Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cara Tradisional Mengawetkan Daging Kurban

11 Agustus 2019   21:08 Diperbarui: 13 Agustus 2019   13:31 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar Walillahilhamd

Iringan takbir tadi pagi, menandai masuknya hari raya Idul Adha atau dikenal juga sebagai Idul Qurban. Setelah salat Ied hingga tiga hari ke depan, ribuan muslim dari seluruh tanah air melaksanakan ibadah kurban, termasuk juga di kampung halaman saya, Kerinci. 

Di Kerinci, masyarakat kebanyakan menjadikan sapi atau kerbau sebagai hewan kurban. Jarang sekali yang menggunakan kambing atau domba. Hal ini karena daging kambing lebih susah diolah serta bau "prengus" (atau dalam bahasa Kerinci disebut bau "angit") yang dihasilkannya. 

Sesuai kebiasaan umat Islam di sini, seekor sapi diperuntukkan bagi tujuh orang yang melakukan ibadah kurban. Sedangkan seekor kambing/domba hanya diperuntukkan bagi satu orang saja. Oleh karenanya, bila ada tujuh orang kerabat atau tetangga yang beribadah kurban, bisa-bisa kami mendapat jatah daging kurban dari masing-masing mereka. 

Akibatnya, daging kurban terlalu banyak dan tidak bisa diolah langsung pada hari itu juga. Apalagi sebelum hari raya, di sini juga ada tradisi "megang" dan "babuko petang"  untuk menyambut hari raya haji di mana masyarakat telah lebih dulu membeli daging untuk dimasak sehari sebelum lebaran. 

Jumlah daging kurban yang berlebih tentu sangat disayangkan bila rusak atau busuk begitu saja tanpa diolah. Bagi yang mampu dan punya lemari pendingin, mereka bisa mengawetkannya dengan teknik pembekuan, itupun hanya bisa bertahan beberapa hari saja. 

Meskipun demikian, banyak yang lebih memilih untuk mengawetkan daging secara tradisional yaitu dengan menggunakan teknik pengeringan/pengasapan. 

Caranya sangat mudah, daging kurban (atau disebut dengan istilah bantai) diiris  tipis dengan bentuk yang agak memanjang -- daging kurban tersebut sebaiknya tidak dicuci dulu-- daging iris tersebut kemudian dicampur dengan sedikit garam dapur. 

Daging diiris tipis dalam bentuk agak memanjang. Dokpri
Daging diiris tipis dalam bentuk agak memanjang. Dokpri

Berikutnya, daging-daging tersebut ditusuk pada bilah bambu dan dijemur pada terik matahari seharian. Setelah itu, daging tersebut diasapi hingga benar-benar kering sehingga warnanya berubah menjadi kehitaman. 

Irisan daging yang telah ditusuk bilah bambu. Dokpri
Irisan daging yang telah ditusuk bilah bambu. Dokpri

Bagi orang Kerinci yang masih menggunakan dapur tradisional, daging kurban umumnya digantung di atas perapian (istilah Kerinci para-para atau paho). 

Daging yang telah diasapi secara sempurna ini dapat bertahan hingga berbulan-bulan. Contohnya saja, daging yang diawetkan pada Idul Fitri kemarin, kami masih dapat mengolahnya pada hari raya Idul Adha. Biasanya daging kering tersebut digoreng kembali kemudian dimasak dengan sambal lado disertai dengan kentang goreng.

Sambal daging kering dengan kentang goreng. Dokpri
Sambal daging kering dengan kentang goreng. Dokpri

Ada lagi olahan daging kering atau bantai kering yang lebih tradisional. Daging kering tersebut dibakar di atas bara api sebentar kemudian digiling dengan kemiri, sedikit garam, dan cabe hingga bentuknya seperti abon. Kami menyebut olahan daging ini dengan "cabe bantai khing". Rasanya sangat enak  bila dimakan dengan lalapan sayur.

Selain dapat bertahan lebih lama, teknik pengasapan ini juga menghasilkan daging sapi dengan rasa yang lebih khas, serta dapat diolah kapan saja sesuai dengan keinginan kita. Tentu tidak akan enak lagi rasanya, bila mengonsumsi daging secara terus menerus seminggu ke depan karena ketersediaanya yang melimpah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun