Ketika nggak sanggup menahan kemarahan, terhadap anak-anak yang mengancam demikian saya berteriak, “Hai pribumi, ingat bapak elu kerja sama siapa? Tanya bapak elu, dia masih mau kerja nggak? Jangan blagu! Kalau bapak elu dipecat elu mau makan apa? Jangan adigung adiguna!”
Setelah dewasa, menghadapi ancaman demikian umumnya saya bertanya, “Bang kalau semua Cina minggat dari Indonesia elu mau kerja sama siapa? Elu mau pinjem duit tanpa bunga sama siapa? Elu pikir kalau nggak ada Cina elu bakal kaya-raya? Mimpi!”
Handai taulanku Tionghoa Indonesia sekalian, saya mengungkapkan fakta-fakta sejarah di atas untuk mengingatkan agar kita tetap konsisten bahwa para pendahulu kita datang ke negeri ini bukan untuk menjajah namun menjadi rakyatnya. Bukan untuk mengeruk segala kebaikan negeri ini namun untuk membangunnya sebagai kampung halaman. Mari kita membangun negeri ini dan menjaganya untuk diwariskan kepada anak cucu generasi ini.
Kerabatku sekalian orang-orang non Tionghoa. Empat penjuru lautan adalah saudara! Saya menceritakan kisah-kisah orang Tionghoa di atas bukan untuk mencari nama apalagi untuk mengagul-agulkan Tionghoa Indonesia namun untuk menunjukkan kepadamu bila engkau belum tahu bahwa dalam hal mengabdi negeri ini orang Tionghoa tidak setengah-setengah. Dalam hal bekerja membangun negeri ini orang Tionghoa tidak mengenal lelah. Namun kita adalah INDONESIA! Salam MERDEKA!
“Tanah yang memberi engkau makan adalah negerimu! Bangunlah! Rawatlah! Pertahankan, bila perlu dengan mengorbankan nyawamu! Rakyat negeri ini adalah orang sekampungmu. Rukunlah! Saling menjagalah!” Itulah amanat kakekku kepada ayahku yang diwariskan kepadaku. Engkau mau MERUSAK negeri ini? Langkahi dulu mayatku!
Jakarta, 17 Agustus 2015
bila aku mati hari ini
kutitipkan anak istriku
untuk dijaga bangsa ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H