Di hari tanpa ada tegangan terjadi. Sepi telah berkuasa di sudut-sudut jalan. Bersantai tanpa ada yang dinantikan. Bertegur sapa bukan menjadi yang harus dilakukan. Hanya berdiam. Menumpuk di setiap tikungan.
Lelaki dewasa menatap perempatan jalan yang penuh dengan sepi dari balik jendela. Mengintip sedikit sambil duduk di kursi. Sesekali menyeruput teh manis yang tadinya dibuat panas. Dahinya berkerut. Menatap dengan pasti segala sepi yang terlihat.
Mereka bukannya takut pada sepi yang berkeliaran di jalan. Hanya saja sudah banyak desas-desus yang terdengar tentang sepi.
Jika tersentuh oleh sepi, akan ada perubahan hidup terjadi. Katanya, ada yang terkena sepi dan kemudian mengurung diri di kamar. Tidak ingin bicara. Tidak selera makan. Hanya menetap di kamar. Hingga hidupnya selesai.
Beberapa orang memang ada yang sengaja hanya berdiam di dalam kamar. Meski masih sibuk. Masih mencuci. Bekerja. Bahkan olah raga. Bagi mereka yang fasilitas kamarnya lengkap tentu akan merasa cukup hanya berdiam di dalam kamar.
Namun beberapa dari mereka merasa tetap perlu pergi keluar dari kamarnya. Kemudian bersiap menghadapi risiko untuk berhadapan dengan sepi.
Seorang perempuan remaja memaksa diri untuk pergi ke taman hiburan. Perjalanan dari kamar hingga tiba di taman hiburan bisa dilewati dengan lancar.
Tiada sepi yang menyentuh dirinya. Hingga kemudian perempuan remaja ini terlalu takut untuk terus melangkah lebih jauh untuk masuk ke taman hiburan. Dipandangnya sepi yang berdesakan di setiap sisi dan sudut taman hiburan. Seperti tidak ada ruang bagi dirinya untuk masuk tanpa tersentuh sepi.
Tidak ada pilihan lain. Tekadnya sudah mantap. “Aku butuh hiburan ini. Aku akan masuk.” gumamnya dalam pikiran. Perempuan nekat berjalan menerobos masuk ke dalam taman hiburan. Kemudian bertabrakan dengan sepi.
Lelaki dewasa masih menatap perempatan jalan. Salah satu kegiatan yang menjadi wajib bagi dirinya untuk menjaga kesehatan pikiran. Kali ini lelaki mendapati pemandangan menarik.
Perempuan remaja yang menyeret tubuhnya lemas. Membiarkan tubuhnya tersentuh sepi di setiap pojokan. Lelaki tidak heran. Ini bukan pemandangan baru.
Hanya saja yang biasa dilihatnya perempuan atau lelaki yang lebih tua. Mereka yang sudah tidak mampu bergerak cepat untuk menghindar dari sepi.
Namun kali ini perempuan remaja yang seharusnya masih gesit untuk menghindar. Diseruput teh manis panasnya sambil mengekor arah pergi si perempuan remaja.
Dengan malas perempuan remaja terus menapaki anak tangga yang panjang. Kini ia sudah di lantai 6. Kamar perempuan remaja ini sebenarnya ada di lantai 4. Lelaki dewasa menjaga jarak dan tetap memperhatikan di lantai berapa perempuan ini menetap.
Namun perempuan terus melangkah naik dan terus naik hingga membawa mereka di lantai 9. Bagian paling atas dari gedung ini.
Lelaki dewasa tidak percaya dengan yang terlihat di sekelilingnya. Ternyata ada sepi di atap gedung ini. Dia tidak pernah menyadari sejak kapan dan dari mana sepi masuk ke gedung ini.
Sesaat lelaki dewasa ingin segera kembali ke kamar karena terlalu banyak sepi yang terlihat di atas gedung. Perempuan remaja mulai berdiri di sisi gedung.
Semakin bergeser hingga samakin ujung. Jempol kakinya sudah melayang tidak menapak dasar. Berhadapan langsung dengan ketinggian.
“Tidak. Bukan Salahku.” gumam lelaki dewasa yang sudah bisa menebak yang mungkin akan terjadi pada perempuan remaja di beberapa menit kemudian.
Meski rasanya baru pertama kali ini lelaki dewasa telah melihat sendiri prosesnya sedari awal. Sekarang lelaki itu berdiri tegak dan tidak berharap banyak dengan yang terjadi sore itu.
Kemungkinan sudah 351 hari setiap pojok jalan dikuasai sepi. Setiap lelaki dan juga perempuan, yang remaja hingga dewasa bahkan tua, masih menahan diri untuk tidak berkenalan dengan sepi. Bahkan tidak pernah mendapatkan cerita dari mereka yang pernah terpeluk sepi.
Memang ada yang mati di kamar. Ada yang bersikeras melompat dari ketinggian. Banyak yang hilang tak berkabar.
Lelaki dewasa merasa jenuh dengan kenyamanan. Hingga merasa ingin ke taman hiburan. Tanpa pikir panjang ia berjalan menyusuri pedestrian. Terkadang sedikit berlari menghindari dari para sepi. Lelaki Dewasa pun tiba di taman hiburan dengan mata yang melotot dan mulut terbuka lebar.
Taman hiburan penuh dengan sepi. Tiada ruang lagi untuk masuk ke dalam. Kecuali berdesakan dengan sepi.
Andai saja setiap sepi adalah kawan. Maka tidak ada rasa khawatir untuk masuk ke dalam. “Aku tidak takut. Aku tidak percaya dengan ini semua. Apakah aku memang harus segera masuk?” lelaki dewasa memikirkan rencananya.
Selagi matahari sudah membumi setengahnya. Lelaki dewasa hanya terduduk di depan toko yang tutup. Memikirkan kembali yang ingin dilakukannya. “Apakah aku pernah tidak bahagia? Kenapa aku harus pegi ke taman hiburan?”
Lelaki dewasa jelas mengingat 360 hari telah berlalu semenjak sepi menguasai setiap pojok jalan. “Aku nyaman. Meski sepi berada di sekitaran.”
Ia hanya berpikir bahwa memang tak banyak yang dilakukan. Selain minum teh manis hangat di sofa empuknya. Dengan film-film produksi lawas yang disetel berulang. Kerja jarak jauh yang tidak membuatnya tertekan. Mungkin baginya cukup.
“Tapi kenapa aku harus pergi ke taman hiburan?” pertanyaan berulang lelaki dewasa yang membuatnya penasaran.
Ternyata langit mulai membiru setelah ia sadar dari tertidurnya. Masih di tempat yang sama. Lagi pula toko ini pasti tidak akan buka juga.
Sedikit diintipnya taman hiburan di seberang. Dilihatnya masih menumpuk sepi di sana. Ia hilang nyali. Tapi belum ingin pergi.
Sekali lagi tidak ada yang bisa menghentikannya. Menurutnya. Sesaat lelaki dewasa ini yakin untuk masuk ke tamah hiburan.
Pada saat itu lah cerita tentang sepi telah selesai. Sepi pasti tetap berkeliaran di sekitaran. Namun semua tergantung lelaki dewasa dan perempuan remaja yang berada di dalam cerita siapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H