Kartini menggendong mayat bayi dengan jarik yang terikat di pundak. Tak seorang pun menyadari perempuan itu menaiki kapal bersama jenazah di dalam buaiannya. Begitu juga Minar, anak Kartini yang terus memegangi ujung jarik, tak tahu adiknya sudah mati pagi tadi. Keduanya menumpang kapal yang hendak membawa mereka ke pulau.
Belum lagi 1 jam di ruang tunggu pelabuhan, Kartini merasakan seperti berhari-hari menanggung beban yang tak cuma di pundak. Rasa nyeri di ulu hati semakin menjadi, dan kini suaranya parau karena asam naik hingga kerongkongan.
"Jangan kau lepas jarik mamak, Minar. Jangan menjauh dari mamak," serak suara Kartini.
Nyaris tak terdengar oleh Minar saat bersamaan bunyi peluit bersipongang di kejauhan. Penanda kapal yang sebentar lagi akan mereka tumpangi itu merapat di dermaga. Kendaraan dan orang kemudian akan keluar dari buritan dengan wajah berseri menginjakkan kaki di kota pelabuhan.
Tapi tidak bagi Kar yang hendak kembali ke pulau dengan badai bergemuruh di dadanya. Bayinya harus dibawa ke kampung halaman untuk dimakamkan besok sore. Di kota, dia tak punya siapa-siapa lagi setelah Supar suaminya tewas ditabrak truk saat mendorong gerobak nasi goreng, tiga bulan lalu.
Sepeninggal suaminya, Kartini merasa asing sendirian di tanah rantau. Perempuan itu semula berencana pulang ke rumah orangtuanya menunggu habis masa sewa bilik yang mereka huni. Tapi musibah membuat banyak hal berubah.
Apa lagi yang mesti diperjuangkan perempuan seorang diri di tengah kehidupan kota dengan pengalaman hidup yang terlampau getir? Para perempuan tak benar-benar kuat menelan pahitnya kehidupan. Kartini akan kembali pada ayahnya di pulau, atau siapapun saudara laki-lakinya.
Seharian ini Kartini berpikir keras mendapatkan uang, agar bisa membawa bayinya naik kapal dengan kargo jenazah. Hingga menjelang sore, tak cukup uang menyeberangkan bayinya dengan layak.
Kar pernah mendengar cerita orang yang membawa mayat dengan jarum infus yang masih tertanam di pembuluh darah. Keluarga bermaksud merahasiakan orang mati yang dinaikkan di kapal dengan menyaru sebagai pasien rumah sakit yang baru sembuh.
Bukankah orang mati tak bisa menilai perlakuan pada jasadnya yang telah kaku? Hanya orang-orang yang masih hidup akan dihantui penilaian diri sendiri atas perlakuan mereka pada orang yang sudah meninggal. Seperti Kartini yang tak henti menyesali perbuatan pada bayi di gendongannya. Betapa senandung nina bobo dari bibirnya terdengar sumbang di telinganya sendiri.
Dheeennggg....!!
Nyaring bunyi ramp door yang bertumbuk dengan besi dinding buritan kapal. Membuyarkan lamunan Kartini. Dia harus bergegas menuju geladak yang dicapai lewat tangga tegak setelah melintasi palka di lambung kapal yang penuh kendaraan. Tak sadar tangan Kartini menutup hidung dan mulut bayinya, sewaktu lewat di ruangan besar yang pengap itu. Sama seperti ketika mengalunkan nina bobo di ruang tunggu petang tadi.
Menjelang malam, air laut yang datar memantulkan bayangan lurus mengarah ke bulan. Sebuah bidang mangata, yaitu seberkas bayangan semburat jingga purnama di permukaan air yang membentuk lajur seperti jalan setapak. Cahaya putih berpendaran dipadu super pink moon di sepanjang mangata, menggugah ilusi meniti jalan menuju bulan.
Super pink moon adalah penamaan untuk menyebut fenomena super moon yang terjadi pada bulan April.
"Mak, aku kedinginan di sini. Aku mau di dalam, adek juga pasti dingin...," kata Minar menunjuk kabin penumpang.
Sebelumnya seorang penumpang juga menegur Kartini agar tak berada di geladak dengan bayi dalam gendongannya. Bukan tanpa alasan Kar tak mau masuk ke aula penumpang, orang-orang yang berada di dekatnya pasti akan mengobrol dan bertanya perihal bayi yang digendong. Siapa yang tahan tak berbincang dalam perjalanan 6 jam.
