Dalam perjalanan men-tracing sejarah pemikiran hermeneutik tersebut, ada yang membuat saya lebih tersentak. Yaitu ketika tahu bahwa Fazlur Rahman ini adalah pembimbing disertasinya Buya Syafii Maarif yang telah lebih dahulu saya kagumi lewat beberapa buku beliau.Â
Fazlur Rahman membimbing Buya Syafi'i sewaktu Buya menyelesaikan studi doktoralnya di Chicago University.Â
Ketika menelusuri Wikipedia, kita juga akan mendapati bahwa pemikiran Buya Syafi'i banyak terpengaruh oleh Fazlur Rahman.Â
Jadi, tidaklah aneh ketika pemikiran-pemikiran Buya Syafi'i juga sempat dikaitkan dengan pemikiran sekuler dan liberal persis seperti stempel yang disematkan kepada Fazlur Rahman.Â
Saya memperkirakan, revolusi pemikiran Buya Syafi'i dimulai ketika bertemu Fazlur Rahman ini. Dari segi usia (42 tahun), sebenarnya Buya tidak lagi muda ketika menimba ilmu di Amerika saat mengambil master di Ohio University, lalu meneruskan studi doktoralnya di Chicago.Â
Artinya semangat belajar seperti inilah yang harusnya menjadi dorongan pemikir-pemikir muslim lain terutama kader Muhammadiyah, agar tak berhenti menimba ilmu, tentu saja dengan metodologi kritisnya.
Klop-lah, kenapa pandangan-pandangan Buya Syafi'i menjadi begitu lentur terhadap perbedaan-perbedaan yang terjadi baik di kalangan umat Islam sendiri ataupun terhadap agama lain.Â
Buya berusaha membangun hubungan sosial yang harmonis, menghilangkan diskriminasi, memperkuat demokrasi dan memberikan landasan normatif-religius bagi warga negara dalam menjalani hubungan sosial secara berkeadilan.Â
Yang menonjol, dalam setiap tulisan dan pemikirannya, Buya tak pernah lepas dari sikap kritis ketika menyikapi permasalahan umat dan bangsa.
Hal penting lainnya mengenai Buya, adalah rasa toleransinya yang tinggi terhadap siapapun. Ia mengajukan proposisi tentang pandangan Islam ketika memilih pemimpin non-Muslim atau berbeda keyakinan (ketika membabi butanya serangan terhadap Ahok).Â
Hal ini, sangat terkait dengan konsep interpretasi keumatan yang inklusif. Dalam tafsir Buya, setiap individu berhak dipilih menjadi pemimpin atau memilih pemimpin. Kesetaraan hak ini tidak dapat dibatasi oleh perbedaan identitas dan latar belakang gender, strata sosial, keagamaan dan etnis.