"Aku tak tahu Syariat IslamÂ
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indahÂ
Lebih cantik dari cadar dirimuÂ
Gerai tekukan rambutnya suciÂ
Sesuci kain pembungkus ujudmuÂ
Rasa ciptanya sangatlah beranekaÂ
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutanÂ
Peluh tersentuh angin laut"
Bait-bait puisi nan indah memang, tapi siapa sangka di dalam bait itu terkandung pisau yang makin mengoyak tenunan kebhinnekaan bangsa. Maka tak salah sebuah pepatah yang berbunyi "lidah lebih tajam dari sebuah pedang".Â
Memanglah puisi adalah sebuah karya sastra, lahir dari sebuah ekspresi seni seorang sastrawan. Tetapi, puisi bukan sebuah untaian kalimat kosong tanpa makna.Â
Tidaklah salah seorang sastrawan menciptakan puisi, tapi puisi tersebut mestinya mengandung makna indah, mendamaikan dan menyejukkan. Tak seperti puisi yang telah disampaikan di atas.Â
Jika kita telisik makna puisi di atas jelas sekali isinya mempertentangkan dua hal. Dalam perpektif Si pencipta puisi, berkonde dan berambut  terurai lebih cantik, lebih indah serta merupakan pure ciri "ibu" Indonesia, daripada cadar dan hijab (kain pembungkus ujud?). Tentu saja, puisi ini menimbulkan kontra di tengah khalayak. Soalnya hijab dan cadar merupakan bagian dari tradisi, hukum dan bahkan simbol Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Di sisi lain tampaknya, si pencipta puisi menganggap bahwa menutup rambut dan bercadar bukanlah tradisi dan budaya dari ibu Indonesia.
Bagi saya berkonde, bersanggul, berhijab atau istilah lainnya "membungkus/menutupi rambut", semuanya adalah bagian dari budaya bangsa yang tak patut untuk dipertentangkan, mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk. Menganggap salah satu lebih buruk, sama halnya menolaknya sebagai salah satu kebudayaan bangsa.Â
Tak semua para ibu dalam  berbagai budaya etnis di Indonesia, mempratikkan tradisi menggeraikan ataupun memperlihatkan rambutnya di muka umum. Hal ini dikarenakam memperlihatkan rambut di muka umum dianggap sebagai prilaku ketidaksopanan.
 Etnis Melayu dan Minangkabau misalnya, dalam istilah lokal pembungkus/penutup rambut bagi wanita lazim disebut dengan istilah tingkuluk atau tikuluak.Namun sayangnya, kekayaan budaya kelompok etnis minoritas seringkali diabaikan sebagaimana yang tergambar dalam puisi di atas.
Lebih ironis lagi, puisi ini tak diciptakan dan disampaikan oleh sembarangan orang.. Melainkan oleh Sukmawati Soekarno Putri. Putri dari sang Proklamator bangsa Indonesia. Ada baiknya, Sukmawati lebih berhati-hati dalam memilih  diksi, janganlah mempertentangkan hal-hal yang menjadi simbol-simbol budaya dan agama, apalagi di tengah gejolak bangsa yang terjadi saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H