Mohon tunggu...
Hakim Esbe Mulyono
Hakim Esbe Mulyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Tak peduli seberapa cepat anda melangkah; jika anda salah arah, anda tetap harus kembali ke kilometer nol. Tak peduli seberapa lambat anda melangkah; jika arah anda benar, anda akan tetap sampai di tujuan." (HSBM)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Negeri Tanpa Cermin

27 Januari 2019   15:50 Diperbarui: 27 Januari 2019   16:12 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: (at)jonesaroundtheworld

Ada sebuah negeri yang tak akan sanggup Anda tinggali meskipun hanya sehari. Negeri yang dihuni hanya oleh segelintir manusia. Di negeri ini, Anda tak akan menjumpai foto di pajang di dinding rumah. Itu bukan lantaran mahalnya biaya cetak foto, bukan pula karena tak ada kertas untuk mencetak foto. 

Mereka, para penduduk negeri itu, telah bersepakat menghancurkan seluruh perangkat yang bisa menghasilkan foto. Seluruh kamera telah dimusnahkan sejak seratus tahun lalu, tak ada yang tersisa meskipun hanya satu. 

Kertas-kertas, terutama yang glossy, bukan untuk mencetak foto, melainkan untuk mencetak tulisan-tulisan atau simbol-simbol atau apapun yang lain selain gambar manusia atau makhluk hidup seluruhnya. 

Pelarangan mencetak foto berlaku menyeluruh untuk seluruh jenis gambar makhluk hidup, mulai dari hewan, tetumbuhan, bahkan alam. Dan ini sudah berlangsung selama seratus tahun.

Tanpa satu lembar foto pun yang bisa ditemukan, membuat para penduduk tidak bisa melihat momen yang telah berlalu. Orang-orang dewasa tak bisa lagi melihat wajahnya ketika masih bayi, kanak-kanak, atau remaja. Mereka tak bisa melihat momen kebersamaan bersama keluarganya di masa lalu karena tak ada satu pun foto yang mengabadikannya.

Bukan hanya itu. Cermin-cermin juga hilang dari negeri ini. Alasannya sama. Di balik cermin, seseorang akan melihat dirinya, dan itu berarti ia melihat sosok makhluk hidup di sana. 

Foto menggambarkan momen diam dan tetap, sementara cermin menggambarkan momen seketika dan gambarnya berubah-ubah, sehingga keduanya sama saja dilarang di negeri itu.

Tanpa adanya cermin, penduduk negeri itu tak lagi bisa melihat seperti apa dandanan rambut. Mereka hanya menerka dengan meraba sisi atas kepalanya atau melalui pemberitahuan orang lain. 

Mereka bukan sekedar melarang cermin, karena memperlihatkan gambar makhluk hidup sebagaimana foto, namun juga melarang saling melihat mata lawan bicaranya dengan alasan yang sama.

Para penduduk negeri itu menghindari sungai-sungai dan danau. Jikapun mereka terpaksa melintasi sungai, mereka tidak akan pernah menundukkan kepala, takut melihat bayangan makhluk hidup di permukaan sungai itu, yang adalah bayangan dirinya sendiri. 

Bahkan jika hujan tiba, para penduduk negeri itu sangat mewaspadai adanya genangan air di jalanan. Mereka takut melihat bayangan yang bisa ditampilkan oleh genangan itu.

Gelas-gelas untuk minum dan piring-piring untuk makan, di negeri itu, terbuat dari plastik kusam yang tidak bisa memantulkan bayangan apapun. Tak ada sendok dari stainless steel atau peralatan dapur dari aluminium yang mengkilap. Tak ada plastik jernih untuk membungkus makanan dan sebagai gantinya mereka menggunakan tas kresek hitam legam.

Pada tahun-tahun awal pelarangan melihat refleksi makhluk hidup dari apapun media, mobil-mobil masih diproduksi di negeri itu namun tanpa kaca. Pada tahun-tahun itu, banyak penduduk negeri yang masuk angin setelah menempuh perjalanan jauh dengan mobil. 

Dan sejak sering terjadinya kecelakaan lantaran tak ada satu pun mobil memiliki spion, sepuluh tahun sejak pelarangan, mobil pun dilarang untuk diproduksi. Kini para penduduk naik sepeda, itu pun seluruh rangka dan onderdilnya berwarna hitam doff yang tidak memantul.

Selain mobil, banyak barang lain yang juga tidak ditemukan di negeri ini. Para penduduk minum air dari gentong, karena air mineral dalam kemasan dilarang, demikian pula galonnya. Mereka menerka-nerka waktu dengan melihat pergerakan matahari, karena jam dinding dan arloji tidak boleh beredar di sana. 

Pantulan kaca pada kedua benda tersebut berbahaya. Dan tak ada ponsel di sana. Karena setiap ponsel selalu punya layar kaca. Maka tak heran jika komputer pun tidak ada, bahkan kalkulator pun tidak.

Pada suatu pagi, seorang anak generasi terakhir negeri tersebut bertanya kepada orang tuanya, "Kenapa kita tidak boleh melihat wajah kita?"

Orang tuanya menggeleng. "Tanyalah pada para tetua. Itu sudah menjadi hukum di negeri kita."

Ketika anak tersebut bertemu penduduk paling tua di negeri itu, ia mendapatkan jawaban. Sang tetua berkata, "Seratus tahun yang lalu, melihat wajah tidak dilarang. Kita bisa melihat wajah kita di selembar kertas yang bernama foto. Ada alat bernama kamera untuk membuat foto itu. Kita mengabadikan momen melalui foto itu."

Sang anak heran. Ia bertanya, "Kenapa sekarang tidak ada?"

"Karena orang-orang menjadi menyimpang dengan melihat foto," jawab tetua. "Foto orang-orang alim disembah dan dipertuhankan. Maka dilarang memajang foto. Sejak itu, yang berhubungan dengan pantulan sosok mahkluk hidup pun dilarang hingga kini."

"Tapi kan semua penduduk negeri ini tidak ada yang menyembah kepada selain Tuhan," sergah sang anak.

Sang tetua diam tidak memberikan jawaban. Sesungguhnya ia berpikir bahwa pelarangan itu sudah tidak relevan untuk diterapkan mengingat alasan pelarangannya telah sirna dengan kesadaran masyarakatnya bahwa tiada tuhan selain Tuhan.

Dalam pembicaraan itu, mereka berdua saling menunduk, tidak saling memandang mata satu sama lain, tanpa mempertanyakan alasannya, karena di balik mata seseorang ada pantulan bayangan diri orang yang berada di depannya.

Bandar Lampung, 17 Januari 2019

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun