Terlepas dari itu, di rumah sebenarnya saya tidak punya pekerjaan lain sih, hanya seorang pengangguran yang kebetulan juga tidak suka menulis. Olehnya itu, saya memilih berbagi pengalaman ini di kompasiana, tepatnya tempat untuk menceritakan keseharian dan saling berbagi sesuatu yang bermanfaat.
Di rumah, saya hanya mengerjakan sedikit pekerjaan melaui laptop kecil saya, dan itu kadang juga tidak ada sama sekali. Karena ada satu orang teman, sehingga pekerjaan kecil seperti mengonsepkan materi atau suatu program ini kami lakukan secara daring tepatnya.
Untuk pekerjaan yang ini, sebenarnya punya senior yang saya kenal. Dan dia sangat percayakan pekerjaan seperti ini kepada kami berdua, saya dan teman saya ini. Sekarang, seperti ada kelonggaran dan tidak sama seperti tahun sebelumnya yang masih sangat rutin melakukan kegiatan sehingga kami berdua selalu saja ditugaskan untuk materi dan lain sebagainya.
Saya kembali lagi untuk mengulik sedikit soal penundaan waktu menyelesaikan pekerjaan tadi. Ketika kita menunda pekerjaan dan waktu penyelesaiannya, sama halnya dengan kita telah putus asa, tidak percaya dengan porsi waktu yang kita punya. Selain menjadi kebiasaan buruk, penumpukan waktu membuat waktu pekerjaan kita semakin banyak.
Coba bayangkan, jika penumpukan waktu pekerjaan ini bukan dipekerjaan rumah yang entang, tetapi pekerjaan di kantor atau perusahaanmu. Jelasnya, dead line menakut-nakuti kita, diburu waktu, ditekan oleh atasan, jadwal yang padat dan lain sebagainya. Apakah itu tidak berdampak pada kebahagiaan diri?
Kalian sudah tahu tentunya dampak dari waktu pekerjaan yang panjang karena penambahan sesuai regulasi misalkan, atau menunda nanti dikerjakan sekaligus di satu waktu. Dampak waktu yang menumpuk ini terhadap kesehatan sangatlah fatal.
Saya pernah dengar curhatan teman-teman lainnya tentang pekerjaan mereka terlalu banyak dan stres, butuh piknik, jalan-jalan. Bahkan ada yang berdampak pada suhu di rumah tangga menjadi tidak begitu akur lagi. Ini semua bisa terjadi karena beban pada jiwa, orang bisa stres dan bunuh diri.
Waktu pekerjaan yang bertumpuk dan panjang (lama) dapat berisiko bukan hanya pada emosi dan firik, tapi juga kematian, hal ini menurut laporan (hasil studi) WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) dan ILO (Organisasi Buruh Sedunia) di kutip dari CnnIndonesia.com studi ini menyebutkan bahwa tahun 2016 lalu, dengan Jam Kerja yang Panjang menyebabkan sekitar 745.194 orang meninggal dunia karena stroke dan serangan jantung.
Saya tidak tahu, apakah yang dimaksud jam kerja yang panjang pada studi ini sama seperti yang saya maksud atau tidak. Tetapi saya percaya bahwa selain tekanan regulasi, efek menunda kerja adalah bagian yang paling berkontribusi dengan meniggalnya orang dalam perspektif studi di atas.
Pekerjaan yang tertunda itu dapat dengan sendirinya mengurangi porsi waktu kita setiap hari. Pekerjaan, hemat saya adalah pilihan, sama persis seperti pilihan hidup. Sekecil apa pun pekerjaan yang ada, diri  kita sudah dipilih sebagai media untuk menyelesaikannya. Sebaiknya, tidak atau bahkan jangan pernah menunda sesuatu jika mau melakukannya (dalam hal ini sesuatu yang mendatangkan kebaikan untuk diri sendiri).
Saya tidak tahu sejauh mana kemungkinan-kemungkinan tidak bisa mengerjakan pekerjaan itu sama sekali karena pekerjaan lain. Menurut saya, setiap hari dengan porsi waktu 24 jam itu memiliki tolak ukur sendiri. Tentunya penundaan atau memilih untuk menyelesaikan ini sangat erat kaitannya dengan sebuah keputusan yang kita ambil