Kemungkinan besar sebuah riset bisa saja tidak sesempurna menyeduh kopi, tetapi setidaknya mengetahui risiko terberatnya minum kopi jauh lebih baik dari tidak tahu sama sekali. Ketika Anda takut dengan kopi, jauhi saja firasat tentang ketakutan-ketakutan terutama pada efek panjang terhadap masa hidup. Kita teruskan lagi perihal si perempuan barista penyeduh kopi.
Si barista itu, menekan kopi dengan gerakan-gerakan terlatihnya, bukan menekan dengan rasa. Tetapi, hasil seduhan kopi ini semacam ada penekanan rasa yang membuat semua kopi kalau diseruput selalu saja nikmat. Sayangnta, barista ini tidak mendapat pujian, sebab penikmat selalu memuji sambil memikirkan seorang idola seperti sang aktor dalam mimpi panjangnya bernama Kekasih.
Tiba-tiba keheningan dalam isi kepala melonpat ke luar, bertebaran di atas selasar kedai itu. Keheningan yang telah bingung itu, menyatu bersama debu, atau bahkan terlanjur heningnya sampai mengubah wujud menjadi sayap kecil agar bisa terbang menghampiri isi kepala penikmat kopi di sudut kedai yang lain.
Kak, ini Kopinya ! "Kata Si Perempuan penyeduh kopi itu sambil menyodorkan secankir kopi di atas meja saya. Dengan sigap dan sangat cepat karena dikagetkan dengan kehadiran kopi setelah si Permpuan penyeduh kopi itu membelakangi saya.Â
Aroma kopi, berbisik dengan gemulai khasnya sedikit asap yang mengitari bibir cangkir kopi. "Hei, apa yang kau pandangi?, Tidak ada firasat kopi di saku celana perempuan penyeduh kopi itu?"
Firasat kopi yang saya maksud dari perempuan si penyeduh kopi ini layaknya ekstrak kopi yang sangat kental pada kopi espresso, dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi dan hasil serbuk biji kopi berkualitas tinggi yang digiling sehalus mungkin, sehingga rasanya sangat tebal. Bagi saya, penekanan dan ketegasan rasa dalam menyeduh kopi bukan bagian dari cara menyeduh kopi. Tetapi, si perempuan itu selalu tahu bahwa kopi terbaik tidak akan membuat penikmat buru-buru meninggalkan kedai kopi.
Apa mungkin, kopi memiliki firasat yang sama seperti manusia? Mungkin di banyak saduran tentang filosofi kopi telah membahasa hal yang sama. Tapi di sini, saya berusaha memecahkan beberapa keanehan yang saya sebut sebagai firasat kopi.
Keanehan ini, bisa saja terjadi untuk semua penyeduh kopi dan penikmat kopi. Sebab, mereka atau kita tidak tinggal serumah, atau tidak saudaraan. Toh, rasa kopi yang diseduhnya selalu saya mendapat posisi pertama di hati penikmat, setelah menyusuri nikmatnya kopi seduhan si Perempuan baritas itu.
Maksud saya, kalau saja di kehidupan lain, selain minum kopi mendapatkan firasat yang sama. Saya pikir tidak ada yang merana atau kegelisahan karena di tolak di pekerjaan, atau salah membeli buah yang asam, ditinggalkan pasangan dan lain sebagainya.
Terlalu jauh, saya balik lagi pada firasat kopi. Penyeduh itu selalu tahu bagaimana lidah penikmat yang menjadi indikator pertama mengukur rasa kopi yang di seduh oleh penyeduh. Namun, si penyeduh sendiri tidak pernah atau bahkan tidak berpikir sama sekali, mengapa penikmat kopi melancarkan premis-premis minor atau juga diksi berirama puitis kala mereka menyeruput kopi yang dia seduh.
Bagi saya, apiknya minum kopi sama halnya seperti ketegangan di perang dunia II. Merebut pangkalan militer dan saling bom di banyak wilayah jajahan atau serangan fajar mengeksedus suatu kekuasaan tertentu. Seapik itu jika menikmati kopi dan menempatkan firasat pada secangkir kopi.