Setelah menyadari kesalahannya, Maya segera menutup folder tersebut dan tidak pernah membicarakan hal itu kepada siapapun. Namun, perasaan bersalah terus menghantuinya. Ia takut jika ada yang mengetahui apa yang telah ia lakukan, meskipun ia tidak bermaksud jahat.
Kini, dengan pesan dari Bima, ketakutannya seolah menjadi kenyataan. Tapi bagaimana Bima bisa tahu? Apakah dia juga terlibat?
Maya tidak bisa membiarkan dirinya terjebak dalam ketakutan lebih lama lagi. Ia harus mencari tahu kebenarannya. Dengan tekad yang bulat, Maya mengetik pesan terakhir untuk Bima.
"Kita perlu bicara. Bertemu di taman belakang sekolah besok pagi."
Pesan itu terkirim, dan Maya menutup laptopnya. Malam itu, ia tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan tentang apa yang mungkin terjadi besok terus mengganggu pikirannya.
Keesokan paginya, Maya pergi ke sekolah lebih awal dari biasanya. Langkah kakinya terasa berat, seolah setiap langkah membawanya semakin dekat pada sebuah kehancuran. Ketika ia tiba di taman belakang sekolah, ia melihat Bima sudah menunggunya di sana. Bima tersenyum, tapi senyum itu terlihat aneh di mata Maya.
"Maya, aku tidak akan membocorkan rahasia kamu. Tapi aku butuh bantuanmu," kata Bima tanpa basa-basi.
Maya tertegun. Bima ternyata tidak bermaksud mengancamnya, tapi apa maksudnya dengan 'butuh bantuan'?
"Aku juga tahu tentang folder itu," lanjut Bima, "Dan aku tahu bahwa ada yang lebih besar dari sekedar data guru. Ada sesuatu yang janggal di sekolah ini, dan aku butuh seseorang yang pintar seperti kamu untuk membantuku mengungkapnya."
Maya tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Bima, si anak populer, ternyata mengetahui sesuatu yang lebih besar. Ketakutannya perlahan berubah menjadi rasa ingin tahu.
"Apa yang kamu temukan?" tanya Maya akhirnya.