Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Magnum Opus Buya Syafi'i Maarif dan Fazlur Rahman

28 Mei 2022   18:56 Diperbarui: 30 Mei 2022   15:30 1654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto wajah Ahmad Syafii Maarif. (DOK KOMPAS/JITET via kompas.com)

Ketika menyusun kajian dengan analisa data menggunakan teori hermeneutika (ilmu tafsir) Barat, saya mempelajari seluruh sejarah perjalanan hermeneutika tidak saja yang filosofis, tapi juga analisis. Dari Schleiermacher sampai Derrida. 

Tak lupa, juga memasukkan sejarah hermeneutika Islam. Tokoh-tokoh dan pemikiran-pemikiran hermeneutika Islam ini di masukkan secara detail pada salah satu bab sebagai komparasi untuk mengimbangi pemikiran tokoh-tokoh hermeneutika Barat.

Semua pemikiran tokoh-tokoh hermeneutik ini sangat menarik, terutama yang dari dunia Islam. 

Selain Muhammad Arkoun dan Hasan Hanafi, yang menjadi sorotan kekaguman saya adalah pemikiran-pemikiran Fazlur Rahman. Seorang neo-modernis yang "dianggap liberal dan radikal" dalam peta pembaharuan Islam oleh kalangan ber-manhaj tekstualis dan skriptualis.

Konsep utama pemikiran hermeneutika Fazlur Rahman adalah menawarkan sebuah metodologi Islam yang terdiri dari perbedaan yang tegas antara Islam normatif dan Islam historis, yaitu metode hermeneutika dan metode kritik sejarah. 

Hal inilah yang dianggap melabrak tradisi-tradisi ilmu tafsir dalam Islam. Di negaranya sendiri Fazlur Rahman pun dicap liberal dan radikal dalam melakukan kritik sejarah Islam.

Metodologi dengan paradigma pemikiran seperti Fazlur Rahman ini biasanya hanya ada pada kajian sarjana-sarjana Barat yang kritis dan menembus batas. 

Metodologi ini, agak sulit kita temukan pada kajian (ber-genre majelis taklim) sarjana-sarjana Timur Tengah yang bersifat linier, lurus, atau positivistik. 

Apalagi salah satu buku Fazlur Rahman yang berjudul Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition, seolah memacu kekakuan sarjana-sarjana muslim untuk keluar menembus batas kajian, agar tidak terpaku kepada teks, tapi konteks yang sangat luas.

image: islamindonesia.id
image: islamindonesia.id

Dalam perjalanan men-tracing sejarah pemikiran hermeneutik tersebut, ada yang membuat saya lebih tersentak. Yaitu ketika tahu bahwa Fazlur Rahman ini adalah pembimbing disertasinya Buya Syafii Maarif yang telah lebih dahulu saya kagumi lewat beberapa buku beliau. 

Fazlur Rahman membimbing Buya Syafi'i sewaktu Buya menyelesaikan studi doktoralnya di Chicago University. 

Ketika menelusuri Wikipedia, kita juga akan mendapati bahwa pemikiran Buya Syafi'i banyak terpengaruh oleh Fazlur Rahman. 

Jadi, tidaklah aneh ketika pemikiran-pemikiran Buya Syafi'i juga sempat dikaitkan dengan pemikiran sekuler dan liberal persis seperti stempel yang disematkan kepada Fazlur Rahman. 

Saya memperkirakan, revolusi pemikiran Buya Syafi'i dimulai ketika bertemu Fazlur Rahman ini. Dari segi usia (42 tahun), sebenarnya Buya tidak lagi muda ketika menimba ilmu di Amerika saat mengambil master di Ohio University, lalu meneruskan studi doktoralnya di Chicago. 

Artinya semangat belajar seperti inilah yang harusnya menjadi dorongan pemikir-pemikir muslim lain terutama kader Muhammadiyah, agar tak berhenti menimba ilmu, tentu saja dengan metodologi kritisnya.

Klop-lah, kenapa pandangan-pandangan Buya Syafi'i menjadi begitu lentur terhadap perbedaan-perbedaan yang terjadi baik di kalangan umat Islam sendiri ataupun terhadap agama lain. 

Buya berusaha membangun hubungan sosial yang harmonis, menghilangkan diskriminasi, memperkuat demokrasi dan memberikan landasan normatif-religius bagi warga negara dalam menjalani hubungan sosial secara berkeadilan. 

Yang menonjol, dalam setiap tulisan dan pemikirannya, Buya tak pernah lepas dari sikap kritis ketika menyikapi permasalahan umat dan bangsa.

Hal penting lainnya mengenai Buya, adalah rasa toleransinya yang tinggi terhadap siapapun. Ia mengajukan proposisi tentang pandangan Islam ketika memilih pemimpin non-Muslim atau berbeda keyakinan (ketika membabi butanya serangan terhadap Ahok). 

Hal ini, sangat terkait dengan konsep interpretasi keumatan yang inklusif. Dalam tafsir Buya, setiap individu berhak dipilih menjadi pemimpin atau memilih pemimpin. Kesetaraan hak ini tidak dapat dibatasi oleh perbedaan identitas dan latar belakang gender, strata sosial, keagamaan dan etnis.

Saat mengemukakan pandangan ini, situasi politik di Indonesia sedang mengalami turbulensi luar biasa. Buya dianggap memihak kalangan nasionalis yang saat itu diwakili oleh Jokowi dan Ahok. 

Sebagai kader Muhammadiyah penulis sangat paham bagaimana saat itu di group-group Persyarikatan yang banyak disusupi kaum tekstualis wahabiyah, serangan terhadap Buya sangat membabi buta. Tapi sebagai pemikir yang hidupnya sudah selesai dengan urusan dunia beliau tetap istiqomah.

Tak heran pada tahun 2019, walaupun Jokowi terpilih menjadi presiden untuk periode kedua, beliau menulis sebuah buku tentang kegelisahan atas nasib anak bangsa yang mulai tercerai berai moralitasnya karena pilihan politik. 

Buya dalam bukunya Menerobos Kemelut; Catatan Kritis Sang Guru Bangsa, menggambarkan kondisi Indonesia yang hampir sempurna olengnya dalam moralitas, namun beliau tetap percaya ada harapan cerah kita bisa kembali bangkit.

Sayangnya, dalam kondisi lompatan peradaban ilmu pengetahuan seperti saat ini, menurut Buya umat Islam semakin tertinggal pada banyak hal. Jumlahnya semakin banyak, tapi menurun secara kualitas. 

Buya mengatakan; "Umat Islam tidak perlu ditambah, kita butuh kualitas bukan kuantitas. Kita lebih baik dari pada Irak atau Afganistan, tetapi kalau rujukannya Al Quran, kita masih jauh. Di Mesir dan Afganistan itu banyak yang buta huruf. Tetapi di Indonesia politisi yang tak naik-naik kelas lebih dari buta huruf. Mereka malah jadi pemimpin dan negawaran. Mayoritas kita Islam lah yang memilih mereka," kata Buya.

Menyedihkan. Selamat jalan Buya Syafi'i Maarif. Muhammadiyah secara organisatoris semakin krisis kader dan kehilangan pemikir besar kritis yang tak surut oleh waktu. 

Kehilangan ini mungkin dirasakan juga oleh Indonesia, bahkan dunia. Mudah-mudahan akan terus bertumbuh Maarif-Maarif yang lain di Muhammadiyah menggantikan Buya. 

Nashrun Minallah wa Fathun Qorib.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun