Mohon tunggu...
Haihai Bengcu
Haihai Bengcu Mohon Tunggu... wiraswasta -

Hanya seorang Tionghoa Kristen yang mencoba untuk melakukan sebanyak mungkin hal benar. Saling MENULIS agar tidak saling MENISTA. Saling MEMAKI namun tidak saling MEMBENCI. Saling MENGISI agar semua BERISI. Saling MEMBINA agar sama-sama BIJAKSANA.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bukan Untuk Menjajah Namun Menjadi Rakyatnya

18 Agustus 2015   14:39 Diperbarui: 18 Agustus 2015   14:39 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain mengajarkan bahasa mandarin dan bahasa Inggris, sekolah Tionghoa Haktong juga mengajarkan bahasa Melayu. Orang-orang Bumi Putera tidak sekolah di sekolah Tionghoa Haktong bukan karena ditolak namun karena mereka tidak berminat. “Ada pendidikan tidak ada diskriminasi” adalah prinsip yang dipegang dan ditaati oleh sekolah-sekolah yang didirikan oleh Tionghoa sampai hari ini.

Mungkinkah sekolah Tionghoa Haktong yang menginspirasi Ki Hadjar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa pada Juli 1922? Mungkinkah pengajaran bahasa Melayu di sekolah Tionghoa Haktong dan penggunaan secara luas oleh orang-orang Tionghoa yang mendorong bahasa Melayu menjadi lingua franka (bahasa pergaulan) di Hindia Belanda? Saya tidak tahu.

Faktanya, sekolah Tionghoa Haktong membuat orang-orang Tionghoa melek huruf dan haus akan bacaan. Itu sebabnya penerbitan dan pers Tionghoa pun muncul di mana-mana. Pada tahun 1931 ada 31 koran Tionghoa berbahasa Melayu di Hindia Belanda. Faktanya selama kurun waktu 1870-1960 ada lebih dari 3.005 karya sastra Melayu Tionghoa dari 806 penulis Tionghoa. Baik jumlah penulis maupun tulisannya jauh di atas karya sastra penulis Bumi Putera.  Sastra Melayu Tionghoa tidak diakui sebagai sastra  Indonesia Modern karena ditulis oleh orang Tionghoa menggunakan bahasa Melayu Pasar. Yang diakui hanya tulisan-tulisan Bumi Putera dengan bahasa Melayu Tinggi.

Tionghoa Hweekwan juga membangkitkan semangat kebangsaan Tionghoa. Pada tahun 1902, karena kesal dengan perilaku serikat dagang Belanda (HVA - Handels Vereeniging Amsterdam) yang mau menang sendiri maka 80 orang pengusaha besar Tionghoa Hweekwan yang dipimpin oleh Tjo Sik Giok dan Tjo Tjie pun membuat kesepakatan dan mengajak semua pengusaha Tionghoa untuk melakukan aksi menolak berdagang dengan HVA.

Atas permintaan HVA beberapa bank mengirim surat ancaman tidak akan memberi kredit bila boikot tidak dihentikan. Atas permintaan HVA Asisten Resident Surabaya memberi perintah agar boikot dihentikan. Para pengusaha Tionghoa menganggap ancaman-ancaman demikian angin lalu.

Karena putus asa, HVA lalu membawa kasus tersebut ke pengadilan namun sayang mereka kalah sehingga harus membayar denda sebesar 25.000,- gulden pada tahun 1906. Para pengusaha Tionghoa lalu menyumbangkan uang tersebut untuk membangun Klenteng Boenbio.

Msekipun pihak Orde Baru berusaha menghapusnya dari sejarah namun faktanya: Wage Rudolf Supratman pencipta lagu Indonesia Raya adalah wartawan harian Sin Po, harian Tionghoa berbahasa Melayu yang meliput dan memberitakan serta mendukung kongres pemuda II. Dalam kongres pemuda II itulah lagu Indonesia Raya dinyanyikan pertama kalinya. Di dlam kongres itu pula untuk pertama kalinya Sumpah Pemuda diucapkan. Itu sebabnya kongres ersebut dikenal dengan nama Sumpah Pemuda 1928.

Lebih lanjut, Sumpah Pemuda 1928 dilaksanakan di rumah Sie Kong Liong, orang Tionghoa. Pemuda Tionghoa yang hadir dalam pertemuan itu mewakili Pemuda Tionghoa Hweekwan
adalah: John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie. Kehadiran Kwee Thiam Hiong sebagai wakil Jong Sumatranen Bond adalah bukti bahwa keterlibatan pemuda Tionghoa dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia tidak hanya terjadi di Batavia saja.

Perang Kemerdekaan adalah perang melawan Belanda dan Sekutu untuk mempertahankan kemerdekaan NKRI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Siapakah yang membiayai TNI dalam perang tersebut? Dari mana TNI mendapatkan uang untuk membeli senjata dan amunisi serta logistik? Meskipun Orde Baru menghapusnya dari sejarah namun faktanya orang-orang Tionghoa secara sukarela turut membiaya perang tersebut.

Hari ini 17 Agustus 2015. Indonesia sudah merdeka 70 tahun. Dalam hal pendidikan, setelah pemerintah, siapa yang memberi sumbangsih terbesar? Orang Tionghoalah yang paling banyak mendirikan sekolah dan universitas di Indonesia. Setelah pemerintah, orang Tionghoalah yang paling banyak mendirikan rumah sakit di Indonesia.  

Sejak Merdeka sampai sekarang, persentase jumlah orang Tionghoa Indonesia hampir tidak berubah yaitu sekitar 4%. Ketiga terbesar setelah orang Jawa dan Sunda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun