Mohon tunggu...
Dr Halid MAg
Dr Halid MAg Mohon Tunggu... Dosen - Dr. Halid, M.Ag. adalah dosen tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta.

Dr. Halid, M.Ag. (Halid Alkaf) adalah dosen tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta (sejak tahun 2000 - sekarang); juga menjadi penulis, peneliti, dan editor. Sejak 2006 hingga sekarang menjadi adviser dan Content QC di PT Merak Multimedia dan PT Falcon Publishing.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Korupsi dan Mentalitas Oligarki

1 Juni 2024   00:00 Diperbarui: 1 Juni 2024   01:17 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Laporan terbaru Worldometer 2024 ("Countries in the World by Population") menyebutkan bahwa Indonesia menempati rangking keempat dari negara-negara berpenduduk terbesar (terbanyak) di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 277 juta lebih; setelah India (sekitar 1.428 miliar), Tiongkok (sekitar 1.425 miilar), dan Amerika (sekitar 339 juta). Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang masuk 10 besar jumlah penduduk terbanyak di dunia, disusul kemudian oleh Filipina dengan 117 juta lebih dan Vietnam dengan hampir 99 juta.

Selain jumlah penduduk terbanyak di kawasan Asia, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar (terbanyak) di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.000-an lebih; juga termasuk salah satu negara kesukuan terbesar dengan 360 lebih suku bangsa. Sumber kekayaan alam pun sangat berlimpah, ditambah iklim tropis yang menambah panorama Indonesia sebagai negara indah menawan. Belum lagi rakyatnya yang dikenal ramah-tamah, bergotong-royong, dan dermawan. Walhasil, Indonesia dianggap sebagai negara yang memesona dunia.   

Gambaran tentang potensi besar seperti di atas, seharusnya menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara yang berkembang pesat, maju, melampaui banyak negara yang ada di Asia. Namun apa sebenarnya yang terjadi dengan Indonesia...?  

Indonesia yang sudah merdeka lebih dari 78 tahun ini, nyatannya belum mampu dan layak untuk diberi label sebagai negara maju (apalagi negara berdaya); mungkin masih dalam kategori negara berkembang (development country) dan pada beberapa aspek, mungkin saja masih sebagai negara terbelakang (underdevelopment country). Hal ini setidaknya bisa dicermati dari beberapa ciri dan sifat yang masih melekat pada 'diri' Indonesia.

Tingkat Korupsi Indonesia Yang Masih Tinggi 

Salah satu ciri atau karakter sebuah negara disebut maju adalah minimnya tingkat korupsi. Untuk permasalahan kronis ini---di mana korupsi dikategorkan sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa)---Indonesia masih berada di garis "oranye" atau hampir menyentuh "oranye tua" yang mengindikasikan tingkat korupsi di Indonesia berstatus kritis alias mengkhawatirkan. 

Dalam Corruption Perceptions Index (CPI) yang dilansir www.transparancy.org di pengujung 2023, Indonesia masih bercokol di score 34 atau menduduki rangking ke-115 (sama dengan Ecuador, Malawi, Filipina, Srilangka, dan Turk) dari sekitar 180 negara yang dipublikasi. Ini artinya, pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia masih stagnan alias jalan di tempat. Ramainya pemberitaan kasus korupsi yang melibatkan para pejabat pemerintahan, pengusaha, dan lingkungan kartel busuk; memperkuat indeks persepsi korupsi yang masih buruk di negeri ini.   

Ada beberapa kasus mega korupsi yang merugikan negara dan rakyat. Berikut 7 dari 10 mega korupsi (dari puluhan hingga ratusan triliun) yang diringkas dari situs www.kompas.com:

1)    Izin ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang merugikan negara sebesar 12 triliun;

2)    PT Jiwasraya yang sepanjang 2008 -- 2018 merugikan negara sebesar 16,8 triliun;

3)    PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (PT ASABRI) yang merugikan negara sebesar 22,7 triilun;

4)    Pengolahan kilang minyak ilegal di Tuban, Jawa Timur, yang merugin negara mencapai 35 triliun;

5)    PT Grup Duta Palma di bawah kepemilikan Surya Darmadi yang melakukan penyerobotan lahan negara hingga mencapai kerugian sebesar 78,8 triliun;

6)    BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang menghantam Indonesia sejak krisis moneter tahun 1997 di mana hingga tahun 2024 ini, para obligor dan debitur belum mengembalikan ke pihak BI (Bank Indonesia) yang sudah memberikan suntikan dana sebesar 147,7 triliun;

7)    PT Timah yang sepanjang 2015 -- 2022 telah merugikan negara dan dampak negatif terhadap lingkungan sebesar 271 triliun.  

Kalau ditotal, angka yang diperoleh dari ketujuh mega korupsi di atas adalah 584 triliun; fantastis sekaligus memprihatinkan.

Selain mega korupsi di atas, masih terdapat ratusan kasus korupsi yang belum ditindak secara tegas dan transparan. Misalnya seperti yang diinfokan Diky Anandya, peneliti ICW (Indonesia Corruption Watch) baru-baru ini, bahwa dari 791 kasus pencucian uang dari kasil korupsi sepanjang 2023, baru 6 kasus saja yang diusut.

Apa yang mendera Indonesia tersebut, memperkuat sinyal bahwa perilaku koruptif di negeri ini masih memprihatinkan. Belum lagi yang masih dalam penyelidikan di mana berpotensi merugikan negara dan rakyat dalam spektrum yang lebih luas. Hal ini mengindikasikan ke depan, Indonesia masih perlu diuji dengan berbagai instrumen dan parameter yang lebih konsisten, sistematis, dan berkelanjutan.  

Korupsi dan Mentalitas Oligarki 

Ada satu statemen bagus dan relevan yang dilontarkan Franois Valrian terkait korupsi dan politik:

Corruption will continue to thrive until justice systems can punish wrongdoing and keep governments in check. When justice is bought or politically interfered with, it is the people that suffer... (Korupsi akan terus berkembang sampai sistem peradilan dapat menghukum pelaku kejahatan dan menjaga pemerintah tetap terkendali. Ketika keadilan dibeli atau diintervensi secara politik, rakyatlah yang menderita...). Franois Valrian (Chair of Transparency International).

Dalam konteks kekuasaan, peluang terbesar korupsi terjadi jika dikendalikan oleh sistem pemerintahan yang oligarki. Mentalitas oligarki akan menjadi salah satu penghambat determinan bagi kemajuan sebuah negara. Meskipun para pemimpin dan petinggi pemerintahan (presiden, menteri, DPR, dan kepala pemerintahan pusat dan daerah) dianggap bersih dari tindakan koruptif, tetapi jika pola kepemimpinannya dijalankan berdasarkan sistem oligarki, maka tetap saja merusak iklim demokrasi. Bahkan, akan berimbas pada sikap dan perilaku yang pragmatis, materialistik, dan akhirnya ke arah koruptif.  

Mentalitas oligarki memiliki banyak aspek, di antaranya yang peling determinan dan menonjol: ekonomi, politik, dan kekuasaan. Masing-masing aspek ini, biasanya akan saling berkaitan dan memperkuat sehingga terbentuk struktur pemerintahan dan kekuasaan oligarki.

Pada aspek ekonomi, oligarki cenderung mendominasi sektor-sektor strategis dan mengendalikan sumber daya alam yang penting. Konsentrasi kekayaan dan sumber daya pada segelintir orang atau kelompok elit menyebabkan ketimpangan ekonomi yang semakin parah. Kesempatan ekonomi menjadi tidak merata, di mana akses terhadap modal, teknologi, dan pasar lebih banyak dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Akibatnya, sektor usaha kecil dan menengah (UKM) sulit berkembang karena terhalang oleh dominasi oligarki yang menguasai pasar dan jaringan distribusi.

Sementara pada aspek politik, oligarki berperan dalam menentukan kebijakan publik dan arah pembangunan nasional. Pengaruh mereka terlihat dalam proses pemilihan umum, di mana kekuatan finansial yang besar memungkinkan mereka untuk mendukung kandidat atau partai politik tertentu yang kemudian akan melindungi kepentingan mereka. 

Sistem politik yang demikian mengakibatkan berkurangnya representasi rakyat dalam pemerintahan, karena keputusan-keputusan penting lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan segelintir orang daripada kepentingan umum.

Sedangkan pada aspek kekuasaan, mentalitas oligarki akan menciptakan situasi di mana jabatan-jabatan strategis diisi oleh individu-individu yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok elit. Ini mengakibatkan terjadinya nepotisme dan patronase, di mana posisi penting diberikan berdasarkan hubungan pribadi atau kepentingan kelompok, bukan berdasarkan kompetensi atau integritas. Sistem kekuasaan seperti ini merusak birokrasi dan menghambat reformasi di berbagai sektor, termasuk hukum dan pelayanan publik.

Ketiga aspek di atas saling terkait dan memperkuat satu sama lain, membentuk sebuah sistem yang sulit diubah. Dalam jangka panjang, mentalitas oligarki tidak hanya merusak iklim demokrasi, tetapi juga menghambat kemajuan bangsa yang lebih berdaya saing dan bermartabat.

Alih-alih berusaha untuk tampil membangun sistem pemerintahan yang bersih dan demokratis, justru masih berada di zona kekeluargaan, kekerabatan, dan lingkaran eksklusif yang mempertahankan jabatan dan kekuasaan. Model kepemimpinan seperti ini, tentu belum layak disebut negara yang berdaya, demokratis, dan partisipatoris.

Empat Pilar Utama Mengantisipasi Korupsi dan Mentalitas Oligarki 

Ada banyak aspek yang harus dibenahi agar Indonesia bisa keluar dari jeratan korupsi dan mentalitas oligarki. Namun setidaknya beberapa aspek berikut menjadi kunci utama yang fundamental.

Mentalitas Pemimpin

Menjalankan roda pemerintahan harus dimulai dari mentalitas pemimpin di dalamnya. Seorang pemimpin harus berani menjadi garda depan dalam membangun pola pikir, sikap, dan perlaku yang anti korupsi dan anti oligarki. Semua lini kepemimpinan, dimulai dari pemimpin tertinggi (presiden) hingga pemimpin terendah (kepala desa), harus menjauhkan diri dari sikap dan perlaku yang buruk dan kurang bermartabat itu.

Seorang pemimpin yang berintegritas dan bermartabat, akan menghasilkan kebijakan yang positif dan produktif di kalangan mereka yang dipimpin. Kadar integritas dan martabat itu diukur dari seberapa tegas dan konsisten seorang pemimpin dalam menjalankan peraturan dan kebijakan yang dihasilkan.

Salah satu prinsip utama seorang pemimpin adalah harus berani "menderita" demi kepentingan bangsa dan negara. Pepatah kuno Belanda, Leiden is lijden (Memimpin adalah menderita), tampaknya belum tercermin dalam kepemimpinan saat ini. Maksud "menderita" di sini adalah merujuk pada keberanian sang pemimpin untuk menghindar dari berbagai sikap dan perilaku yang mengarah pada materialisme, nepotisme, dan pragmatisme.

Slogan atau pepetah "Memimpin adalah menderita" itu, juga bisa dimaknai bahwa dirinya harus siap berkomitmen menjalankan kebijakan dan peraturan yang lebih mengutamakan kepentingan yang lebih luas; demi kepentingan negara dan bangsa---meski hal itu mungkin akan mengurangi gemerlap materi dan kekuasan yang akan diperoleh dirinya, keluarganya, kerabatnya, dan kroninya.  

Mentalitas Yang Dipimpin 

Selain pemimpin harus didukung dan bersinergi dengan mentalitas yang dipimpin (terpimpin). Apalah artinya seorang pemimpin, jika masyarakat yang dipimpin belum siap dan enggan dibina ke arah yang lebih baik dan bermartabat. Slogan "revolusi mental" yang sempat membahana di negeri ini, seolah menyusut perlahan, dan kemudian padam.

Lihatlah di sekitar kita, masih banyak orang yang membuang sampah sembarangan, menerobos lampu lalu lintas, berjualan liar di pinggir jalanan pasar, dan perilaku kurang baik lainnya yang menunjukkan mentalitas yang rendah dan tidak bermartabat. Lihatlah anak-anak dan para remaja yang masih senang nongkrong-nongkrong tidak jelas, berkerumun membentuk geng motor jalanan, perkelahian dan tawuran antarsekolah, dan lainnya.

Itu menjadi salah satu indikator bahwa masyarakat yang dipimpin, belum bisa bersinergi dengan pemimpinnya; entah karena kurangnya sosialisasi, pembinaan, pendampingan, dan sejenisnya, atau karena krisis keteladanan dari pemimpin mereka; sehingga mereka juga merasa 'menikmati' sikap dan perilaku pragmatis, materialistik, dan hedonistik. Pada akhirnya, poa hubungan yang partisipatoris dan simbiosis-mutualistik antara pemimpin dan yang dipimpin menjadi sulit untuk dibangun.

Pemberdayaan Masyarakat

Membangun tatanan masyarakat yang adil dan berwibawa tidak cukup hanya melalui jalur-jalur struktural dan hukum, melainkan juga perlu adanya pemberdayaan masyarakat yang lebih humanis dan bersinambungan. Masyarakat perlu diberdayakan secara komprehensif; mulai dari pola pikir, mental, dan perilaku; hingga terbentuk sebuah budaya dan karakter bangsa yang lebih terdidik, santun, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Membangun pemberdayaan di masyarakat bukan hanya pada aspek fisik saja: infra struktur, bantuan pangan seperti BLT [Bantuan Langsung Tunai], sekolah gratis, dan sejensinya. Lebih dari itu dan bahkan lebih penting, adalah membangun kesadaran akan pentingnya menjadi manusia yang memiliki karakter dan sikap sebagai bangsa yang maju dan berperadaban modern: memiliki kedisiplinan, menghargai pekerjaan, menjaga lingkungan, mematuhi peraturan, berempati pada sesama, dan sebagainya. Tentu saja, upaya menuju ke arah itu bukan pekerjaan yang mudah, perlu peran serta pemerintah, pemuka agama, dan tokoh masyarakat, agar program pemberdayaan masyarakat itu bisa berjalan baik, sistemik, dan berkelanjutan.

Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter memiliki peran penting dan strategis dalam membangun Indonesia ke depan menjadi lebih baik dan bermartabat. Pendidikan karakter bisa dimulai sejak bayi dan di dalam lingkungan keluarga, dilanjutkan di masa-masa awal anak-anak masuk sekolah atau bersosialisasi dengan lingkungan luar. Di berbagai negara maju yang memiliki kurikulum baik seperti Firlandia, Swiss, Jepang, dan beberapa negara maju lainnya, pendidikan karakter sudah diterapkan bagi para siswa. Merekasudah diperkenalkan tentang: kejujuran, kemandirian, kedisiplinan, apresiasi, kedermawanan, empati, dan nilai-nilai karakter positif lainnya. 

Indonesia harus menerapkan pendidikan karakter tersebut secara lebih komprehensif, positif, dan produktif. Pendidikan karakter sudah harus tertanam saat anak-anak masih berada di lingkungan rumah tangga di mana peran orangtua sangat penting. Sementara di sekolah, pendidikan karakter harus melibatkan aspek-aspek penting di dalamnya, seperti: kurikulum, keteladanan guru dan sivitas akademika sekolah, interaksi sosial di sekolah, dan lainnya. 

Begitu juga di saat anak-anak berada di tempat umum: tempat ibadah, taman bermain, pasar, jalan raya, dan lainnya. Dengan demikian, anak-anak bukan hanya belajar tentang karakter berdasarkan teori dan ceramah semata, melainkan juga dilibatkan dalam praktik dan kehidupan nyata sehari-hari.

Setidaknya jika empat pilar utama di atas sudah terpenuhi, maka aspek-aspek lainnya akan terbentuk lebih mudah, seperti: penegakan hukum, reformasi struktural, manajemen kelembagaan yang modern dan profesional, dan lainnya.

Semoga ke depan, Indonesia mampu membangun generasi masa depan yang lebih baik, berdaya saing tinggi, berkarakter, dan bermartabat; sehingga cita-cita menjadi negara besar yang dihormati masyarakat dunia menjadi terwujud. Semoga...!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun