Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar Walillahilhamd
Iringan takbir tadi pagi, menandai masuknya hari raya Idul Adha atau dikenal juga sebagai Idul Qurban. Setelah salat Ied hingga tiga hari ke depan, ribuan muslim dari seluruh tanah air melaksanakan ibadah kurban, termasuk juga di kampung halaman saya, Kerinci.Â
Di Kerinci, masyarakat kebanyakan menjadikan sapi atau kerbau sebagai hewan kurban. Jarang sekali yang menggunakan kambing atau domba. Hal ini karena daging kambing lebih susah diolah serta bau "prengus" (atau dalam bahasa Kerinci disebut bau "angit") yang dihasilkannya.Â
Sesuai kebiasaan umat Islam di sini, seekor sapi diperuntukkan bagi tujuh orang yang melakukan ibadah kurban. Sedangkan seekor kambing/domba hanya diperuntukkan bagi satu orang saja. Oleh karenanya, bila ada tujuh orang kerabat atau tetangga yang beribadah kurban, bisa-bisa kami mendapat jatah daging kurban dari masing-masing mereka.Â
Akibatnya, daging kurban terlalu banyak dan tidak bisa diolah langsung pada hari itu juga. Apalagi sebelum hari raya, di sini juga ada tradisi "megang" dan "babuko petang" Â untuk menyambut hari raya haji di mana masyarakat telah lebih dulu membeli daging untuk dimasak sehari sebelum lebaran.Â
Jumlah daging kurban yang berlebih tentu sangat disayangkan bila rusak atau busuk begitu saja tanpa diolah. Bagi yang mampu dan punya lemari pendingin, mereka bisa mengawetkannya dengan teknik pembekuan, itupun hanya bisa bertahan beberapa hari saja.Â
Meskipun demikian, banyak yang lebih memilih untuk mengawetkan daging secara tradisional yaitu dengan menggunakan teknik pengeringan/pengasapan.Â
Caranya sangat mudah, daging kurban (atau disebut dengan istilah bantai) diiris  tipis dengan bentuk yang agak memanjang -- daging kurban tersebut sebaiknya tidak dicuci dulu-- daging iris tersebut kemudian dicampur dengan sedikit garam dapur.Â
Berikutnya, daging-daging tersebut ditusuk pada bilah bambu dan dijemur pada terik matahari seharian. Setelah itu, daging tersebut diasapi hingga benar-benar kering sehingga warnanya berubah menjadi kehitaman.Â
Bagi orang Kerinci yang masih menggunakan dapur tradisional, daging kurban umumnya digantung di atas perapian (istilah Kerinci para-para atau paho).Â
Daging yang telah diasapi secara sempurna ini dapat bertahan hingga berbulan-bulan. Contohnya saja, daging yang diawetkan pada Idul Fitri kemarin, kami masih dapat mengolahnya pada hari raya Idul Adha. Biasanya daging kering tersebut digoreng kembali kemudian dimasak dengan sambal lado disertai dengan kentang goreng.
Ada lagi olahan daging kering atau bantai kering yang lebih tradisional. Daging kering tersebut dibakar di atas bara api sebentar kemudian digiling dengan kemiri, sedikit garam, dan cabe hingga bentuknya seperti abon. Kami menyebut olahan daging ini dengan "cabe bantai khing". Rasanya sangat enak  bila dimakan dengan lalapan sayur.
Selain dapat bertahan lebih lama, teknik pengasapan ini juga menghasilkan daging sapi dengan rasa yang lebih khas, serta dapat diolah kapan saja sesuai dengan keinginan kita. Tentu tidak akan enak lagi rasanya, bila mengonsumsi daging secara terus menerus seminggu ke depan karena ketersediaanya yang melimpah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H