Kita kembali ke persoalan utama. Mengingat ruwetnya rangkaian tes kedua, jika menghubungkannya dengan kasus yang menimpa salah satu petinggi suatu institusi saat ini. Saya jadi ragu tes tersebut menghasilkan individu dengan karakter hebat.Â
Karena faktanya seorang petinggi yang mungkin rangkaian tes nya lebih ketat dibanding yang kami alami, berjenjang, bahkan berulang, ternyata bisa saja melakukan sesuatu di luar nalar dan tak mampu mengendalikan emosi. Terlepas yang bersangkutan tengah berusaha menjaga marwah keluarga atau tidak.
Padahal, institusi yang rencana saya masuki itu tidak punya relasi kuasa yang membuat clue signifikan terhadap nasib masyarakat luas. Dan yang utama, tidak pegang kuasa senjata. Tapi tes dan seleksinya sudah begitu ribet. Namun saya sadar, semakin banyak tahapan tes itu untuk kondisi sekarang sebenarnya bukan dalam rangka untuk menemukan individu dengan karakter terbaik.Â
Tapi untuk memperbanyak variabel alasan ketidaklulusan individu lain yang tidak diinginkan. Kalau dalam bahasa verbal kami di panitia lelang; ada seribu satu cara menggugurkan peserta yang tidak diinginkan untuk bisa menang tender.
Selain itu, sebenarnya banyak faktor lain penyebab orang bisa psikopat atau tak bisa mengendalikan emosi. Bisa saja tes psikologi itu sebenarnya sudah merupakan alat terbaik sebagai media seleksi. Cuma, pada satu sisi karena adanya setting, maka orang-orang yang tidak memenuhi syarat, punya kecenderungan diloloskan.Â
Kedua, mungkin saja inidividu yang bersangkutan secara psikologis memang lulus murni. Tapi ketika berada dalam lingkungan tertentu, karakter psikologis nya bisa berubah. Ditambah karena dia punya relasi kuasa, akhirnya menumbuhkan sifat arogan dan otoritarianisme-nya yang berlebihan.
Ketika kejahatan yang dilakukan para oknum terjadi secara kolektif atau berjama'ah, saya kembali teringat dengan seleksi yang saya ikuti. Kami diminta membuat satu makalah akademis yang substansinya mencoba mengorek integritas kami terhadap aturan.Â
Siapa yang berpengaruh dalam hidup kita, apakah pengaruh tersebut menentukan tindakan kita, bagaimana ketaatan kita terhadap aturan ketika ada pengaruh lain di luar aturan, lalu apa tindakan kita terhadap pengaruh dan tekanan tersebut.
Nah di institusi ini sepertinya pengaruh kuat itu ada di atasan. Dalam bahasa militeristiknya adalah senioritas atau ketaatan terhadap pangkat yang lebih tinggi di atasnya, bukan aturan itu sendiri. Inilah yang menyebabkan aturan dilanggar karena walau salah jika sudah atasan atau senior yang memerintah, maka diskresi untuk melakukan pelanggaran memiliki peluang besar untuk terjadi.Â
Padahal diskresi itu basis utamanya aturan, bukan perintah atasan. Makanya dalam bahasa lain, jika melakukan kesalahan maka secara otomatis mereka wajib saling menutupi bahkan melindungi. Jika tidak, pangkat dan jabatan tentu akan terancam.
Dunia, dengan penduduk yang sudah hampir 4x lipat over kapasitas dari daya tampung untuk menghidupi organisme di atasnya, sepertinya memang akan kembali ke kompetisi awal hukum rimba karena alasan terbatasnya sumber daya. Untuk bertahan atau mempertahankan komoditas, apapun bisa dilakukan. Apalagi, toleransi bukanlah ciri khas Sapiens.