Tak sudah penduduk dusun Sau menggunjing Sekar istri Rawi. Tak sehari berlalu dari memperbincangkan Sekar sejak diboyong Rawi ke dusun itu tiga bulan lalu. Jangankan para perempuan yang sehari-hari tak luput membicarakan orang lain, kaum laki-laki sekalipun ikut menggunjing. Semua terpesona oleh kecantikan Sekar dan memandang ganjil pada Rawi.
Aduhai betapa molek tubuh Sekar dan elok wajahnya. Laksana cahaya purnama yang menerpa bentang alam perdesaan. Cahaya yang membuat mata menangkap lebih dalam lekuk lanskap malam. Oh, betapa nyaris sempurna semua yang ada pada Sekar.
Pipinya merona, menjadi latar gambar lekuk hidung Sekar yang timbul sempurna di wajahnya. Oreng di bawah hidung seakan-akan menjadi gantungan pigura bagi lukisan bibir Sekar yang mengembang sempurna. Sama memukaunya bibir Sekar sewaktu mengatup ataupun membuka.
Kedua lengannya yang lurus berisi, terlihat seperti tumbuh dari horison bahu yang seimbang. Kulitnya putih bersih bak mutiara. Pinggulnya? Amboi, semua laki-laki dan perempuan tahu cara melukiskan keindahannya. Sekar lebih mirip bidadari ketimbang perempuan biasa yang menjadi istri seseorang.
Orang-orang menggunjing tak henti, mereka membandingkan Rawi dan Sekar. Jauh panggang dari api, kata Gisah pada Yumnah. Gisah yang semula hendak beranjak dari warung Yumnah, urung berlalu manakala Yumnah menanggapi obrolannya. Keduanya sahut-menyahut, mulut mereka menjalar ke mana-mana.
"Apa yang dilakukan Rawi sampai dapat perempuan secantik itu...?" ujar Yumnah nyinyir mengulang-ulang perkataan penduduk dusun selama ini.
"He, apa kau tahu sudah sebulan ini Rawi tak terlihat di kebun? Dari mana Sekar dapat uang pergi belanja ke kota, beli belasan kilo daging sapi di pasar. Nipah melihat Sekar belanja di lapak daging Haji Derip, kata Nipah, Rawi mau ruwah, entah apa hajatan mereka...," kata Gisah.
Tentu saja orang-orang bertanya-tanya. Bekerja sepanjang tahun pun Rawi tetap miskin. Ditambah pula sudah sebulan tak bekerja.
Sejak usianya 14 tahun, Rawi bekerja jadi buruh petik kopi di areal perkebunan milik orang yang tinggal entah di mana. Menggantikan ibunya yang telah tiada. Ibundanya ditemukan tewas di kebun kopi dengan kedua tangan putus akibat ditebas parang. Menurut desas-desus, ibunda Rawi melawan sewaktu hendak diperkosa bos pemilik areal kopi. Tak ada saksi, tak ada bukti, kisah itu lenyap ditelan keheningan kebun kopi yang sangat luas.
Hamparan perkebunan kopi itu sejauh mata memandang. Sebagian kecil areal masuk wilayah dusun Sau di kaki gunung. Sau berada di dataran tinggi sekitar 1.300 meter dari permukaan laut, membuat tempat itu sejuk sepanjang tahun.