Mohon tunggu...
Halimson Redis
Halimson Redis Mohon Tunggu... Guru - Guru di Jubilee School dan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII)

Belajar untuk di amnalkan, Berbagi Ilmu untuk mempererat silaturahmi dan memperpanjang umur

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menakar Perizinan Berusaha Sektor Pendidikan

4 September 2021   12:10 Diperbarui: 4 September 2021   12:10 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kilas balik dua periode pemerintahan merupakan pembelajaran yang sangat berharga, yang baik kita akomodasi dan yang buruk kita biarkan sebagai catatan sejarah. Slogan hidup memberikan pembelajaran bagi kita semua, yaitu  guru terbaik itu adalah pengalaman. Perbaikan kualitas pendidikan harus dimulai dari “perizinan berusaha.” Untuk itu, mengenai perizinan berusaha, tidak boleh diberikan dengan mudah kepada para kaum kapitalis, berikalah kepada korporat bermoral dan ikhlas berjuang bagi kemajuan bangsa.

Diperlukan mekanisme ketak bagi korporat dalam menjalankan usahanya. Kewajiban korporat untuk memberikan sebagian (>50%) keuntungan usahanya kepada peningkatan infrastruktur sekolah-sekolah di desa, dan semolah menjalin mitra dengan badan usaha. Sedangkan masalah kesejahteraan guru, menjadi tanggung jawab sepenuhnya pemerintah.

“Perizinan berusaha” yang dimaksud UU Sisdiknas pasal 62 menghendaki setiap satuan pendidikan harus memdapakan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah. Ada dua bentuk perizianan, yaitu peizinan sekolah nasional untuk pserta didik WNI dan sekolah Internasional/perwakilan negara untuk peserta didik WNA dalam bentuk Lemabag Pendidikan Asing.

Perizinan yang diberikan kepada lembaga pendidikan asing (LPA) yang terakreditasi dinegaranya, dapat menyelenggarakan pendidikan ditingkat dasar dan menengah dengan mewajibkan bekerja sama dengan lembaga pendidikan lokal dan melibatkan pengelolah dan pendidik WNI. Jika terdapat peserta didik WNI maka kewajiban Lemaga Pendidikan Asing untuk  memberikan pendidkan agama dan kewarganegaraan  (pasal 64 dan 65).

Terbalik dengan perizinan yang diberikan kepada sekolah SPK (satuan pendidikan kerjasama) saat ini. Sekolah SPK sebagai implemtasi dari keberadaan sekolah berstandar Internasional yang sudah dibatalkan oleh putusan MK, diharuskan “berkerjasama” dengan LPA. Maka kaum kapitalis berbondong-bondong mendirikan sekolah tersebut, selain memiliki nilai jual yang tinggi dengan tingkat resiko sangat rendah, juga keinginan orang tua memberikan fasilitas pedidikan terbaik bagi putra-putrinya sangat tinggi. Pskilogi orang tua dipengaruhi oleh lemahnya peran pemerintah penyediakan fasilitas pendidikan yang terbaik bagi-anak bangsa, yang menaun.

Penyediaan fasilitas pendidikan yang lemah disertai dengan lemahnya pengadaan guru, semakin memperlambat peningkatan mutu pendidikan secara nasional. Faktanya, sejak mengikut penilaian PISA tahun 2000 (dimulai lahir sekolah-sekolah berstandar internasional), untuk literasi baca, matematik, dan sains justru mengalami penurunan. Dari sumber Kompas.com 12 April 2009; Skor awal 371, 382 (2003), 393 (2006), dan 402 (2009), hingga tahun 2012 menjadi 396, 397 (2015) dan titik terendahnya 371 (2018).

Tren penurunan peringkat PISA, menurut Totok Suprayitno (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud)  bahwa hasil PISA 2018 menjadi alarm dini untuk melakukan perubahan paradigma pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena belum meratanya kemampuan membaca, matematika, dan sains. Sebagai dampak terpusatnya fasilitas pendidikan dikota-kota besar, sedangan persebaran peserta didik berada di pedesaan.

Artinya, keberadaan sekolah berstandar Internasional dan SPK yang diharapkan dapat mengangkat mutu pendidikan nasional, tidak tercapai. Oleh karenanya, pemberian “perizinan berusaha” sektor pendidikan harus dikembalikan pada porsi dan tujuan pendidikan sesungguhnya, bukan untuk komuditas kaum kapitalis yang hanya dapat diakses oleh kaum borjuis saja. Regulasi pendidikan harus memperhatikan anak-anak dari kaum proletar yang bekerja di lingkungan kawasan industri dan dipedesaan.

Kaum kapitalis tentu akan membuka diri untuk membangun sekolah-sekolah berkualitas di pedesaan, jika negara atau pemerintah mengambil tanggungjawab terhadap keserjahteraan guru dan keluarga. Karena, berdasarkan rekom rekomendasi ILO/UNESCO tertanggal 5 Oktober 1966 (Hari Guru) dikenal dengan, “Recommendation Concerning The Status of Teachers”. Ilo/Unesco memandang bahwa pentingnya memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anak dimana pun mereka berada, karena pendidikan adalah hak universal setiap manusia.

Dalam rekomendasi tersebut, guru memiliki peranan sangat penting dalam upaya mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak-anak bangsa. Untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat dan bangsanya. Peranan penting ini, dapat diwujudkan jika para guru memperoleh perhatian untuk dapat melaksanakan tugas, kewajiban, dan tanggung jawabnya. Untuk itu, Negara wajib menegakkan “status guru” yang sama.

Sengan status yang sama, kita tidak akan menjumpai status guru PNS, Non PNS, Honorer, dan Guru Bantu. Di Indonesia ke depan hanya ada satu status guru, yaitu “Guru Indonesia.” Dengan menegakkan Status guru berarti telah menempatkan guru pada kedudukan terhormat dengan mengoptimalkan peran dan fungsinya baik dalam pendidikan maupun dalam kehidupan sosial. Guru harus harus dipenuhi hak-haknya dan tanpa diskriminasi. Tugas mulia guru dalam menjalankan tugas untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya mewujudkan pendidikan bermutu bagi anak didiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun