Pengesahan RUU Cipta Kerja dalam sidang Paripuna DPR-RI pada Senin, 5 Oktober 2020. Menurut Pemerintah dan DPR, merupakan suatu bilied (kebijakan) baru yang diharapkan menjadi batu loncatan bagi perbaikan iklim usaha di Indonesia, terlebih lagi pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Namun, menyisahkan bahkan diyakini melahirkan beberapa permasalah baru ke depannya, khususnya pada sektor pendidikan.
Keberadaan Paragraf 12 paket Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 24 September 2020 semua fraksi DPR sepakat untuk mencabut atau mengeluarkan paket UU pendidikan (1) UU No. 20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, (2) UU no. 12/2012 tentang Perguruan Tingga, (3) UU no. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan (4) UU no. 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran dari Rancangan UU Cipta Kerja. Tetapi masih menyisakan pasal 65 yang mengatur pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui “Perizinan Berusaha”, dan pelaksanaanya diatur dengan “Peraturan Pemerintah.”
Nomenklatur “perizinan beruhasa” telah menempatkan kembali sektor pendidikan sama kedudukannya dengan sektor industri lainnya. Menjadi komuditas investasi bagi kaum kapitalis. Padahal substansi pendidikan, ruhnya menghasilkan “kecakapan hidup” bukan suatu produk. Kecakapan hidup yang dimiliki sebagi hasil proses pendidikan, kemudian menjadikan sesorang memiliki skill untuk menghasilkan produk. Artinya pendidikan perada di garda terdepan atau hulunya pembentukan karakter anak-anak bangsa. Sedangkan hilirnya adalah skill untuk menghasilkan sebuah produk atau karya.
Perbedaan substansi, telah menempatkan sektor pendidikan menjadi sektor termulia dibanding sektor lain. Karenanya tidak boleh dijadikan komuditas investasi bagi semua pihak. Jika kemuliaan diperjualbelkan, maka nilainya menjadi tidak berharga, pada akhirnya capaian tujuannya pun tidak terarah dan sulit dicapai. Untuk itu, pendidikan harus dikembalikan pada martabatnya yang mulia dan secara hakiki harus dapat diakses oleh semua pihak.
Ketika pendidikan menjadi komuditas investasi bagi kaum kapitalis, maka akan semakin sulit diakses oleh anak-anak bangsa. Kaum kapitalis atau pemilik modal secara ekonomi tentu akan berusaha mengembalikan keuntungan investasi sebesar-besarnya. Sektor pendidikan menjadi kosumsi yang mahal, tentu sulit diakses oleh anak-anak bangsa.
UU Cipta Kerja secara jelas menempatkan sektor pendidikan sebagai komuditas investasi bagi para investor. Pada pasal 6 UU Ciptaker point c, menghendaki adanya “penyederhanaan perizinan berusaha sektor” pendidikan dan kebudayaan (pasal 26 point k). Dengan demikian, sektor pedidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari usaha peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha (pasal 6) yang dibangun pemerintah.
Walaupun pada penjelasan Pasal 65, “perizinan berusaha sektor pendidikan” hanya diberlaku di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sebuah anomali dari suatu undang-undang negara yang dibentuk dan dibuat untuk mengatur tata kelolah negara secara umum, ternyata diberlakukan secara sektoral. Jika yang dimaksud penjelasan Pasal 65 tersebut, seharusnya dimuatkan secara khusus dalam undang-undang KEK tersendiri. Ada ketidaksingkronan antara bunyi pasal dengan penjelasannya..
Ada unsur pemaksaan muatan Pasal 65 dan penjelsannya. Penjelasan hanya menjustifikasi pasalnya, demi suatu rasionalitas. Rasionalisasinya tertangkap bahwa ekosistem investasi yang maksud merupakan tatanan baru suatu wilayah/negara secara aktif semua lini berperan meningkatkan perekonomi negara. Kerangka mulianya; meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Salah satunya melalui, sektor pendidikan.
Positifnya, kedepannya akan banyak lahir alternatif-alternatif pilihan lembaga pendidikan/sekolah baik yang dirikan oleh lembaga pendidikan asing maunpun oleh lembaga lokal. Masing-masing akan berkompetensi mencari calon-calon peserta didiknya. Sekolah yang memiliki infrastruktur terbaik dan guru berkualitas, menjadi terpavorit. Karena, dipandang akan mampu menghasilkan kompetensi kecapakan hidup terbaik bagi anak didiknya dan mampu membentuk skill yang dapat menghasilkan suatu produk dikemudian hari.
Akibatnya cost operasional sekolah menjadi tinggi. Biaya pendidikan yang tinggi, tentu akan dibebankan kepada orang tua siswa. Maka hanya kelas bourjuis (orang tua kaya), memiliki akses besar mendapatkan sekolah pavorit dengan kualitas terbaik. Sedangkan anak-anak dari kelas proletar terpinggirkan, maka kesenjangan sosial semakin bias. Begitu pula dikawasan KEK, juga terdapat anak-anak dari kaum proletar (buruh) yang berkerja. Tentu anak-anaknya membuuhkan pendidikan. Sementara di wilayah KEK, biaya pendidikan tinggi dan sulit diakses mereka. Maka yang terjadi hanya golongan kayalah, memiliki kemudahan meraih harapan dan cita-cita. Sedangakan kelompok menengah kebawah harus berjuang keras penuh resiko; gagal dan putus asa. Siapa yang betangggung jawab ?
Menaikan Peringkat
Menurut situs Dewan Nasional KEK, terdapat 11 wilayah KEK yang sudah peropersi dan 4 wilayah lagi dalam pembangunan. Pengembangan wilayah KEK memiliki tujuan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan peningkatan daya saing bangsa. Menurut penjelasan pasal 65 termasuk di sektor Pendidikan.
Suatu keniscayaan tujuan tersebut dapat dicapai, ketika masih banyak anak-anak kaum proletar (buruh/pekerja) tidak mendapatkan akses pendidikan. Karena keberadaan Pasal 65 yang memberikan “perizinan berusaha” untuk sektor pendidikan, diyakini hanya akan melahirkan alternatif-alternatif sekolah dengan label-label tertentu. Banyaknya alternatif lembaga pendidikan, hanya melahirkan persaingan antar sekolah. Satu sisi dapat memperbaiki dan mengangkat mutu pendidikan Indonesia, tetapi di sisi lain justru melahirkan disparitas pendidikan yang tajam. Artinya peningkatan kualitas yang diharapkan hanya bersifat semu.
Peningkatan mutu pendidikan, hanya terjadi di kota-kota besar atau di wilayah KEK, sedangkan di daerah lain dan dipedesaan semakin terpuruk. Akibatnya secara nasional peningkatan peringkat PISA tidak mengalami kenaikan, bahkan sebaliknya. Fakta kekinian, peringkat PISA (kemampuan membaca, matematika, science) anak-anak Indonesia, masih di bawah Brunai.
Kita semua tahu bahwa sebagian besar anak-anak bangsa berdomisili dipedesaan dan tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak dan terbaik. Karena, tidak pernah ada Investor yang mau bangun sekolah di desa-desa, karena secara ekonomi tidak menguntungkan, mereka hanya memilih di kota-kota besar atau di kawasan KEK yang menjanjikan.
Sementara itu, kisruh PPDB pada tahun ajaran lalu, dengan sistem seleksi penerimaan siswa tidak berdasakan hasil ujian/nilai, melainkan berdasarkan usia dan jarak rumah. Merupakan usaha pemerintah untuk menghilangan stigma “sekolah pavorit/unggulan demi pemerataan akses pendidikan.” Kini “perizianan berusaha” pasal 65 sesungguhnya memberikan kelonggaran dalam bentuk penyerderhanaan perizinan berusaha sektor pendidikan untuk menghidupkan kembali sekolah-sekolah pavorit tadi.
Keberadaan sekolah pavorit, berdampak pada migrasi orang-orang didesa ke kota, secara masif. Bahkan keberadaan sekolah pavorit diyakini menghidupkan sektor perekonomian baru disekitar lingkungan sekolah. Sebagai contoh, pembangunan kawasan pemukiman baru akan sepi jika tidak ada sekolah pavorit dilingkungannya. Artinya, kebaradaan dan penyerdehanaan perizinan berusaha yang diuntungkan hanya investor. Karenanya UU Cipta Kerja ini bukan untuk meningkat mutu pendidikan, melainkan meningkatkan income investor.
Logika sederhananya, investor hanya akan membuka sekolah diwilayah yang secara ekonomi penguntungkan. Maka mutu pendidikan yang diharapkan dari penyerderhanaan tersebut, hanya melahirkan kualitas semu dan disparitas pendidikan yang tajam serta sulitnya akses pendidikan bagi semua anak. Anak-anak bangsa hanya dijadikan sasaran empuk disparitas alternatif sekolah dengan memilih salah satu lembaga pendidikan yang sesuai baginya.
Sektor Pendidikan menjadi barang langka yang hanya bisa diakses segelintir orang. Padahal setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (pasal 28C ayat 1 dan pasal 31 ayat 1 UUD 1945) dan pemerintah wajib membiayainya (pasal 31 ayat 2 UUD 1945). Akses pendidikan merupakan hak-hak dasar yang dimiliki oleh anak-anak bangsa yang harus dipenuhi oleh negara.
Ketika negara dalam hal ini pemerintah membuka kran investasi pada sektor pendidikan, maka sejak saat itu pemerintah sudah gagal mewujudkan tujuan bernegaranya; mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerena kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak dasar anak-anak bangsa, diserahkan kepada pihak swasta atau asing yaitu para kapitalis pendidikan.
Diatur Peraturan Pemerintah
Perizinan berusaha sektor pendidikan selanjutnya akan diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 65 ayat 2). Melalui undang-undang Cipta Kerja, domain perizianan berusaha berada pada pemerintah pusat. Mekanisme ini, berpotensi besar terjadi pola perizinan yang selalu berubah-ubah; bergantung pada selera pemerintah dan tekanan investor kepada pemerintah. Karena pemerintah memiliki kewenangan mutlak untuk merevisi peraturan pemerintah, tanpa pengawasan dan intervensi DPR dan masyarakat.
Perubahan regulasi pemerintah telah banyak berdampak pada sistem pendidikan naional. Perubahan kurikulum, sistem ujian, sistem PPDB, dan masalah pencairan Tunjangan Profesi selalu berubah-berubah. Image ganti presiden ganti kurikulum, ganti menteri ganti kebijkan sudah membumi dalam masyarakat.
Perubahaan cepat regulasi pencairan tunjangan profesi bagi guru sudah semakin menyulitkan guru-guru untuk mendapatkan tunjangan tersebut. Padahal menurut UU Guru dan Dosen (UUGD no 14 Tahun 2005) pasal 16 bahwa “pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang memiliki sertfikat pendidik,” besaran setara dengan satu kali gaji pokok PNS. Tunjangan Profesi dalam hal ini, merupakan penghargaan atas profesionalismenya (penjelasan pasal 15 UUGD dan hanya mensyaratkan beban mengajar 24 jam semiggu (pasal 35).
Akan tetapi, perubahan regulasi cepat pemerintah telah mengakibatkan pada tahun 2020 semua guru-guru SPK bersertfikat pendidik tidak mendapatkan tunjangan profesi (perdirjend GTK Kemendikbud no. 5745/B.B1.3/HK/2019 point C.2 dan dipekuat denga Persekjend Kemendikbud No. 6 tahun 2020 pasal 6 ayat 2b). Pengecualian yang dilakukan pemerintah melalui Perdirjend GTK, sangat bertentangan dengan UUGD, dan PP no, 41 tahun 2009 jo PP no. PP 19 tahun 2019 dan Peraturan Kemendikbut no. 19 tahun 2019. Bahkan hasil sinkonisasi dapodik, guru-guru SPK yang awalnya SKTP-nya telah terbit, per 15 Oktober 2020 di “batalkan” pemerintah dan sangat berani melawan undang-undang.
Fenomena ini, menunjukan bertapa rentan terjadinya perubahan-perubahan peraturan pemerintah secara cepat mengikuti selera penguasa atau tekanan investor. Karena kebaradaan sekolah SPK sebagai dampak keberdaan sekolah berstandar Internasional yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, dan lahir berizinan disinyalir ada tekanan investor yang tidak mau sekolah kembali menjadi sekolah nasional. Karenanya, hanya berganti kulit demi tekanan investasi oleh kaum kapitalis pendidikan. Sementara guru-gurunya, masih jauh dari sejahtera. Karena belum ada standar gaji guru SPK maupun guru-guru lainya. Khususnya guru swasta yang hanya diatur berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama (Pasal 52 ayat 3 UUGD).
Oleh karena itu, perinzinan berusaha pada sektor pendidikan tidak boleh diatur dalam peraturan pemerintah yang sangat berpotensi selalu berubah, malinkan harus diperjelas secara rigit dalam bentuk perturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sehingga tidak mudah dirubah. Regulasi pada sektor pendidikan harus bersifat jangka panjang dan perubahannya juga melibatkan banyak komponen masyarakat secara partisipatorik.
