4) Â Â Pengolahan kilang minyak ilegal di Tuban, Jawa Timur, yang merugin negara mencapai 35 triliun;
5) Â Â PT Grup Duta Palma di bawah kepemilikan Surya Darmadi yang melakukan penyerobotan lahan negara hingga mencapai kerugian sebesar 78,8 triliun;
6) Â Â BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang menghantam Indonesia sejak krisis moneter tahun 1997 di mana hingga tahun 2024 ini, para obligor dan debitur belum mengembalikan ke pihak BI (Bank Indonesia) yang sudah memberikan suntikan dana sebesar 147,7 triliun;
7) Â Â PT Timah yang sepanjang 2015 -- 2022 telah merugikan negara dan dampak negatif terhadap lingkungan sebesar 271 triliun. Â
Kalau ditotal, angka yang diperoleh dari ketujuh mega korupsi di atas adalah 584 triliun; fantastis sekaligus memprihatinkan.
Selain mega korupsi di atas, masih terdapat ratusan kasus korupsi yang belum ditindak secara tegas dan transparan. Misalnya seperti yang diinfokan Diky Anandya, peneliti ICW (Indonesia Corruption Watch) baru-baru ini, bahwa dari 791 kasus pencucian uang dari kasil korupsi sepanjang 2023, baru 6 kasus saja yang diusut.
Apa yang mendera Indonesia tersebut, memperkuat sinyal bahwa perilaku koruptif di negeri ini masih memprihatinkan. Belum lagi yang masih dalam penyelidikan di mana berpotensi merugikan negara dan rakyat dalam spektrum yang lebih luas. Hal ini mengindikasikan ke depan, Indonesia masih perlu diuji dengan berbagai instrumen dan parameter yang lebih konsisten, sistematis, dan berkelanjutan. Â
Korupsi dan Mentalitas OligarkiÂ
Ada satu statemen bagus dan relevan yang dilontarkan Franois Valrian terkait korupsi dan politik:
Corruption will continue to thrive until justice systems can punish wrongdoing and keep governments in check. When justice is bought or politically interfered with, it is the people that suffer... (Korupsi akan terus berkembang sampai sistem peradilan dapat menghukum pelaku kejahatan dan menjaga pemerintah tetap terkendali. Ketika keadilan dibeli atau diintervensi secara politik, rakyatlah yang menderita...). Franois Valrian (Chair of Transparency International).
Dalam konteks kekuasaan, peluang terbesar korupsi terjadi jika dikendalikan oleh sistem pemerintahan yang oligarki. Mentalitas oligarki akan menjadi salah satu penghambat determinan bagi kemajuan sebuah negara. Meskipun para pemimpin dan petinggi pemerintahan (presiden, menteri, DPR, dan kepala pemerintahan pusat dan daerah) dianggap bersih dari tindakan koruptif, tetapi jika pola kepemimpinannya dijalankan berdasarkan sistem oligarki, maka tetap saja merusak iklim demokrasi. Bahkan, akan berimbas pada sikap dan perilaku yang pragmatis, materialistik, dan akhirnya ke arah koruptif. Â