Gelas-gelas untuk minum dan piring-piring untuk makan, di negeri itu, terbuat dari plastik kusam yang tidak bisa memantulkan bayangan apapun. Tak ada sendok dari stainless steel atau peralatan dapur dari aluminium yang mengkilap. Tak ada plastik jernih untuk membungkus makanan dan sebagai gantinya mereka menggunakan tas kresek hitam legam.
Pada tahun-tahun awal pelarangan melihat refleksi makhluk hidup dari apapun media, mobil-mobil masih diproduksi di negeri itu namun tanpa kaca. Pada tahun-tahun itu, banyak penduduk negeri yang masuk angin setelah menempuh perjalanan jauh dengan mobil.Â
Dan sejak sering terjadinya kecelakaan lantaran tak ada satu pun mobil memiliki spion, sepuluh tahun sejak pelarangan, mobil pun dilarang untuk diproduksi. Kini para penduduk naik sepeda, itu pun seluruh rangka dan onderdilnya berwarna hitam doff yang tidak memantul.
Selain mobil, banyak barang lain yang juga tidak ditemukan di negeri ini. Para penduduk minum air dari gentong, karena air mineral dalam kemasan dilarang, demikian pula galonnya. Mereka menerka-nerka waktu dengan melihat pergerakan matahari, karena jam dinding dan arloji tidak boleh beredar di sana.Â
Pantulan kaca pada kedua benda tersebut berbahaya. Dan tak ada ponsel di sana. Karena setiap ponsel selalu punya layar kaca. Maka tak heran jika komputer pun tidak ada, bahkan kalkulator pun tidak.
Pada suatu pagi, seorang anak generasi terakhir negeri tersebut bertanya kepada orang tuanya, "Kenapa kita tidak boleh melihat wajah kita?"
Orang tuanya menggeleng. "Tanyalah pada para tetua. Itu sudah menjadi hukum di negeri kita."
Ketika anak tersebut bertemu penduduk paling tua di negeri itu, ia mendapatkan jawaban. Sang tetua berkata, "Seratus tahun yang lalu, melihat wajah tidak dilarang. Kita bisa melihat wajah kita di selembar kertas yang bernama foto. Ada alat bernama kamera untuk membuat foto itu. Kita mengabadikan momen melalui foto itu."
Sang anak heran. Ia bertanya, "Kenapa sekarang tidak ada?"
"Karena orang-orang menjadi menyimpang dengan melihat foto," jawab tetua. "Foto orang-orang alim disembah dan dipertuhankan. Maka dilarang memajang foto. Sejak itu, yang berhubungan dengan pantulan sosok mahkluk hidup pun dilarang hingga kini."
"Tapi kan semua penduduk negeri ini tidak ada yang menyembah kepada selain Tuhan," sergah sang anak.