Kembali ke Khittah
Perizinan berusaha sektor pendidikan, dengan segala permasalahan sekarang dan kedepannya, harus dikembalikan ke khittahnya yaitu UU no. 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tanpa pengecualian.
Pada masa pemerintahan orde lama, pengaturan sistem pendidikan dan pengajaran termaktup dalam UU no, 4 Tahun 1950. Menurut UU tersebut, permintahan memberikan izin untuk mendirikan sekolah partikulir kepada badan-badan partikulir (Pasal 11 UU No. 4 Tahun 1950) dan mendapatkan subsidi oleh pemerintah untuk pembiayaan (Pasal 14). Sekolah pada jenjang pendidikan dasar, murid-muridnya tidak dipungut uang sekolah (Pasal 22), sedang pada jenjang pendidikan menengah dan kejuruan hanya dikenakan uang penggunaan alat sekolah.
Begitupula dengan status guru-gurunya harus memiliki ijazah guru. Karenanya status guru pada masa itu, “terpandanga baik” secara ekonomi dan sosial (Iwan Syahril: Sejarah Guru dan Pendidikan Guru di Indonesia dari zaman ke zaman). Sehingga pada saat itu, kehidupan gurunya layak dan mendapat kehormatan oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena semua guru berstatus pegawai pemerintahan, baik yang bertugas di skeolah negeri maupun sekolah partikulir
Pada masa orde baru, menurut Iwan Syahril; sejak tahun 1970 terjadi penurunan terhadap status guru. Walaupun pada saat itu terjadi rekruimen tenaga guru secara masal mulai dari tinggat SD, SLTA, dan SLTA. Rekruitmen guru secara masal tidak ikuti upaya meningkatan kesejahteraan dengan gaji yang kurang baik dan penciptaan kondisi kerja yang kurang memadai.
Sementara itu, perizinan mendirikan sekolah bersifat sentralistik pada pemerintah pusat. Akibatnya infrastruktur sekolah-sekolah sangat lambat mengalami perkembangan, karena ada campurtangan politik dalam urusan pendidikan. Kedekatan politik, pemangku jabatan bidang pendidikan mulai dari sekolah sampai ke dinas pendidikan, berdampak pada peningkatan infrastruktur sekolahnya. Begitu pula dengan keberadaan guru-guru, kenaikan pangkat, golongan, dan mutasi guru sangat erat dengan konektifitas personal.
Kilas balik dua periode pemerintahan merupakan pembelajaran yang sangat berharga, yang baik kita akomodasi dan yang buruk kita biarkan sebagai catatan sejarah. Slogan hidup memberikan pembelajaran bagi kita semua, yaitu guru terbaik itu adalah pengalaman. Perbaikan kualitas pendidikan harus dimulai dari “perizinan berusaha.” Untuk itu, mengenai perizinan berusaha, tidak boleh diberikan dengan mudah kepada para kaum kapitalis, berikalah kepada korporat bermoral dan ikhlas berjuang bagi kemajuan bangsa.
Diperlukan mekanisme ketak bagi korporat dalam menjalankan usahanya. Kewajiban korporat untuk memberikan sebagian (>50%) keuntungan usahanya kepada peningkatan infrastruktur sekolah-sekolah di desa, dan semolah menjalin mitra dengan badan usaha. Sedangkan masalah kesejahteraan guru, menjadi tanggung jawab sepenuhnya pemerintah.
“Perizinan berusaha” yang dimaksud UU Sisdiknas pasal 62 menghendaki setiap satuan pendidikan harus memdapakan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah. Ada dua bentuk perizianan, yaitu peizinan sekolah nasional untuk pserta didik WNI dan sekolah Internasional/perwakilan negara untuk peserta didik WNA dalam bentuk Lemabag Pendidikan Asing.
Perizinan yang diberikan kepada lembaga pendidikan asing (LPA) yang terakreditasi dinegaranya, dapat menyelenggarakan pendidikan ditingkat dasar dan menengah dengan mewajibkan bekerja sama dengan lembaga pendidikan lokal dan melibatkan pengelolah dan pendidik WNI. Jika terdapat peserta didik WNI maka kewajiban Lemaga Pendidikan Asing untuk memberikan pendidkan agama dan kewarganegaraan (pasal 64 dan 65).
