Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hati-hati Memilih Diksi, Oh Sukmawati

3 April 2018   15:30 Diperbarui: 5 April 2018   13:51 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi menutup/membungkus rambut dalam bingkai tradisi wanita Dayak, wanita Karo dan wanita Mandailing (dari berbagai sumber melalui penelusuran google)

"Aku tak tahu Syariat Islam 
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah 
Lebih cantik dari cadar dirimu 

Gerai tekukan rambutnya suci 
Sesuci kain pembungkus ujudmu 
Rasa ciptanya sangatlah beraneka 
Menyatu dengan kodrat alam sekitar

Jari jemarinya berbau getah hutan 
Peluh tersentuh angin laut"

Bait-bait puisi nan indah memang, tapi siapa sangka di dalam bait itu terkandung pisau yang makin mengoyak tenunan kebhinnekaan bangsa. Maka tak salah sebuah pepatah yang berbunyi "lidah lebih tajam dari sebuah pedang". 

Memanglah puisi adalah sebuah karya sastra, lahir dari sebuah ekspresi seni seorang sastrawan. Tetapi, puisi bukan sebuah untaian kalimat kosong tanpa makna. 

Tidaklah salah seorang sastrawan menciptakan puisi, tapi puisi tersebut mestinya mengandung makna indah, mendamaikan dan menyejukkan. Tak seperti puisi yang telah disampaikan di atas. 

Jika kita telisik makna puisi di atas jelas sekali isinya mempertentangkan dua hal. Dalam perpektif Si pencipta puisi, berkonde dan berambut  terurai lebih cantik, lebih indah serta merupakan pure ciri "ibu" Indonesia, daripada cadar dan hijab (kain pembungkus ujud?). Tentu saja, puisi ini menimbulkan kontra di tengah khalayak. Soalnya hijab dan cadar merupakan bagian dari tradisi, hukum dan bahkan simbol Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Di sisi lain tampaknya, si pencipta puisi menganggap bahwa menutup rambut dan bercadar bukanlah tradisi dan budaya dari ibu Indonesia.

Bagi saya berkonde, bersanggul, berhijab atau istilah lainnya "membungkus/menutupi rambut", semuanya adalah bagian dari budaya bangsa yang tak patut untuk dipertentangkan, mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk. Menganggap salah satu lebih buruk, sama halnya menolaknya sebagai salah satu kebudayaan bangsa. 

Tak semua para ibu dalam  berbagai budaya etnis di Indonesia, mempratikkan tradisi menggeraikan ataupun memperlihatkan rambutnya di muka umum. Hal ini dikarenakam memperlihatkan rambut di muka umum dianggap sebagai prilaku ketidaksopanan.

Tradisi menutup/membungkus rambut dalam bingkai tradisi wanita Dayak, wanita Karo dan wanita Mandailing (dari berbagai sumber melalui penelusuran google)
Tradisi menutup/membungkus rambut dalam bingkai tradisi wanita Dayak, wanita Karo dan wanita Mandailing (dari berbagai sumber melalui penelusuran google)
Masuknya Islam dengan ajaran menutup aurat bagi penganutnya turut memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia terutama dalam tata cara berbusana. Tradisi menutupi rambut makin langgeng dalam tradisi beberapa etnis.

 Etnis Melayu dan Minangkabau misalnya, dalam istilah lokal pembungkus/penutup rambut bagi wanita lazim disebut dengan istilah tingkuluk atau tikuluak.Namun sayangnya, kekayaan budaya kelompok etnis minoritas seringkali diabaikan sebagaimana yang tergambar dalam puisi di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun