Nasib orang kecil di meja hijau, tak ada timbang tasa. Plilih kasih sudah biasa, biar saja kalian yang binasa sebab aku rakyat biasa
Di hutan, mereka mengajak pohon-pohon berperang, jerami menolak maksud yang sama. Kau main di belakang meja, kami bisa apa?
Burung-burung di kurung, memurung seperti nasib yang terpacung. Maling dan petarung nilainya sama, berakhir di hukum pacung.
Harap menghilang,
Bila percaya pada pendusta, mulut mereka membual. Aku lupa, kerap kali kami sebut kau bermuka dua
Kau tidak perlu jadi nelayan, cukup kami saja. Jangan rebut segalanya. Ikan, hutan juga rimba itu kerabat kami.
Kau tak perlu pura-pura buta, mata peka pada dasi yang banyak tingkah. Kau memang bedabah, kami tak akan lupa
Harap yang kelam,
Sebentar lagi malam, taun kembali ke istana dan kami kembali ke hutan, ke laut, juga rimba.
Percaya, dusta, duka, murka, bualan, sudah kami kemas dalam sekotak harap. Kami beri nama luka, kelak jika dasi dan kacamata mu tak layak di pakai.
Kamu tak harus ambil harap yang kami sebut luka. Jangan suka-suka, kami tak ingin dusta. Biar saja kami yang luka, kau cukup buang muka lalu lelap di istana menunggu murka
Bth, 23/06/21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H