Sekitar 1 bulan yang lalu, karena berkeinginan menjadi salah satu anggota komisioner institusi penyelenggara Pemilu, saya mengikuti 2 rangkaian tes kejiwaan. Yang pertama, oleh dokter psikiater di salah satu RS rujukan. Materi tesnya tertulis dan wawancara dengan hampir 600 soal yang memancing emosi.Â
Hasilnya, tidak ditemukan unsur-unsur membahayakan, yang dalam bahasa psikologi disebut psikopat. Namun poin pada rangkaian tes pertama ini plusnya adalah netralitas keilmuan para dokter, dan tidak adanya kepentingan karena kita bisa langsung melihat hasil tes saat itu juga. Selain tertulis, sewaktu wawancara dokter jiwa nya langsung yang memberitahukan hasil tes.
Tahapan kedua, dilakukan tes lagi dengan materi yang lebih lengkap yang dilaksanakan oleh salah satu institusi penyelenggara tes yang memang di institusi ini mencetak personil-personil yang menjaga ketertiban dan kemananan masyarakat.Â
Materinya lebih njlimet dan detail serta durasinya hampir seharian penuh. Dari tes tertulis, matematis, mengisi pilihan berganda, esai, sampai menggambar. Semua ditujukan untuk mengetahui tingkat integritas, kepribadian, moral, dan emosional kita.
Problem tes kedua ini yaitu tidak disampaikannya hasil tes secara terbuka. Karena itu ia bisa sangat subjektif. Apalagi tampaknya di tahapan tes quarter ini berbagai intrik atau kepentingan sudah mulai mengemuka. Sebab malam setelah tes tersebut saya sudah mendapat informasi bahwa kepentingan para pihak sangat luar biasa dalam seleksi.Â
Melibatkan organisasi massa besar dan partai-partai yang ingin menempatkan orang-orangnya di institusi ini. Sesi tes serta hasilnya saja diarahkan dari pusat.
Kemudian ada informasi tambahan, bahwa institusi yang menyelenggarakan tes psikologi ini mendapatkan slot untuk menempatkan orang mereka. Dari 96 peserta tes, yang dicari hanya 3 orang. Ketika ada 1 titipan berarti tinggal 2 kursi yang diperebutkan. Dari 2 itu ada jatah ormas dan partai, juga petahana. Sebab itulah, tanpa menunggu pengumuman dan tes berikutnya yang tinggal beberapa hari lagi, besoknya saya memutuskan balik kanan.
Pada rangkaian tes quarter ini, di Computer Assisted Test pertama saja, saya tidak yakin 100% soal yang diujikan besoknya yang berbentuk file elektronik sebelum di transfer ke server BKN itu safety atau tidak bocor. Kenapa? Karena panitia yang melaksanakan pada level pelaksana adalah staf-staf sekretariat para petahana yang hampir semua mencalonkan diri kembali.Â
Laboratorium komputer tempat tes milik BKN hanya lah sarana yang dipinjam atau mungkin disewa oleh tim seleksi.
Sejak sehari sebelum test mereka sudah ada di lokasi mempersiapkan segala sesuatunya. Sementara transfer file dalam dunia teknologi digital saat ini cuma berlangsung dalam hitungan detik. Bagaimana dengan argumen soal-soal yang bersifat acak untuk tiap komputer? Yang acak itu penomoran, soal tetap sama. Artinya jika kita sudah punya bocoran soal lalu mencari jawabannya, soal penomoran itu tidak masalah, apalagi untuk yang esai.
Kita kembali ke persoalan utama. Mengingat ruwetnya rangkaian tes kedua, jika menghubungkannya dengan kasus yang menimpa salah satu petinggi suatu institusi saat ini. Saya jadi ragu tes tersebut menghasilkan individu dengan karakter hebat.Â
Karena faktanya seorang petinggi yang mungkin rangkaian tes nya lebih ketat dibanding yang kami alami, berjenjang, bahkan berulang, ternyata bisa saja melakukan sesuatu di luar nalar dan tak mampu mengendalikan emosi. Terlepas yang bersangkutan tengah berusaha menjaga marwah keluarga atau tidak.
Padahal, institusi yang rencana saya masuki itu tidak punya relasi kuasa yang membuat clue signifikan terhadap nasib masyarakat luas. Dan yang utama, tidak pegang kuasa senjata. Tapi tes dan seleksinya sudah begitu ribet. Namun saya sadar, semakin banyak tahapan tes itu untuk kondisi sekarang sebenarnya bukan dalam rangka untuk menemukan individu dengan karakter terbaik.Â
Tapi untuk memperbanyak variabel alasan ketidaklulusan individu lain yang tidak diinginkan. Kalau dalam bahasa verbal kami di panitia lelang; ada seribu satu cara menggugurkan peserta yang tidak diinginkan untuk bisa menang tender.
Selain itu, sebenarnya banyak faktor lain penyebab orang bisa psikopat atau tak bisa mengendalikan emosi. Bisa saja tes psikologi itu sebenarnya sudah merupakan alat terbaik sebagai media seleksi. Cuma, pada satu sisi karena adanya setting, maka orang-orang yang tidak memenuhi syarat, punya kecenderungan diloloskan.Â
Kedua, mungkin saja inidividu yang bersangkutan secara psikologis memang lulus murni. Tapi ketika berada dalam lingkungan tertentu, karakter psikologis nya bisa berubah. Ditambah karena dia punya relasi kuasa, akhirnya menumbuhkan sifat arogan dan otoritarianisme-nya yang berlebihan.
Ketika kejahatan yang dilakukan para oknum terjadi secara kolektif atau berjama'ah, saya kembali teringat dengan seleksi yang saya ikuti. Kami diminta membuat satu makalah akademis yang substansinya mencoba mengorek integritas kami terhadap aturan.Â
Siapa yang berpengaruh dalam hidup kita, apakah pengaruh tersebut menentukan tindakan kita, bagaimana ketaatan kita terhadap aturan ketika ada pengaruh lain di luar aturan, lalu apa tindakan kita terhadap pengaruh dan tekanan tersebut.
Nah di institusi ini sepertinya pengaruh kuat itu ada di atasan. Dalam bahasa militeristiknya adalah senioritas atau ketaatan terhadap pangkat yang lebih tinggi di atasnya, bukan aturan itu sendiri. Inilah yang menyebabkan aturan dilanggar karena walau salah jika sudah atasan atau senior yang memerintah, maka diskresi untuk melakukan pelanggaran memiliki peluang besar untuk terjadi.Â
Padahal diskresi itu basis utamanya aturan, bukan perintah atasan. Makanya dalam bahasa lain, jika melakukan kesalahan maka secara otomatis mereka wajib saling menutupi bahkan melindungi. Jika tidak, pangkat dan jabatan tentu akan terancam.
Dunia, dengan penduduk yang sudah hampir 4x lipat over kapasitas dari daya tampung untuk menghidupi organisme di atasnya, sepertinya memang akan kembali ke kompetisi awal hukum rimba karena alasan terbatasnya sumber daya. Untuk bertahan atau mempertahankan komoditas, apapun bisa dilakukan. Apalagi, toleransi bukanlah ciri khas Sapiens.
Namun tentu saja tetap ada harapan perubahan. Dalam dunia teknologi informasi yang sangat terbuka saat ini, pertukaran informasi tidak lagi bisa disembunyikan. Dengan berbasis konten digital, opini netizen dan influencer yang disertai validitas sumber, sebarannya bisa sangat cepat meng-counter serta menyerang logika berbau setting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H