Mohon tunggu...
Haliza Chafifatun Nisa
Haliza Chafifatun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - haliza chafifah

nobody's perfect

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ijarah dalam Fiqih Muamalat

2 Juni 2023   22:25 Diperbarui: 2 Juni 2023   22:29 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengertian Ijarah Menurut Bahasa dan Istilah dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pengertian upah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembayaran berupa uang atau barang sebagai balas jasa atau pembayaran untuk tenaga yang telah diberikan dalam melakukan sesuatu, seperti gaji. Ijarah, dalam konteks hukum Islam, dapat dikategorikan sebagai konsep yang berkaitan dengan upah, sewa, atau imbalan.

Secara bahasa, ijarah berasal dari kata "al ajru" yang berarti "ganti". Dalam konteks syariah, ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil manfaat dengan memberikan penggantian atau imbalan. Istilah ini juga dapat merujuk pada upah atau sewa. 

Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama tentang pengertian istilah ijarah:

1. Menurut pendapat Hanafiah, ijarah adalah suatu akad yang melibatkan manfaat dengan memberikan imbalan berupa harta.

2. Menurut pendapat Malikiyah, ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang halal untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang tidak berasal dari manfaat tersebut.

3. Menurut pendapat Syafi'iyah, ijarah adalah akad yang melibatkan manfaat yang ditentukan dan dapat diberikan dengan imbalan tertentu.

4. Menurut pendapat Hanabilah, ijarah adalah suatu akad yang melibatkan manfaat yang sah dengan menggunakan istilah "ijarah" dan sejenisnya.

Pendapat lain juga menyatakan bahwa ijarah adalah akad yang memperbolehkan pengambilan manfaat. Sedangkan ji'alah adalah akad yang melibatkan manfaat yang diasumsikan dapat diperoleh, seperti janji memberikan imbalan tertentu kepada siapa pun yang berhasil menemukan barang yang hilang, membangun dinding, atau menyembuhkan orang sakit.

Menurut Idris Ahmad, ijarah berarti upah mengupah, yaitu mengambil manfaat dari tenaga orang lain dengan memberikan ganti sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Sementara itu, M. Hasbi Ash Shiddieqy menjelaskan bahwa ijarah adalah pertukaran manfaat untuk jangka waktu tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, serupa dengan penjualan manfaat.

Menurut Syafi'i Antonio, ijarah adalah akad yang melibatkan pemindahan hak guna atas barang atau jasa dengan pembayaran upah sewa, tanpa melibatkan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Sedangkan menurut Adiwarman A. Karim, ijarah merupakan hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. Dalam akad ijarah, tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna dari pemilik jasa kepada penyewa. Pihak yang menyewakan disebut mu'ajjir, pihak yang menyewa disebut musta'jir, dan manfaat.

Dasar Hukum Ijarah

1. Ayat Al-Qur'an tentang Ijarah

Ijarah sangat dianjurkan dalam Islam karena mengandung aspek saling membantu dalam kebaikan antar sesama manusia. Ijarah memiliki landasan syariat berdasarkan al-Qur'an, sunnah, dan ijma' (kesepakatan umat Islam). Dalam al-Qur'an, ketentuan mengenai upah jasa tidak secara rinci disebutkan. Namun, pemahaman tentang upah jasa dapat ditemukan dalam bentuk makna tersirat, seperti dalam Surat al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:

"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi yang ingin melaksanakan penyusuan secara sempurna. Ayah-ayahlah yang bertanggung jawab memberikan makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf (patut). Seseorang tidak dibebani melampaui batas kemampuannya. Tidak ada dosa bagi seorang ibu atau ayah karena anak mereka, dan juga tidak ada dosa bagi pewaris yang melakukan kewajibannya. Jika kedua orang tua sepakat untuk menyapih sebelum dua tahun dan setelah bermusyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya. Jika kamu ingin anakmu disusui oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran yang wajar. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah melihat apa yang kamu perbuat."

Ayat tersebut menjelaskan bahwa setelah seseorang mempekerjakan orang lain, ia diharapkan memberikan upah. Dalam konteks ini, menyusui anak adalah bentuk pemanfaatan dari pekerjaan yang dilakukan oleh seorang ibu yang menghasilkan air susu. Ayah bertanggung jawab memberikan makanan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang sesuai dengan norma yang baik. Makna tersebut diindikasikan melalui kata "al-maulud" yang berarti "ayah". Tujuannya adalah untuk menjelaskan bahwa anak tersebut adalah milik ayahnya. Ayah yang menyandang hubungan darah dan namanya disandang oleh anak, sementara ibu berperan sebagai gudang bagi anak-anak.

Selain itu, dalam Surat al-Kahfi ayat 77, Allah berfirman:

"Mereka berdua terus berjalan sampai mereka tiba di sebuah kota yang penduduknya tidak menyambut mereka dengan baik. Kemudian mereka menemukan sebuah tembok yang hampir roboh, maka Khidir memperbaikinya. Musa berkata, 'Kalau kamu mau, pasti aku memberikan upah kepadamu.'"

Arti dari kalimat tersebut adalah "Kalau kamu mau, pasti aku memberikan upah kepadamu". Musa mengucapkan hal tersebut untuk mendorong Khidir agar menerima upah atas perbuatannya, untuk digunakan dalam membeli makanan, minuman, dan kebutuhan hidup lainnya. Dalam hal ini, Khidir mendapatkan upah dari jasanya setelah memperbaiki tembok tersebut, yang dapat dilihat dari makna kalimat "fawa jadaa fihaa jidaa rayyuridu ayyan'qadda fa aqaa mahuu" yang artinya: "kemudian keduanya mendapatkan didalam negeri itu sebuah dinding yang miring dan hampir roboh. Lalu Khidir mengusapnya dengan tangannya, sehingga dinding itu kembali tegak lurus.Maka hal ini menjadi salah satu mu'jizatnya.

2. Ijarah dalam sunnah Rasulullah

Landasan dalam sunnah Rasulullah mengenai waktu pemberian upah jasa dapat ditemukan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Umar ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya mengering." (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah).

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abdul Razaq, disebutkan landasan dalam sunnah mengenai jumlah upah jasa yang harus diberikan. Abu Sa'id al-Khudri ra. menyampaikan, "Rasulullah saw. bersabda: 'Barangsiapa mempekerjakan seorang buruh, hendaklah ia menyepakati jumlah upahnya.'"

Dalam proses memberikan upah dalam suatu pekerjaan, penting untuk memastikan bahwa pekerjaan tersebut memberikan manfaat bagi pihak yang menyewakan, dan manfaat tersebut harus jelas dan sesuai dengan syarat dan rukun sahnya ijarah. Hal ini bertujuan untuk menghindari konflik di masa mendatang. Jika manfaatnya tidak jelas, maka perjanjian tersebut tidak sah.

3. Rukun dan Syarat Ijarah

Rukun Akad Ijarah

Menurut Sayyid Sabiq, rukun ijarah menjadi sah dengan adanya ijab Kabul (penawaran dan penerimaan) yang berhubungan dengan sewa, serta ungkapan lain yang menunjukkan hal tersebut. Namun, menurut Hanafiah, rukun Ijarah hanya terdiri dari satu elemen, yaitu ijab dan qobul, yang merupakan pernyataan dari penyewa dan pemilik barang atau jasa. Sementara itu, menurut mayoritas ulama, rukun ijarah terdiri dari empat hal, yaitu:

a. 'Aqid, yaitu pihak yang menyewakan (mu'ajir) dan pihak yang menyewa (musta'jir).

b. Shighat, yaitu ijab dan qabul (penawaran dan penerimaan).

c. Ujrah, yaitu pemberian upah atau imbalan berupa jasa sebagai pengganti manfaat yang diperoleh.

d. Manfaat, baik itu manfaat dari barang yang disewa maupun jasa serta tenaga yang diberikan oleh pekerja.


Syarat Sahnya Ijarah

Seperti halnya dalam akad jual beli, syarat-syarat ijarah juga terdiri atas empat jenis persyaratan, yaitu :

a. Syarat terjadinya akad (syarat in'iqah )

b. Syarat nafadzh (berlangsungnya akad)

c. Syarat sahnya ijarah, dan

d. Syarat mengikatnya akad ( syarat luzum )

C. Penetapan Besaran Ijarah

Proses penentuan upah yang sesuai dengan prinsip Islam melibatkan dua faktor, yaitu faktor objektif dan subjektif. Faktor objektif berhubungan dengan menentukan upah berdasarkan tingkat upah di pasar tenaga kerja. Sementara itu, faktor subjektif melibatkan pertimbangan-pertimbangan sosial yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan terkait dengan tenaga kerja. Dalam pandangan ekonomi konvensional, upah cenderung ditentukan berdasarkan tingkat upah di pasar tenaga kerja, namun penting juga untuk memperhatikan aspek kemanusiaan. Contohnya, dalam cara pembayaran upah, Rasulullah SAW bersabda bahwa upah bagi pekerja upahan harus diberikan sebelum kering keringatnya.

Dari hadis tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan tidak memandang manusia sebagai barang modal seperti dalam pandangan konvensional. Manusia tidak boleh diperlakukan seperti mesin atau benda mati.

Implementasi nilai-nilai kemanusiaan dalam penentuan upah yang sesuai dengan prinsip Islam dapat dilakukan oleh majikan dan pemerintah. Majikan yang beriman akan menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dalam menentukan upah bagi pekerjanya, termasuk di dalamnya adalah prinsip keadilan. Pandangan Yusuf Qardhawi dalam bukunya tentang pesan nilai dan moral dalam perekonomian Islam menjelaskan bahwa seorang pekerja hanya berhak menerima upah jika ia telah melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Umat Islam terikat dengan syarat-syarat saling menguntungkan, kecuali syarat yang melarang yang halal atau menghalalkan yang haram. Namun, jika seorang pekerja membolos tanpa alasan yang sah, hal tersebut dapat mempengaruhi upah yang diterimanya karena setiap hak juga diiringi dengan kewajiban.

Sumber :

Ijarah, A.P. and Bahasa, M. (2006) 'Bab Iii Konsep Ijarah Dalam Fiqih Mu'Amalah'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun