Mohon tunggu...
Hairil Suriname
Hairil Suriname Mohon Tunggu... Lainnya - Institut Tinta Manuru

Bukan Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Biar Kami yang Luka

23 Juni 2021   14:35 Diperbarui: 25 Juni 2021   14:35 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pernah mematahkan harapan sendiri, semangat ikut dalam penderitaan. Menyadari kenyataan tapi tak banyak mau menerima itu, sebab menyakitkan

Ketika, burung-burung kerumunan memilih pulang. Kupu-kupu asyik bercengkerama dengan bunga di taman belakang

Hutan-hutan juga pohon, daun hijau dan ranting kering berbaris di atas bukit batu. Seistimewa canda dan tawa menyatu bersama racun janji pada mulut mu

Aku pikir, ikan tidak pernah benci pada nelayan. Tapi di waduk, nelayan berlagak sopan. Jas hitam berkaca mata, dasi merah membujur dari leher hingga mata kaki, kebanggaan !

Rimba basah tidak pernah benci pada petani, merubah muka jadi jerami setelah itu di telanjangi. Yang berdasi masih seperti nelayan di waduk saban hari, menari tak tau diri

Burung-burung tak membenci sarangnya, ternak-ternak tak benci pengembala. Kandang luas melilit hati, nasib seram yang setengah mati, itu kami.

Harap yang hilang dalam sekejab, aku pikir semua akan baik-baik saja. Ternyata tingkahnya tindas menindas

Bencinya hutan-hutan, rimba basah dan juga ikan. Sesaat saja, keluarga jual muka. Saling lahap tanpa sabar, karib kerabat pun dibabat

Harap yang hilang, jangan bilang aku percaya. Dusta manis dari kata akan binasa, janji-janji bak roti direbut mereka yang setelah dibagi, ah basi

Ingin ku pinang percaya, menepis dusta dan amarah sembari berharap tak ada lagi lara apalagi dendam yang membara. Anak-anak kecil di meja perkara, ah keparad

Harap, menghilang.
Tak satu pun yang melihat, padahal mereka tidak buta. Di waduk mereka berseteru dengan ikan, di laut juga sama.

Nasib orang kecil di meja hijau, tak ada timbang tasa. Plilih kasih sudah biasa, biar saja kalian yang binasa sebab aku rakyat biasa

Di hutan, mereka mengajak pohon-pohon berperang, jerami menolak maksud yang sama. Kau main di belakang meja, kami bisa apa?

Burung-burung di kurung, memurung seperti nasib yang terpacung. Maling dan petarung nilainya sama, berakhir di hukum pacung.

Harap menghilang,
Bila percaya pada pendusta, mulut mereka membual. Aku lupa, kerap kali kami sebut kau bermuka dua

Kau tidak perlu jadi nelayan, cukup kami saja. Jangan rebut segalanya. Ikan, hutan juga rimba itu kerabat kami.

Kau tak perlu pura-pura buta, mata peka pada dasi yang banyak tingkah. Kau memang bedabah, kami tak akan lupa

Harap yang kelam,
Sebentar lagi malam, taun kembali ke istana dan kami kembali ke hutan, ke laut, juga rimba.

Percaya, dusta, duka, murka, bualan, sudah kami kemas dalam sekotak harap. Kami beri nama luka, kelak jika dasi dan kacamata mu tak layak di pakai.

Kamu tak harus ambil harap yang kami sebut luka. Jangan suka-suka, kami tak ingin dusta. Biar saja kami yang luka, kau cukup buang muka lalu lelap di istana menunggu murka

Bth, 23/06/21

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun