Pernah mematahkan harapan sendiri, semangat ikut dalam penderitaan. Menyadari kenyataan tapi tak banyak mau menerima itu, sebab menyakitkan
Ketika, burung-burung kerumunan memilih pulang. Kupu-kupu asyik bercengkerama dengan bunga di taman belakang
Hutan-hutan juga pohon, daun hijau dan ranting kering berbaris di atas bukit batu. Seistimewa canda dan tawa menyatu bersama racun janji pada mulut mu
Aku pikir, ikan tidak pernah benci pada nelayan. Tapi di waduk, nelayan berlagak sopan. Jas hitam berkaca mata, dasi merah membujur dari leher hingga mata kaki, kebanggaan !
Rimba basah tidak pernah benci pada petani, merubah muka jadi jerami setelah itu di telanjangi. Yang berdasi masih seperti nelayan di waduk saban hari, menari tak tau diri
Burung-burung tak membenci sarangnya, ternak-ternak tak benci pengembala. Kandang luas melilit hati, nasib seram yang setengah mati, itu kami.
Harap yang hilang dalam sekejab, aku pikir semua akan baik-baik saja. Ternyata tingkahnya tindas menindas
Bencinya hutan-hutan, rimba basah dan juga ikan. Sesaat saja, keluarga jual muka. Saling lahap tanpa sabar, karib kerabat pun dibabat
Harap yang hilang, jangan bilang aku percaya. Dusta manis dari kata akan binasa, janji-janji bak roti direbut mereka yang setelah dibagi, ah basi
Ingin ku pinang percaya, menepis dusta dan amarah sembari berharap tak ada lagi lara apalagi dendam yang membara. Anak-anak kecil di meja perkara, ah keparad
Harap, menghilang.
Tak satu pun yang melihat, padahal mereka tidak buta. Di waduk mereka berseteru dengan ikan, di laut juga sama.
Nasib orang kecil di meja hijau, tak ada timbang tasa. Plilih kasih sudah biasa, biar saja kalian yang binasa sebab aku rakyat biasa
Di hutan, mereka mengajak pohon-pohon berperang, jerami menolak maksud yang sama. Kau main di belakang meja, kami bisa apa?
Burung-burung di kurung, memurung seperti nasib yang terpacung. Maling dan petarung nilainya sama, berakhir di hukum pacung.
Harap menghilang,
Bila percaya pada pendusta, mulut mereka membual. Aku lupa, kerap kali kami sebut kau bermuka dua
Kau tidak perlu jadi nelayan, cukup kami saja. Jangan rebut segalanya. Ikan, hutan juga rimba itu kerabat kami.
Kau tak perlu pura-pura buta, mata peka pada dasi yang banyak tingkah. Kau memang bedabah, kami tak akan lupa
Harap yang kelam,
Sebentar lagi malam, taun kembali ke istana dan kami kembali ke hutan, ke laut, juga rimba.
Percaya, dusta, duka, murka, bualan, sudah kami kemas dalam sekotak harap. Kami beri nama luka, kelak jika dasi dan kacamata mu tak layak di pakai.
Kamu tak harus ambil harap yang kami sebut luka. Jangan suka-suka, kami tak ingin dusta. Biar saja kami yang luka, kau cukup buang muka lalu lelap di istana menunggu murka
Bth, 23/06/21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H