Mohon tunggu...
Hairil Suriname
Hairil Suriname Mohon Tunggu... Lainnya - Institut Tinta Manuru

Bukan Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Ada Firasat Kopi di Saku Celana Perempuan Penyeduh Kopi (Bukan Ontologi Rasa)

12 Februari 2023   14:05 Diperbarui: 12 Februari 2023   17:12 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perempan Penyeduh Kopi : Tofin.id

"Jika semua Perempuan penyeduh kopi berbicara dalam bahasa isyarat, penikmat kopi tidak pernah menikmati  rasa kopi yang tawar sepanjang hari"

Bak ketajaman sebuah kajian metafisik dalam ontologi, tetapi hal ini benar-benar ada jika melihatnya dari dua sudut pandang yang berbeda. Saya hanya sekedar mencari makna dengan bersandar pada logika untuk menghadirkan hakikat firasat ini dengan konkret dan sedikit  kritis.

Realitas dalam pendangan saya, memiliki hakikat ke-ada-aan sesuatu itu tidak begitu konkret tidak juga samar. Saya sedikit mengerti soal ilmu filsafat yang ringan saja, tidak terlalu berat.

Di mana ontologi mengidealkan suatu kewujudan yang kongkrit sudah ada dan sangat tua usianya jika dibandingkan segala hal kekonsepan tentang kehadiran "ada"-nya (konkret) sesuatu wujud itu. Tapi kan ini bahasan soal firasat kopi?

Yap,tepatnya bukan sebuah ontologi tetapi firasat benar ada tanpa harus menghadirkan kekonkretan wujudnya. Karena aspek ontologi ialah mempertahan wujud, memungkinkan semua manusia yang memiliki perasaan menjadi dasar untuk mengidentifikasikan sedikit pemikiran semesta tentang Firasat Kopi yang sistematis ini.

Tarik ulur perihal kaidah, tidak ada makna yang tersirat mendasari aktivitas dua orang di kedai kopi, antara penikmat kopi dan si penyeduh kopi alias barista. Apalagi, kebanyakan barista zaman sekarang hampir sebagian besarnya adalah perempuan.

Saya tidak bicara tentang klasifikasi gender tertentu, ini hanya perkara firasat yang terpendam setiap kali datang dan menikmati kopi di kedai biasa, tempat saya menghabiskan waktu kurang lebih 30 menit atau bahkan 1 jam secara percuma tanpa berbicara apa-apa. Tidak juga berbicara soal peran perampuan dalam industri kopi.

Sebagaimana sedikit sejarah menggambarkan kekacauan berpikir pada abad 15 silam setelah kedai kopi pertama kali dibuka, di Turki. Para suami layak diceraikan istrinya jika tidak memenuhi kebutuhan kopi istrinya setiap hari. Saya pikir sejarah ini menjadikan perspektif kekeliruan dalam berpikir bahwa wujud dari realitas tidak memiliki hakikat sama sekali?. Hanya karena kopi, nasib lelaki dipertaruhkan.

Ada semacam keanehan atau sebuah kebetulan belaka, saya kembali lagi pada pokok masalah ini. Mengapa si perempuan itu atau pada umumnya si penyeduh kopi selalu menyajikan seduhan kopi paling nikmat. Padahal, saya hanya memesan kopi seperti biasanya, tanpa mengutarakan perasaan apa-apa. Kebiasaan minum kopi saya bukan lagi seperti biasa, tetapi tidak menggila.

Saya juga tahu bahwa manfaat minum kopi jauh lebih besar di banding risiko dari kopi itu sendiri. Tapi ini bukan perihal baik buruknya kopi, ini perkara perasaan dalam secangkir kopi. Mengapa ada riset Annals of Internal Medicine mengatakan bahwa manfaat minum kopi bisa membuat hidup lebih lebih lama.

Kemungkinan besar sebuah riset bisa saja tidak sesempurna menyeduh kopi, tetapi setidaknya mengetahui risiko terberatnya minum kopi jauh lebih baik dari tidak tahu sama sekali. Ketika Anda takut dengan kopi, jauhi saja firasat tentang ketakutan-ketakutan terutama pada efek panjang terhadap masa hidup. Kita teruskan lagi perihal si perempuan barista penyeduh kopi.

Si barista itu, menekan kopi dengan gerakan-gerakan terlatihnya, bukan menekan dengan rasa. Tetapi, hasil seduhan kopi ini semacam ada penekanan rasa yang membuat semua kopi kalau diseruput selalu saja nikmat. Sayangnta, barista ini tidak mendapat pujian, sebab penikmat selalu memuji sambil memikirkan seorang idola seperti sang aktor dalam mimpi panjangnya bernama Kekasih.

Tiba-tiba keheningan dalam isi kepala melonpat ke luar, bertebaran di atas selasar kedai itu. Keheningan yang telah bingung itu, menyatu bersama debu, atau bahkan terlanjur heningnya sampai mengubah wujud menjadi sayap kecil agar bisa terbang menghampiri isi kepala penikmat kopi di sudut kedai yang lain.

Kak, ini Kopinya ! "Kata Si Perempuan penyeduh kopi itu sambil menyodorkan secankir kopi di atas meja saya. Dengan sigap dan sangat cepat karena dikagetkan dengan kehadiran kopi setelah si Permpuan penyeduh kopi itu membelakangi saya. 

Aroma kopi, berbisik dengan gemulai khasnya sedikit asap yang mengitari bibir cangkir kopi. "Hei, apa yang kau pandangi?, Tidak ada firasat kopi di saku celana perempuan penyeduh kopi itu?"

Firasat kopi yang saya maksud dari perempuan si penyeduh kopi ini layaknya ekstrak kopi yang sangat kental pada kopi espresso, dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi dan hasil serbuk biji kopi berkualitas tinggi yang digiling sehalus mungkin, sehingga rasanya sangat tebal. Bagi saya, penekanan dan ketegasan rasa dalam menyeduh kopi bukan bagian dari cara menyeduh kopi. Tetapi, si perempuan itu selalu tahu bahwa kopi terbaik tidak akan membuat penikmat buru-buru meninggalkan kedai kopi.

Apa mungkin, kopi memiliki firasat yang sama seperti manusia? Mungkin di banyak saduran tentang filosofi kopi telah membahasa hal yang sama. Tapi di sini, saya berusaha memecahkan beberapa keanehan yang saya sebut sebagai firasat kopi.

Keanehan ini, bisa saja terjadi untuk semua penyeduh kopi dan penikmat kopi. Sebab, mereka atau kita tidak tinggal serumah, atau tidak saudaraan. Toh, rasa kopi yang diseduhnya selalu saya mendapat posisi pertama di hati penikmat, setelah menyusuri nikmatnya kopi seduhan si Perempuan baritas itu.

Ilustrasi Firasat Kopi, Perempuan Penyeduh Kopi : Kopibara.id
Ilustrasi Firasat Kopi, Perempuan Penyeduh Kopi : Kopibara.id
Maksud saya, kalau saja di kehidupan lain, selain minum kopi mendapatkan firasat yang sama. Saya pikir tidak ada yang merana atau kegelisahan karena di tolak di pekerjaan, atau salah membeli buah yang asam, ditinggalkan pasangan dan lain sebagainya.

Terlalu jauh, saya balik lagi pada firasat kopi. Penyeduh itu selalu tahu bagaimana lidah penikmat yang menjadi indikator pertama mengukur rasa kopi yang di seduh oleh penyeduh. Namun, si penyeduh sendiri tidak pernah atau bahkan tidak berpikir sama sekali, mengapa penikmat kopi melancarkan premis-premis minor atau juga diksi berirama puitis kala mereka menyeruput kopi yang dia seduh.

Bagi saya, apiknya minum kopi sama halnya seperti ketegangan di perang dunia II. Merebut pangkalan militer dan saling bom di banyak wilayah jajahan atau serangan fajar mengeksedus suatu kekuasaan tertentu. Seapik itu jika menikmati kopi dan menempatkan firasat pada secangkir kopi.

Hal ini terjadi karena ada firasat dalam cangkir kopi, tapi bukan cangkirnya. Setiap kali minum kopi selalu saja memikirkan soal firasat ini. Ataukah si perempuan barista itu telah belajar tentang rasa pada ibuku?. Ah,  ini hal yang tidak mungkin, mengapa dia (si barista perempuan itu), bukan barista laki- laki ya !. Mengapa dia sangat paham perihal rasa?

Seduhan kopi yang setiap saya pesan jika berkunjung ke kedai kopi, selalu saja nikmat seperti masakan ibu saja. Tidak pernah meleset dalam hal rasa (enaknya full), karena masakan ibu tidak ada yang bisa menggantikan posisi rasa enaknya. Tapi si barista ini, dia sangat bisa. Jangan-jangan, si barista ini tetanggaan? Atau punya talenta membaca perasaan dan kemauan orang tentang rasa.

Ini hal mengganjal yang paling kacau dan tidak pernah ada pemecahannya. Seingat saya, dulu waktu masih berstatus sebagai mahasiswa. Dosen saya pernah menganalogikan perspektif marketing tentang barista kopi.

Pernah juga menyelami beberapa artikel tentang bahaya kopi, tapi bukan untuk perasaan malainkan kesehatan fisik. Di beberapa artikel lainnya bahkan kopi dilarang di masa itu. Di inggris misalkan, larangan tersebut dikeluarkan pada tahun 1657 oleh raja Charles II.

Raja Charles II, khawatir kalau kedai kopi digunakan sebagai tempat rapat untuk membahas rencana pemberontakan. Sebab itulah kopi pada saat itu dilarang, keberadaan kedai kopi dianggap sebagai ancaman, akhirnya larangan diresmikan supaya orang-orang tidak bisa berkumpul di tempat tersebut.

Saya baru saja pahami cerita dosen saya itu setelah bertahun-tahun berkelana dalam rasa penasaran, mengapa bisa semua barista mampu menyuguhkan kopi yang nikmat. Ini bukan karena mereka mempelajari teknik seduh, atau tekanan suhu yang dipakai, atau biji kopi apa yang mereka pakai.

Rasa nikmat itu, mempengaruhi firasat kopi. Mempengaruhi lidah penikmat, memecahkan keheningan panjang, jangankan lelah setelah rutin pekerjaan. Sesekali orang pernah kehilangan semangat dan setelah menyeruput kopi, mereka merasa hidup kembali. Hal ini karena dipengaruhi oleh firasat kopi yang diseduh oleh orang yang mencintai pekerjaannya.

Saya juga berpikir kalau rasa kopi yang tunggal itu jika dicampur dengan rasa yang lain seperti gula misalkan, krim atau susu. Ini sama halnya dengan membuat sebuah konspirasi kerusakan secara besar-besaran dan nyata. Rasa kopi akan berakhir seperti gagalnya sebuah kudeta pemerintahan atau perebutan kekuasaan.

Ini juga bukan perihal cara minum kopi, tetapi lebih pada firasat yang terkandung dalam sajian kopi oleh si barista. Semakin tidak habis berpikir tentang hal ini. Oleh karenanya, oh saya hampir saja lupa. Saya melanjutkan sedikit cerita tentang analogi seorang dosen saya tadi.

Kata dosen saya, suatu hari ada seorang kakek yang datang di kedai kopi. Tempat biasa dia menghabiskan berjam-jam untuk minum kopi sambil membaca wara-wiri berita di sebuah surat kabar. Si kakek ini, kepada si penyeduhnya memesan secangkir kopi hitam seperti pada hari biasanya.

Dari cerita ini saya bari bisa simpulkan kalau kedai kopi dan kakek ini masih hidup di zaman sebelum mesin penyeduh kopi lebih canggih seperti sekarang ini. Karena, si barista yang menyeduh kopi si kakek ini masih menggunakan cara manual yakni menyeduh dengan mengaduk kopi menggunakan satu buah sendok.

Ternyata, beginilah firasat kopi itu bekerja. Seperti saya sebutkan di  atas, bukan perihal teknik atau pengalaman beberapa tahun bekerja menyeduh kopi. Tetapi lebih kepada membaca realitas dan rentan usia, sebagai ukuran penyajian kopi yang sempurna. Hal ini di lakukan oleh si barista penyeduh kopi untuk kakek, yang di ceritakan pada kami dalam kelas tambahan waktu itu. Lalu, apa yang di lakukan barista?

Barista itu mengambil kurang lebih dua sendok serbuk kopi, bisa jadi takaran kopi biasanya sudah disepakati antara barista dan si kakek. Tetapi, kali ini ada sedikit perbedaan. Kakek tidak bisa menghabiskan berjam-jam untuk bersantai  sambil membaca wara wiri berbagai hidangan informasi baru di surat kabar.

Dia harus melanjut sebuah perjalanan berkunjung ke rumah kerabatnya, dan membutuhkan secangkir kopi yang diseduh dengan cepat. Barista, melakukan pekerjaan ini pun merasa dan tahu bahwa ini tidak seperti biasanya. Tidak aneh, tidak ada yang berubah dengan hal minum kopinya si kakek. Tetapi, terlihat sangat buru-buru.

Langkah pertama adalah, barista mengambil air panas dengan suhu yang tinggi dan menyeduh kopi si kakek. Kembali pada kata si kakek tadi "Membutuhkan secangkir kopi, sedikit lebih cepat" karena ada perjalanan setelah ini.

Ternyata yang di lakukan barista, takaran kopi diseduh dengan menggunakan air panas sebagaimana biasanya, dia celupkan sebuah sendok adukan, lalu mengaduknya dengan hitungan. Pertanyaannya, mengapa barista harus menghitung adukan pada sebuah cangkir kopi?

Nah, di sinilah firasat kopi bekerja secara maksimal tanpa kita sadari. Tapi, saya pikir ini belum juga memenuhi rasa penasaran saya terhadap pengetahuan barista tentang perasaan penikmat yang berbeda-beda setiap waktu.

Kurang lebih 30-50 adukan dengan sebuah sendok di dalam cangkir yang berisikan kopi. Ini juga bukan perihal terbuat dari bahan apa sendok yang dipakai barista itu. Ada 3 kemungkinan bahan sendok makan terbuat dari besi putih (karena cepat mengurangi suhu panas yang tinggi), stenlis atau alumunium.

Jelasnya, disini barista punya cara untuk menyajikan kopi dengan teknik tercepat untuk seorang kakek. Menurut si barista, 30-50 adukan adalah cara yang maksimal bukan untuk rasa kopi, tetapi lebih kepada perspektif menjaga firasat kopi dalam hal ini, antara barista dan si kakek (yang sudah akrab) dan pemilahan penyajian berdasarkan usia.

Alasannya, 30-50 adukan bukan untuk rasa kopi tetapi untuk membuat kopi sedikit lebih dingin sesuai penikmat  seusia si kakek, plus alasan kakek yang buru-buru melanjutkan perjalanan lagi. Faktor lain,  karena suhu air yang dipakai terlalu panas untuk mematangkan serbuk kopi.

Saya pelajari firasat kopi dari si barista ini membuat saya pangling setiap minum kopi, dan memikirkan hal yang sama dilakukan barista pada kakek dalam sebuah analogi yang disampaikan dosen saya itu. Selain itu, saya juga membaca artikel tentang para tokoh dunia yang candu dengan kopi. Salah satunya seorang Writer, philosopher and playwright terkenal asal Perancis dia adalah Tokoh Dunia yang tergila-gila dengan kopi.

Yap, Voltaire namanya, dirinya diketahui mengkonsumsi 40 sampai 50 cangkir kopi dalam sehari. Ini hal yang sangat gila, saya tidak segila yang dilakukan para tokoh dunia ini. Tetapi, jelasnya masih mungkin ada yang lebih gila melebihi kegilaan Voltaire terhadap kopi, ini lebih pada kegilaan menikmati rasa kopi.

Saya pikir hal semacam ini tidak ada habisanya untuk mendapatkan pemecahannya. Ataukah mungkin cara saya tidak berdasarkan sebuah metodologi untuk membedah lebih dalam firasat kopi? Atau alat analisis untuk membedah firasat kopi dalam pandangan narasi puitis terlalu berlebihan?

Entahlah, yang jelasnya dalam memecahkan teka teki ini, saya berkesimpulan bahwa Firasat kopi antara barista dan si penikmat kopi merupakan sebuah komunikasi logis, yang bukan mantra-mantra suci tentunya atau semacam premis dan lainnya. Si perempuan barista itu, mampu menempatkan rasa dalam secangkir kopi, membuat kenyamanan itu semakin panjang dan berkelok-kelok. 

Ah, nanti saja kita pecahkan sama-sama perihal firasat kopi ini, sebab bukan merupakan ontologi rasa dengan kekongkretan hakikat yang mendalam.

Selamat menikmati hidangan diksi kosong pada cangkir kalian, mungkin bisa mengakhiri Firasat kopi antara penikmat dan si barista perempuan tadi. 

Mari minum kopi, dan jangan lupa bahagia !

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun