"Ini tehnya Pak Guru," kata Mak Sani sambil menyerahkan teh manis pesanan saya.
"Makasih Mak, tehnya masih tetap manis, semanis Mak Sani," kata saya menggoda Mak Sani.
"Pak Guru bisa saja, Mak sudah tua, Pak Guru, anak delapan semuanya butuh biaya untuk makan, untuk sekolah dan lainlain,Â
Bapaknya sudah tak bisa bekerja, karena sakit sakitan," kata Mak Sani sambil menyerahkan 3 bungkus nasi pesanan saya.
"Makasih Mak, tehnya masih tetap manis, semanis Mak Sani," kata saya menggoda Mak Sani.
"Pak Guru bisa saja, Mak sudah tua, Pak Guru, anak delapan semuanya butuh biaya untuk makan, untuk sekolah dan lainlain, Bapaknya sudah tak bisa bekerja, karena sakit sakitan," kata Mak Sani sambil menyerahkan 3 bungkus nasi pesanan saya.
"Mak Sani tahu resesi ekonomi?" tanya Pak Guru. Â "Apa ? Resesi, tidak tahu dan tidak kenal", itu nama istri Pak Guru?" jawab Mak Sani dengan nada bingung. Ya sudah Mak tak perlu saya jelaskan, dari pada Mak Sani tambah bingung.
"Yang penting saya bisa jualan nasi setiap hari dan bisa membiayai anak-anak yaang sekolah dan kuliah", jawab Mak Sani
"Sabar Mak, pahala Mak Sani lebih banyak dan lebih besar dari saya, coba bandingkan, Mak Sani bisa membiayai 8 anak, dengan hanya berjualan nasi pecel, pasti Allah SWT akan mencatat semua amal ibadah Mak Sani dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan nanti juga akan membiayai pernikahan mereka, jerih payah Mak Sani nanti akan mengantarkan Mak Sani masuk surga," kata saya menghibur Mak Sani.
Ya memang dengan usia yang sudah berkepala enam, tepatnya 62 tahun usianya, Mak Sani tetap berjualan nasi pecel dan itu sudah dilakoni selama 17 tahun, sejak suaminya menderita sakit stroke dan sudah tidak bisa bekerja lagi sebagai tukang kayu.
Sejak itu, Mak Sani yang dibantu beberapa anaknya yang sudah dewasa berjualan nasi pecel di depan rumahnya.