"Tadi saya melihat perempuan-perempuan menggendong bayi mereka di kapal ini. Ada yang menyusui bayinya di tangga menuju palka karena di sana sepi penumpang...."
Kartini mengernyit, apakah dirinya yang dibicarakan. Tak mungkin Kar menyusui bayinya yang sunyi dalam dekapannya. Bayi itu tak memerlukan air susu ibunya lagi, tak lagi menangis, tak lagi perlu digantikan popok, tak lagi menginginkan senandung nina bobo, bahkan tak perlu lagi dibuai dalam gendongan kain jarik usang.
Kartini hanya perlu agar mereka tiba di kampung halaman. Pulang pada ayah dan saudara laki-lakinya setelah Supar tiada. Semerdeka apa perempuan yang bisa disebut wanita mandiri, sementara dirinya laksana biduk patah cadik.
Apakah dirinya layak masuk barisan perempuan-perempuan mandiri yang hendak dicapai para pejuang kesetaraan? Perempuan yang tak sedikit pun tergantung pada laki-laki. Perempuan yang menyembunyikan kodrat mereka akibat semangat kesetaraan yang meluap-luap?
Orang-orang tak mendengar bunyi gemuruh di dada Kartini. Begitu pula, dari dalam kapal besar itu, mereka tak menyadari mangata yang makin jelas membentang di permukaan laut yang sentausa.
Kartini melihatnya sejak menaiki kapal menuju pulau yang kini semakin dekat. Sebentar lagi dia akan menapak jalan menuju bulan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H