Kita dibuat takjub melihat kondisi fisik rumah hunian masyarakat di pesisir kota Tanjungpinang, selain rumah hunian di darat, ada sejumlah kampung dengan rumah hunian berada tepat di atas laut seperti rumah panggung dengan menggunakan tiang dari batang pohon ditancap ke dasar laut.Â
Tiang-tiang  rumah dari kayu itu bisa diperkirakan berumur hingga puluhan tahun lamanya. Di perahu pompon, seperti biasa saya melanjutkan obrolan dengan Kak Ikka. Sebab kak Ikka lebih banyak tahu tentang seluk beluk dan kehidupan di Tanjungpinang dan Pulau Penyengat selain perihal sejarah Melayunya.
Pulau Penyengat semakin dekat, Kak Ikka menggunakan telunjuk ke arah salah satu Bangunan Warna Hijau dan kuning. Katanya, itulah Mesjid Raya Sultan Riau. Masjid itu, konon dari cerita masyarakat melatu di Pulau Penyengat sejak mesjid itu dibangun, sebagian bahan bangunnya dicampur dari kuning atau putih telur.Â
Semakin penasaran, dengan bangunan mesjid sultan Riau yang dibangun dari kuning atau putih telur ini, di tengah laut antara pulau Bintan dan Pulau Penyengat. Saya sempatkan untuk membuka perpustakaan genggam saya, dengan cepat menulis dengan kata kunci Mesjid Raya Sultan Riau di kolom pencarian aplikasi chrome di handphone.
Membaca kurang lebih dua artikel yang menceritakan tentang bangunan mesjid yang sebagian bahan bangunannya dicampur dengan menggunakan Putih telur, bukan kuning telur.Â
Ini seperti cerita mitos atau cerita rakyat yang biasanya kita dengar dari berbagai daerah, hanya saja masyarakat di seluruh kepulauan riau sangat bangga memiliki masjid sebagai cagar budaya dan sejarah Melayu yang masih berdiri megah di tengah-tengah perumahan Msayarakat.Â
15 menit setelah kami di perahu pompon, haluan perahu sudah ada di pelabuhan Penyengat. Hal yang luar biasa dari Pulau Penyengat ini, ketika sampai di pelabuhan, jalan keluar berapa meter saja di gerbang masuk pelabuhan, kita sudah melihat Bangunan Masjid Sultan Raya Sultan Riau.
Terlepas dari soal mitos atau cerita rakyat, saya sangat kagum dengan pelestarian situs peninggalan terutama tokoh di suku Melayu yang tersohor di seluruh penjuru Nusantara, yakni Sultan Riau.Â
Selain itu, seharunya Pulau Penyengat ini dikenal dengan sebutan kota Gurindam, bukan Kota Tanjungpinang di Pulau Bintan. Tetapi, sejarah telah menulis dan menancapkan eksistensinya kepada segenap anak cucu bangsa Melayu bahwa mereka punya perjalanan sejarah dan peradaban besar yang harus dijaga dan dilestarikan untuk terus hidup.
Hemat saya, Tugu bahasa dan sejumlah tempat bersejarah di Penyengat memberikan kesan bahwa Pulau Penyengat memiliki energi dari sebuah perjalanan panjang, memiliki daya dan marwah sebagai sebuah peradaban besar yang sampai saat ini masih terlihat dengan jelas tercermin dalam keseharian suku Melayu yang mendiami Pulau Penyengat ini.