Terbalik dengan perizinan yang diberikan kepada sekolah SPK (satuan pendidikan kerjasama) saat ini. Sekolah SPK sebagai implemtasi dari keberadaan sekolah berstandar Internasional yang sudah dibatalkan oleh putusan MK, diharuskan “berkerjasama” dengan LPA. Maka kaum kapitalis berbondong-bondong mendirikan sekolah tersebut, selain memiliki nilai jual yang tinggi dengan tingkat resiko sangat rendah, juga keinginan orang tua memberikan fasilitas pedidikan terbaik bagi putra-putrinya sangat tinggi. Pskilogi orang tua dipengaruhi oleh lemahnya peran pemerintah penyediakan fasilitas pendidikan yang terbaik bagi-anak bangsa, yang menaun.
Penyediaan fasilitas pendidikan yang lemah disertai dengan lemahnya pengadaan guru, semakin memperlambat peningkatan mutu pendidikan secara nasional. Faktanya, sejak mengikut penilaian PISA tahun 2000 (dimulai lahir sekolah-sekolah berstandar internasional), untuk literasi baca, matematik, dan sains justru mengalami penurunan. Dari sumber Kompas.com 12 April 2009; Skor awal 371, 382 (2003), 393 (2006), dan 402 (2009), hingga tahun 2012 menjadi 396, 397 (2015) dan titik terendahnya 371 (2018).
Tren penurunan peringkat PISA, menurut Totok Suprayitno (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud) bahwa hasil PISA 2018 menjadi alarm dini untuk melakukan perubahan paradigma pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena belum meratanya kemampuan membaca, matematika, dan sains. Sebagai dampak terpusatnya fasilitas pendidikan dikota-kota besar, sedangan persebaran peserta didik berada di pedesaan.
Artinya, keberadaan sekolah berstandar Internasional dan SPK yang diharapkan dapat mengangkat mutu pendidikan nasional, tidak tercapai. Oleh karenanya, pemberian “perizinan berusaha” sektor pendidikan harus dikembalikan pada porsi dan tujuan pendidikan sesungguhnya, bukan untuk komuditas kaum kapitalis yang hanya dapat diakses oleh kaum borjuis saja. Regulasi pendidikan harus memperhatikan anak-anak dari kaum proletar yang bekerja di lingkungan kawasan industri dan dipedesaan.
Kaum kapitalis tentu akan membuka diri untuk membangun sekolah-sekolah berkualitas di pedesaan, jika negara atau pemerintah mengambil tanggungjawab terhadap keserjahteraan guru dan keluarga. Karena, berdasarkan rekom rekomendasi ILO/UNESCO tertanggal 5 Oktober 1966 (Hari Guru) dikenal dengan, “Recommendation Concerning The Status of Teachers”. Ilo/Unesco memandang bahwa pentingnya memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anak dimana pun mereka berada, karena pendidikan adalah hak universal setiap manusia.
Dalam rekomendasi tersebut, guru memiliki peranan sangat penting dalam upaya mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak-anak bangsa. Untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat dan bangsanya. Peranan penting ini, dapat diwujudkan jika para guru memperoleh perhatian untuk dapat melaksanakan tugas, kewajiban, dan tanggung jawabnya. Untuk itu, Negara wajib menegakkan “status guru” yang sama.
Sengan status yang sama, kita tidak akan menjumpai status guru PNS, Non PNS, Honorer, dan Guru Bantu. Di Indonesia ke depan hanya ada satu status guru, yaitu “Guru Indonesia.” Dengan menegakkan Status guru berarti telah menempatkan guru pada kedudukan terhormat dengan mengoptimalkan peran dan fungsinya baik dalam pendidikan maupun dalam kehidupan sosial. Guru harus harus dipenuhi hak-haknya dan tanpa diskriminasi. Tugas mulia guru dalam menjalankan tugas untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya mewujudkan pendidikan bermutu bagi anak didiknya.
Guru sejahtera generasi maju, sangat begantung pada tingkat ksejahteraan tenaga pendidiknya. Karena itu, penetapan status guru secara nasional sebagai “Guru Indonesia” merupakan titik awal reformasi pendidikan untuk menciptakan generasi unggul. Merdeka belajar tidak akan tercapai dengan sempurna, ketika guru-gurunya belum merdeka kesejahteraannya. Maka Guru Merdeka berarti juga Merdeka Belajar, anak-anak bangsa menjadi terpacu meningkatkan kualitas diri, untuk meraih kecakapan hidup yang sempurna. Baru Indonesia maju, karena generasi berkualitas dan berakhlak mulia, bersama guru-guru yang bermartabat mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H