dengan norma yang baik. Makna tersebut diindikasikan melalui kata "al-maulud" yang berarti "ayah". Tujuannya adalah untuk menjelaskan bahwa anak tersebut adalah milik ayahnya. Ayah yang menyandang hubungan darah dan namanya disandang oleh anak, sementara ibu berperan sebagai gudang bagi anak-anak.
Selain itu, dalam Surat al-Kahfi ayat 77, Allah berfirman:
"Mereka berdua terus berjalan sampai mereka tiba di sebuah kota yang penduduknya tidak menyambut mereka dengan baik. Kemudian mereka menemukan sebuah tembok yang hampir roboh, maka Khidir memperbaikinya. Musa berkata, 'Kalau kamu mau, pasti aku memberikan upah kepadamu.'"
Arti dari kalimat tersebut adalah "Kalau kamu mau, pasti aku memberikan upah kepadamu". Musa mengucapkan hal tersebut untuk mendorong Khidir agar menerima upah atas perbuatannya, untuk digunakan dalam membeli makanan, minuman, dan kebutuhan hidup lainnya. Dalam hal ini, Khidir mendapatkan upah dari jasanya setelah memperbaiki tembok tersebut, yang dapat dilihat dari makna kalimat "fawa jadaa fihaa jidaa rayyuridu ayyan'qadda fa aqaa mahuu" yang artinya: "kemudian keduanya mendapatkan didalam negeri itu sebuah dinding yang miring dan hampir roboh. Lalu Khidir mengusapnya dengan tangannya, sehingga dinding itu kembali tegak lurus.Maka hal ini menjadi salah satu mu'jizatnya.
2. Ijarah dalam sunnah Rasulullah
Landasan dalam sunnah Rasulullah mengenai waktu pemberian upah jasa dapat ditemukan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Umar ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya mengering." (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abdul Razaq, disebutkan landasan dalam sunnah mengenai jumlah upah jasa yang harus diberikan. Abu Sa'id al-Khudri ra. menyampaikan, "Rasulullah saw. bersabda: 'Barangsiapa mempekerjakan seorang buruh, hendaklah ia menyepakati jumlah upahnya.'"