Saya pikir hal semacam ini tidak ada habisanya untuk mendapatkan pemecahannya. Ataukah mungkin cara saya tidak berdasarkan sebuah metodologi untuk membedah lebih dalam firasat kopi? Atau alat analisis untuk membedah firasat kopi dalam pandangan narasi puitis terlalu berlebihan?
Entahlah, yang jelasnya dalam memecahkan teka teki ini, saya berkesimpulan bahwa Firasat kopi antara barista dan si penikmat kopi merupakan sebuah komunikasi logis, yang bukan mantra-mantra suci tentunya atau semacam premis dan lainnya. Si perempuan barista itu, mampu menempatkan rasa dalam secangkir kopi, membuat kenyamanan itu semakin panjang dan berkelok-kelok.Â
Ah, nanti saja kita pecahkan sama-sama perihal firasat kopi ini, sebab bukan merupakan ontologi rasa dengan kekongkretan hakikat yang mendalam.
Selamat menikmati hidangan diksi kosong pada cangkir kalian, mungkin bisa mengakhiri Firasat kopi antara penikmat dan si barista perempuan tadi.Â
Mari minum kopi, dan jangan lupa bahagia !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H