Sejak di ruang tunggu pelabuhan, Kartini tak mengerti apakah dirinya dalam keadaan sadar membisikkan nina bobo untuk bayinya. Ataukah sekadar ingin terlihat wajar agar tak terpergok menggendong jenazah. Pada akhirnya dia terus saja memperlakukan bayinya seakan-akan tak terjadi apa-apa.
Apalagi dia membawa pula perlengkapan bayi yang dibeli Supar jauh sebelum bayi mereka lahir. Pada Minar dia meminta mencarikan topi rajutan benang wol di tas untuk dikenakan di kepala bayinya. Untung saja Kar tak keterusan membalur perut bayinya dengan minyak telon.
"Mak aku mau di dalam," pinta Minar lagi.
Kartini menuruti Minar. Nanti juga bisa berpindah-pindah tempat di dalam kabin, begitu pikirnya. Mereka bisa pula lesehan di lantai kabin tanpa perlu berebut kursi. Orang-orang beradu cepat mendapat kursi, tapi selalu saja ada orang lain berbuat curang dengan berselonjor di kursi yang merebut hak orang lain.
Benar saja, seorang perempuan bertubuh gemuk menumpangkan sebelah kaki di kursi. Memijat-mijat ibu jari kakinya dengan wajah meringis. Membuat segan orang lain meminta kursi yang diduduki sebelah kaki wanita itu. Meskipun ada juga penumpang yang berbisik-bisik ingin protes, lainnya memaklumi. Asam urat memang tak kenal kompromi.
Tapi Kartini tak ambil pusing, malah berharap semua kursi penuh agar tak ada orang yang menyilakan duduk di dekat mereka. Kalau saja dia duduk di antara penumpang lain, sebentar kemudian akan ada yang meminta menggendong bayinya. Lalu, "Anak ciaaapa ini, anak ciapa cih ini, cantiknyaaaa...."
Sudah pasti seisi kapal gempar.Â
Kar kemudian memilih duduk di lantai, di pojokan antara sisi belakang kolong kursi dan dinding besi kabin. Minar tiduran di lantai beralas selimut. Bayinya, terus dalam dekapan Kar. Tak tega diletakkan di lantai, sejauh manapun perjalanan yang dilalui.
Di ruangan besar itu orang-orang riuh berbincang mengenai apa saja. Sekelompok penumpang serius berdebat di kursi yang sisi belakang sandarannya dijadikan Kar untuk menopang kepalanya. Mereka membicarakan masalah-masalah yang terdengar seperti perbincangan orang-orang di televisi.
"Demokrasi kita maju sekarang, pemilu kita maju. Banyak perempuan jadi wakil rakyat. Itu berkat Undang-undang Pemilu yang mewajibkan parpol mengajukan sedikitnya 30 persen Caleg perempuan di satu Dapil," ujar wanita paruh baya yang ingin terlihat seperti gadis belia dengan dandanannya.
"Ibu beruntung, sekali nyaleg langsung dapet jadi anggota DPRD. Ada yang sudah empat kali nyaleg tapi nggak dapet-dapet. Padahal dia termasuk orang yang paham problem, punya gagasan. Tapi begitulah, mungkin dia tak ada nasib, he... he....," laki-laki muda menimpali.
"Yaaahh... penampilan harus menarik dong biar dipilih, terus kamu juga harus punya cuan. Soal partaimu mau apa aja, sama saja, partai sekarang kan ndak penting, yang penting orangnya....," balasnya memperlihatkan gaya orang-orang yang selalu dikelilingi banyak orang.
"Heemmm, enggak begitu juga kali, Bu. Tapi aku sebenarnya cuma mau bilang soal 30 persen itu, saya sih kurang setuju," kata laki-laki muda itu lagi.
"Kamu ini kok antikesetaraan gender sih, apanya yang kau tak setujui, hei....?"
Laki-laki muda itu melengos, bersamaan dengan Kartini yang menoleh mencari celah di antara sandaran kursi, berusaha melihat wajah orang-orang yang berbicara. Mungkin Kar penasaran dengan raut muka perempuan pejabat yang suaranya barusan didengar.
"Apa yang kau tak setujui...?" kejar wanita wakil rakyat itu lagi.
Kartini urung mengintip. Dia memperhatikan wajah bayinya dalam-dalam, merasakan sekujur bayinya semakin dingin. Air mata perempuan itu meleleh di pipi, menetes di wajah bayi. Kar mengusap pipinya dan pipi bayinya dengan ujung jarik.
Laki-laki muda itu mengusap-usap dagunya.
"Begini Bu menurut aku, persoalannya bukan seberapa banyak perempuan yang bisa ikut berkiprah di semua aspek kehidupan kita. Tapi seberapa luas jangkauan kebijakan yang memihak kaum perempuan. Tak soal apakah kebijakan yang membela perempuan itu diciptakan perempuan atau bahkan laki-laki. Lagi pula dikotomi gender itu sudah kehilangan substansi...," kata laki-laki muda.
"Ah, kau antiperempuan...!" balas wanita Anggota DPRD.
"Gini ya Bu. Soal-soal yang sederhana saja, kalau pemerintah kita tidak menyelenggarakan fasilitas transportasi publik yang memadai, itu sama saja tidak memihak kepentingan perempuan, tidak peka kesetaraan gender."
"Waduh... waduh.... Jangan ngawur anak muda. Apa hubungannya coba, transportasi publik sama kesetaraan gender...," wanita anggota dewan cekikikan.
Laki-laki muda tersenyum, semakin bersemangat memaparkan pendapatnya. Sebuah riset kecil pernah dia lakukan, katanya pada semua yang mendengarkan. Yakni mengenai sepeda motor yang biasanya hanya satu unit dalam sebuah keluarga. Motor akan digunakan setiap hari oleh ayah untuk pergi dan pulang kerja. Lantas ibu dalam keluarga itu menggunakan apa untuk bepergian?
Padahal ibu-ibu punya aktivitas tak sedikit di luar rumah. Mulai dari pergi ke pasar dan pulang dari pasar, antar jemput anak sekolah, antar jemput anak les mapel, sampai menemani anak ikut ekskul wajib di sekolah.
"Kalau transportasi umum tak memadai, apalagi tak ada sarana transportasi umum di satu kota, apakah itu membela kepentingan perempuan...?"
"Nah sekarang menurut ibu, kebijakan seperti itu harus selalu diurus oleh perempuan? Saya bukan antikesetaraan peran perempuan dan laki-laki, tapi kita telah kehilangan substansi mengenai hal itu. Kita cuma fokus pada perbedaan jenis kelamin aktor-aktor pembuat kebijakan, bukan kepada dampak dari kebijakan untuk perempuan..."
"Satu hal lagi Bu, apakah pernah terpikir oleh ibu meminta pemerintah agar memaksa semua perusahaan seperti operator kapal feri ini menyediakan fasilitas untuk perempuan, seperti ruang menyusui? Fasilitas yang sama di banyak mall, di taman-taman kota...?"
"Tadi saya melihat perempuan-perempuan menggendong bayi mereka di kapal ini. Ada yang menyusui bayinya di tangga menuju palka karena di sana sepi penumpang...."
Kartini mengernyit, apakah dirinya yang dibicarakan. Tak mungkin Kar menyusui bayinya yang sunyi dalam dekapannya. Bayi itu tak memerlukan air susu ibunya lagi, tak lagi menangis, tak lagi perlu digantikan popok, tak lagi menginginkan senandung nina bobo, bahkan tak perlu lagi dibuai dalam gendongan kain jarik usang.
Kartini hanya perlu agar mereka tiba di kampung halaman. Pulang pada ayah dan saudara laki-lakinya setelah Supar tiada. Semerdeka apa perempuan yang bisa disebut wanita mandiri, sementara dirinya laksana biduk patah cadik.
Apakah dirinya layak masuk barisan perempuan-perempuan mandiri yang hendak dicapai para pejuang kesetaraan? Perempuan yang tak sedikit pun tergantung pada laki-laki. Perempuan yang menyembunyikan kodrat mereka akibat semangat kesetaraan yang meluap-luap?
Orang-orang tak mendengar bunyi gemuruh di dada Kartini. Begitu pula, dari dalam kapal besar itu, mereka tak menyadari mangata yang makin jelas membentang di permukaan laut yang sentausa.
Kartini melihatnya sejak menaiki kapal menuju pulau yang kini semakin dekat. Sebentar lagi dia akan menapak jalan menuju bulan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H