Perempuan remaja yang menyeret tubuhnya lemas. Membiarkan tubuhnya tersentuh sepi di setiap pojokan. Lelaki tidak heran. Ini bukan pemandangan baru.
Hanya saja yang biasa dilihatnya perempuan atau lelaki yang lebih tua. Mereka yang sudah tidak mampu bergerak cepat untuk menghindar dari sepi.
Namun kali ini perempuan remaja yang seharusnya masih gesit untuk menghindar. Diseruput teh manis panasnya sambil mengekor arah pergi si perempuan remaja.
Dengan malas perempuan remaja terus menapaki anak tangga yang panjang. Kini ia sudah di lantai 6. Kamar perempuan remaja ini sebenarnya ada di lantai 4. Lelaki dewasa menjaga jarak dan tetap memperhatikan di lantai berapa perempuan ini menetap.
Namun perempuan terus melangkah naik dan terus naik hingga membawa mereka di lantai 9. Bagian paling atas dari gedung ini.
Lelaki dewasa tidak percaya dengan yang terlihat di sekelilingnya. Ternyata ada sepi di atap gedung ini. Dia tidak pernah menyadari sejak kapan dan dari mana sepi masuk ke gedung ini.
Sesaat lelaki dewasa ingin segera kembali ke kamar karena terlalu banyak sepi yang terlihat di atas gedung. Perempuan remaja mulai berdiri di sisi gedung.
Semakin bergeser hingga samakin ujung. Jempol kakinya sudah melayang tidak menapak dasar. Berhadapan langsung dengan ketinggian.
“Tidak. Bukan Salahku.” gumam lelaki dewasa yang sudah bisa menebak yang mungkin akan terjadi pada perempuan remaja di beberapa menit kemudian.
Meski rasanya baru pertama kali ini lelaki dewasa telah melihat sendiri prosesnya sedari awal. Sekarang lelaki itu berdiri tegak dan tidak berharap banyak dengan yang terjadi sore itu.
Kemungkinan sudah 351 hari setiap pojok jalan dikuasai sepi. Setiap lelaki dan juga perempuan, yang remaja hingga dewasa bahkan tua, masih menahan diri untuk tidak berkenalan dengan sepi. Bahkan tidak pernah mendapatkan cerita dari mereka yang pernah terpeluk sepi.