Mohon tunggu...
Halis Idris
Halis Idris Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Bodoh II

25 Februari 2018   11:25 Diperbarui: 25 Februari 2018   11:54 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menurut pemahamanku, lelaki itu cukup baik.  Tapi aku tidak suka akan kebiasaannya yang menyamaratakan semua orang ditemuinya.  Bagaimanapun setiap orang berbeda.  Aku misalnya,  sangat suka akan kepandaiannya berbicara,  kebijaksanaannya dalam menyelesaikan masalah di dalam diskusi-diskusi dan juga keramahannya kepada siapapun.  Hanya saja,  aku tidak suka jika dia menyamakanku dengan orang lain. Di berpikir aku bisa di ajaknya kemana saja yang dia mau.  Aku lebih suka membaca buku di rumah atau di perpustakaan daripada keluyuran entah kemana.  Katanya untuk menikmati alam yang luas.  Dari buku-buku,  aku bisa melakukannya. 

Aku tahu bagaimana nikmatnya, berada di puncak gunung dalam buku 5 cm.  Aku juga paham akan sulitnya medan serta keindahan alam yang di ceritakan sangat apik dalam novel itu. Dan plusnya,  keindahan dari kata dan bahasa yang menjadi alat dari menyampaikan segala keindahan itu. Pesan-pesan moral dan komedi yang di hadirkan dalam novel,  sangat bisa membuatku untuk berlama-lama membaca. Mungkin karena sudah terlalu biasa buatnya untuk melakukan itu.  Tapi,  bagiku itu adalah sikap yang sangat kekanak-kanakan.  Kita sudah duduk di bangku perkuliahan. Harusnya kita lebih peka pada apa yang orang lain rasakan dan gemari.

Kita harus menghargai privasi setiap orang. Kalau di ajak berbicara aku sangat suka.  Apa lagi berbicara tentang sastra dan buku-buku. Dia sendiri tidak pernah mengerti untuk mengajakku untuk membicarakan hal itu.  Setidaknya aku akan lebih nyaman padanya. Akhir-akhir ini aku menjauh darinya. Aku tidak ingin lagi,  membicarakan apapun tentang cinta ataupun tentang hidup yang membosankan yang pernah di laluinya. Hampir,  setiap pembicaraanku dengannya.  Dia selalu membicarakan tentang mimpi dan kerasnya perjuangan yang telah di laluinya untuk mencapai mimpinya itu.  Ha... Dia tidak berbeda dengan yang lainnya.

Katanya "berpikir lebih jauh kedepan. Memiliki mimpi berarti memiliki masa depan.". Ataukah mereka hanya tidak sadar bahwa mereka hanya hidup dalam ilusi yang mereka ciptakan sendiri. Mimpi mereka,  seperti mimpi dalam tidur hanya sebatas bunga-bunga tidur, hanya sebuah ilusi yang dilahirkan didalam kepala. Peluang untuk menjadi nyata tidak pernah ada, akan hilang seiring kesadaran seseorang akan dunia nyata ini. Bahkan terkadang mimpi dalam tidur hanya mengurangi kualitas dari istirahat kita sepanjang malam tersebut. Aku tidak ingin menjadi pemimpi,  aku tidak punya mimpi, aku tidak memiliki sesuatu yang ingin kucapai.

Aku hanya ingin menikmati semua yang layak kunikmati.  Bagiku seperti itulah cara yang tepat untuk bersyukur atas kehidupanku. Mereka yang bermimpi,  tidak akan pernah puas untuk itu.  Dia akan gagal meraihnya,  lalu berkata setidaknya aku mendapatkan hal lainnya yang tidak jauh dari mimpiku.  Kemudian bermimpi lagi dan gagal lagi. Seperti itu saja kehidupan yang tidak ada puasnya dalam mengejar dan mengejar ilusi yang dicipta dikepalanya sendiri. Kehidupan yang penuh omong kosong.

Sangat pecundang, tak berani tampil dalam pergulatan yang nyata. Kenyamanan, kedamaian,  dan penerimaan serta kebahagiaan mereka juga hanya sebatas ilusi. Hanya dibuat dan dipaksa seperti demikian.  Karena adanya ketakutan dalam diri mereka untuk mengenal dunia yang sebenarnya. Sedang aku,  aku banyak menghabiskan waktu membaca buku dan novel. Ilusiku hanya satu, untuk memiliki mimpi lagi, setelah aku harus kehilangannya bersama kepergian orang-orang yang kucintai.

Sebenarnya masih ada keinginan untuk pergi keluar bersama Dani dan teman-teman lainnya.  Aku juga ingin merasakan dan menyaksikan sendiri keindahan alam yang sering mereka dan dalam buku-buku ceritakan.  Dalam setahun belakangan aku hanya bergulat dengan buku dan novel.  Aku ingin lagi menikmati dan hidup dalam kenyataan.  Aku ingin melawan ketakutanku terhadap sebuah hubungan yang berkemungkinan akan hancur lalu menyisahkan luka yang dalam. Tapi,  aku belum siap untuk itu. Dan aku makin tidak suka dengan Dani dia selalu memaksaku.  Tidak ada rasa nyaman berada didekatnya hanya ada risih dan kekesalan.

Aku menjauhinya dalam sebulan ini.  Tapi aku tidak menemukan damaiku,  nyamanku,  ataupun ketenanganku. Aku bingung dengan keadaan ini.  Novel dan buku-buku tidak menarik lagi untuk kubaca. Dan Dani masih terus menegurku jika kami berpapasan di koridor-koridor bangunan kampus.  Dia hanya menyapaku dan tersenyum.  Kenapa tidak lagi,  mengajak untuk bercanda? Dia sama sekali tidak berubah,  selalu menyamaratakan semua orang. Dia berpikir bahwa semuanya adalah temannya,  sahabatnya dan seperti saudaranya.  Begitu juga kepadaku.  Dan itulah kekesalanku yang tidak pernah habis padanya.

Dia seperti anak kecil yang tidak akan pernah peka akan perasaan orang lain. Aku menangis sendiri dalam kebingungan, seperti tingkahku saat aku masih kecil dulu. Karena anak lelaki di kompleks tempatku tinggal menggodaku. Aku butuh ibu sekarang,  sama seperti dulu saat anak kecil yang sama membuatku menangis. Ibu pasti punya banyak cara untuk membuatku lebih tenang.  Tapi, ibu sudah tiada. Sedang ayah sibuk bekerja. Hanya ada bibi pembantu rumah yang sering mengurus keperluanku.

Hanya saja sebatas pada keperluan yang bersifat materil. Mungkin bibi juga segan untuk mencampuri urusan pribadiku lebih jauh lagi karena aku juga tidak pernah melakukan hal yang sama kepadanya. Tapi dia sangat baik,  bibi seperti seorang yang bisa kuandalkan untuk mendapatkan buku dan novel yang ingin kubaca. Dia tahu betul jika ayah tidak begitu suka dengan kebiasaanku tersebut.  Dia bukan tidak suka aku membaca buku.  Tapi,  dia tidak terlalu setuju dengan jenis bukunya.

Dia berharap aku lebih banyak membaca buku yang membahas tentang bisnis atau yang berkaitan dengan ekonomi, bukannya novel dan jenis buku sastra lainnya. Aya berharap suatu saat nanti aku bisa menggantikannya mengurus usaha yang sudah mati-matian di bangunnya sejak dulu lagi. Itulah salah satu alasan, mengapa aku masuk kuliah dan mengambil jurusan akuntansi. Awalnya, sangat susah untuk keluar dari pertikaianku dengan ayah.  Lalu bibi datang dengan idenya,  untuk aku membeli buku lainnya selain buku-buku yang berbau sastra. Dan buku itu adalah buku-buku yang seperti ayah maksud.

Buku itu harus di pajang dan dibuka ketika ayah datang kekamarku atau memperhatikanku dan jika ayah tidak memperhatikannya  atau ayah pergi. Aku bisa melanjutkan membaca buku yang kusukai. Bibi memang nakal, tapi dia baik. Lalu yang lainnya bibi tidak begitu mencampuri urusanku, hanya urusan yang melibatkannya langsung seperti pertikaian dengan ayahku yang membuat keadaan di rumah menjadi tidak nyaman,  mungkin bibi juga merasakannya.

Bibi tidak pernah bertanya macam-macam kepadaku. Tapi,  entah kenapa aku ingin dia tahu hal ini. Aku berencana untuk meminta ide darinya, sepertinya dia sangat pandai dan paham akan kegunaan dari otaknya meski yang aku tahu bibi hanya lulusan Sekolah Dasar. Aku jadi sedikit malu sebagai mahasiswa semester dua yang tidak mampu untuk memberdayakan otakku sendiri untuk memikirkan sebarang ide untuk menyelesaikan masalahku ini.

Ahhh...  Bibi sangat istimewa. Berpikir tentangnya saja aku sudah agak merasa lebih baik. Aku akan pulang sekarang untuk menemuinya. Karena aku juga butuh ide bukan hanya perasaan damai ini saja. Dengan adanya rasa kesal yang hadir setelah perkenalanku dengan Dani hingga saat ini. Aku butuh ide untuk menyikapinya.
****

" seperti lingkaran ular. Cintaku mengalir abadi kepadamu"
Aku baru membaca status Facebook dari seorang wanita yang menurutku tak memiliki sedikitpun masalah dalam hidupnya. Tidak banyak yang istimewa darinya,  tapi satu yang membuatku ingin berada di posisinya sekarang adalah keceriaan yang tiada habisnya.  Wanita ceria yang mengajarkanku arti kasih sayang seorang sahabat. Diana dan aku tergabung dalam komunitas seni teater di kampus. Dalam tiga tahun terakhir,  kami tidak terpisahkan. Meski demikian,  banyak hal yang tidak kuceritakan padanya.  Seperti perasaanku terhadap Dani dan beberapa masalahku dengan ayah.  Aku bukannya tidak percaya padanya.

Aku sangat mempercayainya,  hanya saja aku tidak ingin membebaninya dengan hal-hal seperti itu. Mungkin itu bisa di anggap sebagai kasih sayangku padanya. Aku hanya ingin melihatnya ceria dan aku sebagai sahabat ingin menjaga itu dan hal yang bisa membebaninya  tak perlu dia tahu. Dia dan Rifki kekasihnya yang juga satu jurusan denganku adalah teman-teman yang baik.  Satu orang lagi yang sering duduk bersama kami dan mengobrol bersama.

Namanya Randi, aku sempat pangling kepadanya.  Dia sangat baik seperti Diana,  pintar dan jago bermain musik. Tapi,  aku heran dengan Diana yang memberinya julukan kembaran bodoh.  Mungkin maksud Diana adalah kembaran aneh. Aku juga melihatnya sebagai laki-laki aneh dan misterius. Terlalu banyak pertanyaan yang disisakan di kepalaku atas prilakunya.  Seperti keaktifannya dalam kerja-kerja sosial dan pergerakan-pergerakan pembaharuan dari mahasiswa. 

Dia sangat aktif berorganisasi, dalam diskusi-diskusi umum  dia juga selalu tampil untuk menyumbangkan pemikirannya,  memiliki banyak kawan dari berbagai kalangan, ciri utama dari seorang politisi.  Tapi secara terang-terangan mengundurkan diri dari jabatan BEM yang telah di menangkannya secara demokratis dalam waktu jabatan sebulan. Sangat aneh saya pikir dengan alasan yang cukup aneh juga, kekasihnya tidak menyukai itu. Alasan aneh dan menyentuh hati. Entah siapa wanita beruntung itu. Lelaki yang rela melepaskan mimpi yang telah di bangunnya dari nol. Sungguh lelaki yang sangat romantis.

Aku pangling padanya,  dan aku tahu dia telah memiliki kekasih. Dan aku sangat bahagia dan selalu berdoa untuk kebahagiaannya. Beda dengan beberapa orang lainya diluar sana. Banyak yang rela melepaskan kekasihnya untuk mengejar mimpinya. Hal itu dianggap normal oleh orang banyak, termasuk aku.  Orang yang kucintai pernah melakukan itu dan aku merasa tidak wajar saat itu. Setelah melihat dan mendengar banyak cerita yang sama di sekitarku.  Aku berpikir itu wajar/normal bagi siapapun, itu sudah menjadi dan akan terjadi bagi siapapun. Sesuatu yang serupa takdir,  tidak bisa ditolak ataupun di terima sesuka hati.

Seperti wajib untuk hidup seorang anak manusia. Tapi,  setelah menyaksikan sendiri keputusan anenya Randi. Aku mulai merasa hal itu tidak wajar lagi.  Atau tentang keputusan yang seperti itu bukan soal wajar dan tidak wajar.  Tapi,  ini tentang pilihan saja. Pilihan hidup dari seorang individu. Yang mana individu itu telah memikirkan untung rugi dari keputusannya. Dia sudah memikirkan matang-matang pilihannya.  Resiko kehilangan kekasihnya bukan soal lagi,  hidup masih panjang.

Meraih mimpi yang utama,  dan kekasih-kekasih yang lain akan datang dengan sendirinya. Mungkin mereka ini adalah orang-orang yang sangat positif dan memiliki keyakinan yang kokoh ( kalau jodoh akan di pertemukan juga) atau mereka sedang di lamun mimpinya,  hidup dalam ilusi yang dibuatnya sendiri dalam alam pikirnya. Mereka yang sedang lupa ( kalau rezekinya pasti akan di dapat juga).  Entahlah....  Randi memang aneh. Memikirkannya saja aku menjadi aneh. Ingin rasanya untuk secepatnya kekampus dan melihat keadaan serta prilaku-prilaku anehnya lagi. Dan yang paling tepatnya, aku ingin melihat Dani yang mungkin bisa menjadi aneh seperti Randi terhadapku.

" Hay.. Selamat pagi. " baru saja aku melewati gerbang Dani menghampiriku dengan tiba-tiba, aku sedikit kaget dibuatnya. Aku hanya tersenyum padanya.
" oh iya,  katanya kamu dan komunitas teater ikut berpartisipasi dalam pementasan seni di ulang tahun kampus nanti? "
" iya..."
" kalau Diana? "
" itu sudah pasti. Dia juga anak teaterkan."
" hehehe..  Iya ya. " terlihat Dani menggaruk kepalanya sambil tersenyum dan itu terlihat bodoh dan keren menurutku.
" ok baiklah.  Aku duluan. " Dani meninggalkanku.  Dan aku baru sadar, kalau pertanyaannya tadi sangat aneh. Dia ingin tahu saja atau ingin memastikan aku dan Diana ikut serta dalam pertunjukan itu. Lalu untuk apa jika dia tahu kami ikut serta? Tapi,  Diana pernah mengatakan tentang Dani dan Bandnya akan berkolaborasi dengan komunitas kami untuk pertunjukan nanti. Mungkin dia ingin memastikan lagi kesiapan kami.  Entahlah... Aku hanya berharap Dani lebih lama berbicara denganku.
"hoeee.... "aku terperanjat dan hampir terjatuh, untung Diana menarikku. Wanita yang satu ini,  tidak pernah berhenti untuk mengerjaiku. Aku diam saja dengan wajah kesal lalu meninggalkannya.
" hey....  Tunggu aku Windi. " Diana berlari mengejarku tapi tidak aku hiraukan.
" maaf..  Aku janji tidak melakukannya lagi. " aku terus diam tidak menanggapinya.
" ya sudah...  Aku akan melakukan apapun yang kamu inginkan.  Tapi,  jangan marah padaku lagi ya!" lagi-lagi aku meninggalkannya tampa sepatah kata. Dan diam-diam tersenyum, melihat tingkahnya yang cukup frustasi membujukku.
" yahhh...  Apa ini?  Kenapa kamu malah tersenyum?  Kamu mengerjaiku ya?"
"hehehe.." aku tertawa  dan dia terlihat kesal.  Tapi tidak lama Diana ikut tertawa bersamaku. Sedang siang yang cerah ini. Bisa dikatakan bahwa alam juga ikutserta tertawa bersama kami.

***  

Tidak terasa sudah empat tahun berlalu semenjak aku menjadi mahasiswa di kampus ini. Dan akhirnya aku akan di wisuda. Perjalanan yang sangat panjang, perjuangan yang sangat melelahkan untuk memenuhi tuntutan ayah.  Aku berharap setelah ini,  ayah akan mengerti dengan diriku. Tahu mimpiku, tahu apa yang ku inginkan lalu memberi kebebasan untukku meraihnya. Salah satu motivasiku untuk menyelesaikan kuliah dengan nilai yang baik adalah untuk mendapatkan kepercayaan dari ayah.  Aku ingin ayah percaya,  aku telah mampu untuk menentukan jalan hidupku sendiri. Setidaknya menuruti keinginannya selama empat tahun kuliah di jurusan yang ayah perintahkan,  dapat memberiku peluang mendapatkan kepercayaannya itu. Hanya saja,  aku telah melakukan kesalahan.

Ayah tidak berubah,  ia tetap sama seperti dulu. Tidak pernah mengerti dengan anak perempuan satu-satunya. Dia belum memercayaiku untuk menjalani kehidupan sesuai keinginanku sendiri. Aku akan di wisuda dan aku seperti melihat pintu yang terbuka menuju dunia yang luas lalu kemudian tertutup lagi. Ayah ingin aku menikah setelah wisuda nanti. Seorang lelaki, anak dari sahabat serta teman bisnisnya telah di siapkan untuk menjadi pendampingku kelak. Lelaki yang juga membuatku sangat malu untuk bertatap mata dengan sahabatku Diana. Aku sangat malu dan tidak tahu harus bersikap seperti apa kepadanya.

Mungkin Diana juga tidak ingin melihat wajahku.  Wajah dari seorang penghianat.  Wajah yang telah merebut kekasih yang dicintainya. Dan aku tidak tahu akan seperti apa kehidupanku bersama Rifki nantinya. Tapi,  satu yang sangat jelas, bersahabatanku serta peristiwa yang kulalui bersama Diana akan terus membayangi hidupku. Kenangan kami akan menghiasi perjalan hidupku kedepannya,  dan dengan rasa bersalah yang mungkin akan terus menelan jiwaku. Aku banyak membaca buku tentang kenangan yang mampu menguatkan seorang individu di masa depannya. Tapi,  banyak juga yang di hancurkan lalu ditenggelamkan oleh kenangannya dalam kegelapan yang paling pekat. Mungkin aku salah satunya dari yang kedua itu.
**

" ayo kita pulang." Rifki memapahku agar bisa berjalan dengan baik. Aku telah kehilangan segala kekuatanku, aku telah menangis dari semalaman. Dan tangisku sangat menyakitkan sekali.  Aku mengingat kenanganku dengan ayah yang begitu panjang dan penuh pertikaian yang selalu di menangkan ayah. Jujur sekali,  aku telah melupakan segalanya setelah buah hatiku lahir tiga bulan lalu.  Aku bisa menerima Rifki sebagai pendampingku. Tapi,  hari ini ayah telah pergi meninggalkan dunia. Seperti pintu terbuka lebar lagi untukku. Mimpi-mimpiku yang terbelunggu kembali bermunculan. Lalu tentang Dani Irawan,  laki-laki yang selalu membuatku kesal. Makin membuatku kesal setelah dia menikahi sahabatku sendiri. Kekesalan yang cukup aneh bagiku selama ini.

Tapi,  bagi beberapa orang yang memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap dirinya sendiri akan mengatakan bahwa keanehan seperti itu adalah sebuah rasa cinta. Karena cinta dan harapannya yang tak berpihak pada hati yang sedang jatuh cinta.  Maka akan memunculkan sebuah rasa kesal. Itulah kebenaranku terhadap Dani, aku kesal karena dia tidak pernah melihat hatiku yang mencintainya yang sungguh-sungguh mencintainya. Lalu Rifki yang telah di takdirkan untuk menjadi suamiku. Aku tidak pernah tahu seperti apa perasaannya padaku.  Tapi,  selama ini dia sangat bertanggung jawab terhadap aku dan anak-anaknya.

Kami tidak begitu banyak waktu bersama di sebabkan kesibukan kerja masing-masing. Dan semenjak menjadi suamiku,  Rifki menjadi aneh dan misterius. Dia tidak pernah menyuruhku untuk melakukan apa-apa lagi.  Segala kebutuhannya di percayakan kepada asisten rumah tangga untuk mengurusnya.  Aneh menurutku,  karena di waktu dulu.  Saat kami masih di bangku kuliah,  dia sangat bergantung padaku untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada diana.

Aku ingat pernah di mintainya untuk mengantar surat kepada Diana.  Dan aku juga pernah membantunya untuk membuat pesta kejutan hari ulang tahun Diana. Sekarang dia segan untuk menyuruhku lagi.  Padahal aku istrinya bukan teman satu jurusannya lagi. Dan ke anehan ini membuatku makin tidak nyaman.  Meski aku sudah mampu menerimanya sebagai pendampingku, seperti halnya dia menerimaku sebagai pendampingnya. Aku tidak ingin ini terus berlanjut untuk waktu yang lama. Biar bagaimanapun,  aku sudah punya anak dan aku tidak ingin dia menjadi aneh dan memiliki kehidupan aneh seperti orang tuanya.  Dia harus punya kejelasan dan kepastian hidupnya yang normal serta wajar saja. Aku sangat berharap dimasa depan anakku nanti tidak di kelilingi oleh orang-orang aneh, tidak mengikuti keanehanku, dan tidak jatuh cinta pada lelaki yang aneh......
**

" jika seandainya Windi mengatakan yang sebenarnya kepada Diana sekarang.  Apa itu akan mengembalikan persahabatan mereka seperti dulu lagi?  Dan apakah mungkin Rifki dan Diana akan bisa bersama.  Begitupun dengan Dani dan Windi? "
" Hahaha... Itu bisa terjadi. Tapi Dani tidak pernah mencintai Windi. Sedangkan mereka telah menikah, Rifki dan Windi telah memiliki buah hati.  Terlalu banyak norma-norma sosial yang harus dilanggar dan banyak hati yang akan tersakiti. Hanya untuk mempersatukan hati lalu menghadirkan bahagia,  itu mungkin agak susah.  Tapi, jika itu sebuah keyakinan cinta, apa saja bisa terjadi. "
" kenapa? "
" emmm...  Aku juga tidak tahu sayang.  Hehehe"
" yeee..  Bagaimana sih?"
" Hehehe... Tapi,  coba ingat dengan cara dan seperti apa kita di satukan kembali.  Kamu pergi keluar negeri untuk belajar dan aku yang tetap tinggal di sini untuk mimpiku. Kamu tidak pernah menyukai aku yang selalu mengutamakan orang lain dari pada diriku. Aku yang tidak bisa memaksamu untuk menyukainya. Waktu yang sangat lama memisahkan kita, hal itu sangat memungkinkan seseorang untuk saling melupakan. Apa lagi tidak pernah berhubungan sama sekali.

Kamu juga pernah menegaskan untuk tidak akan kembali lagi,  karena ingin berkarir di luar negeri. Dan aku yang tidak mampu meninggalkan apapun yang kumiliki di negeri ini.  Saiapapun akan setuju,  kalau tidak ada lagi harapan untuk kita saling bertemu dan bersama lagi. Tapi karena sebuah lagu yang kucipta untukmu,  tentang rasa rinduku dan segala rasaku terhadapmu. Sehingga kita di pertemukan kembali.  Dan itupun tampa di rencanakan. Hanya karena kita di undang pada sebuah acara yang sama. Di sana juga,  kita tidak langsung meyakini satu sama lain. Lalu apa yang membuat kita bisa berada dalam rumah bersama buah hati kita sekarang ini? "

" mmmmm.  Mungkin karena kita pernah bodoh dan aneh."
" yehhh...  Kita,  kamu saja yang aneh dan bodoh. Kalau aku tidak."
" iya.  Tapi gila kan. Hehehe. "
" iya sih..  Hehehe..  Tapi kamu sendiri kan yang mengatakan. Kalau cinta itu adalah etika kegilaan atau tingkat kebijaksanaan yang paling tinggi. "
" emmm..  Kalu di ingat-ingat.  Aku cuma asal bicara waktu itu."
" tapi cukup masuk akal bagi anak polos ini. "

" polos apanya. Padahal kamu adalah siswa yang paling nakal dan sangat pandai untuk mencari alasan atas kenakalanmu waktu SMA dulu. Karena itu juga, kamu mendapat gelar dari Diana sebagai kembaran bodoh."  Rifki menggaruk kepalanya sambil tersenyum. Dia makin terlihat bodoh dan keren pastinya. Seperti itulah kelakuan suamiku yang sangat mirip anak kecil polos ketika mengingat masa-masa remajanya, geli-geli malu sepertinya. Terlepas dari sifat polosnya itu,  dia seorang lelaki yang penuh tanggung jawab dan romantis. Sampai hari ini, setelah setahun perkawinan kami.  Dia selalu melibatkanku dalam proses berkaryanya.

Dia selalu mengajakku untuk membicarakan novel yang di kerjakannya. Mungkin dia berharap hal itu akan memudahkannya untuk menemukan sebarang inspirasi. Tapi,  seperti sebelum-sebelumnya.  Pembicaraan kami hanya menyasar pada pembicaraan tentang kengan-kenangan masa lalu kami. Dan dia pun tidak peduli dengan hal itu.  Bahkan,  dia terlihat lebih baik jika kami membicarakan kenangan-kenangan kami. Cukup gila untuk berpaling darinya. Setidaknya aku pernah merasakan kegilaan itu.

Lima tahun berpisah darinya, membuat aku terjebak dalam jurang keresahan yang sangat panjang. Jika dia bukan lelaki yang gila dan bodoh.  Aku mungkin masih dalam derita penyesalan karena telah meninggalkannya sewaktu dulu. Sekarang kami sudah bersama lagi,  dan aku ingin terus bersamanya, selamanya. Karena aku mencintai lelaki bodohku. Karena mencintai adalah etika kegilan kami.

*Tamat*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun